Florentinus Heru Widodo : “Pawang Hujan” dari Ciputat

333
Ujung tombak: Florentinus Heru Widodo (memegang mikropon) memberi penjelasan tentang teknologi modifikasi cuaca kepada Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa menteri di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Bencana banjir kembali melanda wilayah Jakarta dan sekitarnya. Guna mengurangi curah hujan yang tinggi, Florentinus Heru Widodo memimpin tim operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC).

Hujan dengan intensitas tinggi dan berdurasi lama mengguyur wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Bencana banjir pun tak dapat dihindari. Padahal beragam langkah antisipasi untuk mencegah banjir telah dilakukan, seperti yang dibuat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang melakukan modifikasi cuaca.

Sampai hari-hari ini Florentinus Heru Widodo masih sibuk melakukan modifikasi cuaca. Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan (UPTHB BPPT) ini ditunjuk untuk mengawal operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC). Umat Paroki St Nikodemus Ciputat, Tangerang Selatan ini, memaparkan, teknologi ini dilakukan dengan pesawat terbang jenis Hercules dan Casa 212-200 untuk menghantarkan bahan semai berupa garam. Garam akan ditebar di awan yang bergerak memasuki Jakarta, sehingga mempercepat turun hujan sebelum masuk ke Jakarta.

Operasi ini disiagakan selama dua bulan, sejak 14 Januari hingga 14 Maret 2014, dan dilakukan tiap pagi serta sore hari. “Teknologi ini mampu mengurangi curah hujan di Jakarta sebesar 30-35 persen terhadap nilai prediksi curah hujan alami,” tutur Heru saat dijumpai di Kantor BPPT, Jakarta Pusat, Rabu, 22/1.

Hujan buatan
Berkutat dengan air, telah menjadi jalan dan pilihan hidup Heru. Padahal ia pernah bercita-cita menjadi seorang dokter. “Awalnya, saya ingin masuk jurusan kedokteran. Tapi malah diterima di jurusan geografi. Di situlah saya mulai belajar tentang hidrologi,” kisah alumnus Fakultas Geografi Fisik/ Hidrologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.

Selepas kuliah pada 1990, Heru bekerja di BPPT. Setelah meniti karir selama satu dasawarsa, ia dipercaya menjadi Ketua Kelompok Hidrologi dan Lingkungan. Pada saat itulah ia mulai mempelajari teknologi hujan buatan di Thailand. Menurut suami Yohana Novita Pristanti ini, hujan buatan berfungsi untuk mengisi waduk, menyelamatkan kebakaran hutan, serta mengurangi curah hujan agar terhindar dari risiko banjir.

Melalui teknologi hujan buatan ini pula Heru dan teman-temannya diminta menjadi “pawang hujan” saat perhelatan Sea Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring, Palembang, Sumatra Selatan. Pada tahun lalu, ia juga diminta membuat hujan buatan untuk menanggulangi kebakaran hutan di wilayah Riau. “Seharusnya hujan buatan itu berfungsi untuk mengisi waduk agar pertanian lebih maju. Tapi, hujan buatan juga bisa digunakan untuk mengurangi curah hujan dan mengatasi kebakaran hutan,” beber ayah tiga anak ini.

Tahun ini, menurut Heru, pelaksanaan hujan buatan di Jakarta terlambat. Saat banjir sudah terjadi dan meluas, pemerintah baru memutuskan untuk melakukan hujan buatan. “Sebenarnya, kami sudah menyiapkan program ini pada Desember 2013, tetapi baru diketok palu dan dikeluarkan surat siaga dari pemerintah pada 13 Januari 2014. Saya juga belum puas, karena pesawat yang dibutuhkan tiga, sedangkan sekarang baru ada satu,” tegas pria yang setiap hari harus siaga di Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta ini.

Teknologi langka
Heru tetap menggenggam cita-cita untuk terus mengembangkan teknologi hujan buatan, sebuah teknologi yang masih langka. Teknologi hujan buatan, menurut Heru, ibarat obat mujarab untuk mengurangi dampak bencana banjir. “Jika teknologi ini tidak digunakan, maka tak akan berkembang. Teknologi ini masih menjadi satu-satunya obat dan teknologi canggih di Indonesia dalam mengatasi banjir,” ujarnya.

Pria yang pernah menjabat Bendahara 1 Dewan Paroki Ciputat selama dua periode ini berharap ada orang muda yang mau menggeluti teknologi hujan buatan secara serius, karena teknologi ini telah menjadi kebutuhan nasional, serta banyak dibutuhkan demi kemajuan bangsa. “Ini bidang yang langka dan mulai diperhitungkan. Saat ini di Indonesia, hanya ada sekitar 60 orang ahli meteorologi dan geofisika,” imbuh pria yang juga pernah menjadi ketua lingkungan ini.

Florentinus Heru Widodo

TTL : Yogyakarta, 5 Oktober 1965
Isteri : Yohana Novita Pristanti
Anak : Gregorius Daniel Wicaksono, Kornelius Titus Widianto, Theresa Hervina Widoasmara

Pendidikan :
• Fakultas Geografi Fisik/Hidrologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
• Fakultas Penginderaan Jauh Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Pekerjaan :
• Ketua Kelompok Hidrologi dan Lingkungan (2000-2010)
• Kepala Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan (2010-2012)
• Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan BPPT (2012-sekarang)

Penghargaan :
• Satya Lancana Karya Satya 10 tahun (2001)
• Pegawai Berdedikasi Tinggi (2003)
• Satya Lancana Karya Satya 20 Tahun (2011)
• Satya Karya Teknologi Tingkat I Pratama (2011)
• Kenaikan Pangkat Luar Biasa Baik (2013)

Aprianita Ganadi

HIDUP NO.06 2014, 9 Februari 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here