Para Jenderal Tarekat Asal Indonesia

679
Sr Antonie Ardatin PMY (paling kiri), bersama anggota Dewan Jenderal PMY di Belanda.
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Mereka rela bertugas jauh di luar negeri demi tarekat. Berbagai kesulitan dan hambatan dihadapi untuk tujuan melayani, memimpin, dan melestarikan semangat komunitasnya.

Jika kita simak Buku Petunjuk Gereja Katolik Indonesia (BPGKI) beberapa tahun ini, terdapat peningkatan jumlah tarekat yang berkarya di Indonesia. BPGKI 2001 mencatat ada 27 tarekat imam, sembilan tarekat bruder/ frater, dan 61 tarekat suster. Dalam BPGKI 2005 tercatat 36 tarekat imam, 12 tarekat bruder/ frater, dan 86 tarekat suster. Dan pada buku BPGKI 2009 terdaftar 41 tarekat imam, 11 tarekat bruder/frater, dan 117 tarekat suster.

Dari perkembangan jumlah tarekat tersebut, ditemukan perkembangan menarik tentang anggota dewan jenderal asal Indonesia yang bertugas di luar negeri. Menurut BPGKI 2005, terdapat 39 orang yang menjadi anggota dewan jenderal di luar Indonesia. Sedangkan pada BPGKI 2009 terjadi peningkatan mencapai 65 orang.

Dari ke-65 orang tersebut, HIDUP menghubungi melalui surat elektronik empat orang yang sampai saat ini masih menjabat. Mereka adalah RP Paulus Budi Kleden SVD (49), Anggota Dewan Jenderal Serikat Sabda Allah di Roma; Sr Antonie Ardatin PMY (65), Pemimpin Umum Putri Maria dan Yosef di Belanda; Br Martinus Tukir Handoko FIC (63), Pemimpin Umum Kongregasi Santa Perawan Maria Yang Terkandung Tak Bernoda di Belanda; dan Sr Theresia JMJ (54), Pemimpin Umum Kongregasi Suster-Suster Jesus Maria Joseph di Belanda.

Tugas di Generalat
Pada Juni-Juli 2012, Pater Paulus Budi Kleden SVD terpilih menjadi anggota dewan dalam rapat kapitel serikatnya. Ia mulai bertugas pada September 2012 dan bekerja untuk masa enam tahun. Di Tarekat SVD, anggota dewan bertugas merencanakan, melaksanakan, dan mengadakan kegiatan untuk mendorong misi para anggota tarekat.

Untuk menunjang tugas ini, mereka rutin mengadakan rapat dua kali seminggu. ”Berhubung SVD adalah tarekat yang cukup sentralistis, khususnya mengenai personalia dan keuangan, maka banyak keputusan harus diambil pada tingkat generalat,” ungkap Pater Budi.

Selain itu, anggota dewan juga bertugas visitasi. Pada Minggu, 16 Maret lalu, Pater Budi baru saja kembali dari visitasi selama enam minggu ke Jerman. Tujuan visitasi, yaitu bertemu anggota supaya lebih mengenal kehidupan dan karya mereka, juga untuk menunjukkan sebuah kesatuan serikat.

Kendala yang dihadapi Pater Budi pada awal tugasnya adalah soal bahasa. Bahasa kerja di kantor menggunakan bahasa Inggris, tetapi ia juga harus menguasai bahasa Spanyol karena bahasa ini termasuk bahasa resmi. Ia juga mesti mengerti bahasa Italia, sebab komunitasnya memakai bahasa ini. Kendati sudah ikut kursus bahasa Spanyol dan Italia, Pater Budi mengaku belum menguasainya dengan baik.

Pengalaman Sr Antonie Ardatin PMY lain lagi. Sebagai General Coordinator, ia memiliki tugas utama memimpin kongregasi. Dalam berkarya, ia dibantu tiga anggota dewan dan satu sekretaris. Urusan surat-menyurat dengan kolega, kerja sama dengan departemen yang mengurusi para religius di Vatikan, Gereja setempat, yayasan, penasihat, karyawan, dll, ditanganinya pula. Ia juga bertugas mendengar pemikiran dan harapan anggota kongregasi, mengangkat dewan pimpinan regio, memperteguh semangat religius anggota dengan ceramah, renungan, pendalaman spiritualitas, studi, sharing iman, dan juga merencanakan masa depan kongregasi.

Sejak 2007, Sr Antonie sudah menjadi anggota dewan umum. Waktu itu, ia merangkap menjadi Pemimpin Regio Indonesia. Maka sejak itu, ia pergi tiga kali dalam setahun ke Belanda sehingga memudahkannya beradaptasi. Yang paling susah dihadapinya waktu pertama berkarya di Belanda adalah hawa dingin. Kalau keluar rumah, ia harus pakai kaus kaki, jas, pakaian tebal, dll. Tapi, kalau masuk rumah, suhu menjadi panas lagi karena memakai verwarming (alat pemanas). ”Repot jadinya, pakai baju jas hangat copat-copot bolak-balik begitu,” papar biarawati kelahiran Muntilan, 12 Juni 1949 ini. Selain itu, karena lidahnya sangat Jawa, ia masih kerap rindu sambal terasi dan sayur lodeh.

Persoalan bahasa juga dirasakan Sr Antonie. Untuk mengatasinya, ia mengikuti kursus bahasa selama tiga minggu. Kemudian dilanjutkan dengan belajar mandiri lewat pergaulan sehari-hari, juga dengan membaca. Ia suka membaca buku bahasa Belanda yang juga di terbitkan dalam bahasa Indonesia, seperti buku karangan Pramoedya Ananta Toer dan Alkitab untuk memperlancar keterampilan berbahasa.

Br Martinus Tukir Handoko FIC memiliki tugas yang hampir sama. Ia bertugas memimpin para bruder FIC sedunia, terutama dalam pelaksanaan keputusan Kapitel Kongregasi. Tahun ini periode kedua dan terakhir, ia menjabat. Menurut Konstitusi FIC, pemimpin umum hanya bisa dipilih untuk dua kali masa jabatan.

Sebelum menetap di Belanda, bruder kelahiran Sleman, Yogyakarta, 18 Agustus 1951 ini sudah sering pulang pergi Indonesia- Belanda. Soal iklim, lingkungan, budaya, makanan, dll, sudah tidak asing baginya. Yang menjadi perhatiannya juga soal bahasa untuk berkomunikasi dengan para bruder dan masyarakat. “Saya belajar bahasa Belanda sambil lalu, karena sehari-hari di komunitas dan kantor menggunakan bahasa Inggris,” jelasnya.

Begitu juga dengan Sr Theresia JMJ. Sebagai pemimpin umum, ia bertugas memperhatikan kepemimpinan, kelestarian, dan perkembangan komunitas. Bagi suster kelahiran Ganjuran, Yogyakarta, 28 Juli 1960 ini, adaptasi tidak begitu masalah. Sebab, sebelum menjabat, ia sudah satu periode selama enam tahun menjadi wakil pemimpin umum. Tapi, waktu pertama kali tinggal di Belanda, Sr Theresia merasa cukup sulit beradaptasi karena hampir semuanya baru: teman-teman, bahasa, makanan, cuaca, perbedaan karakter, kultur, kebiasaan, dan lain-lain.

Pengalaman Unik
Selama menjalankan tugas, Pater Budi mengalami peristiwa tak terlupakan ketika visitasi. Di Ghana, ia terkesan menyaksikan para anggota SVD bekerja dengan setia di wilayah yang berpenduduk sangat sederhana dengan alam yang keras. Anggota serikat di daerah itu juga hidup sederhana. Bahkan, fasilitas yang diberikan serikat malah digunakan untuk kepentingan umat.

Pengalaman lain dialami Pater Budi sewaktu ke Jerman. Ia mengunjungi seorang anggota SVD yang baru saja merayakan ulang tahun ke-100. Anggota tersebut terlihat sehat, penuh semangat, berpikiran jernih, dan berbicara lancar. Ketika Pater Budi bertanya, apa yang menguatkannya, anggota itu menjawab, ”Dekat dengan umat. Beri hati untuk mereka yang kau layani, biarkan mereka alami dan rasakan bahwa engkau mengasihi mereka, itulah kekuatan besar untuk hidup.”

Bagi Sr Antonie, hal unik yang ia rasakan selama bertugas adalah kebiasaannya tetap memakai jubah. Kadang anak-anak mengiranya “sister act”. Hal ini malah ia pakai sebagai bahan dikusi dengan mereka. Alhasil, orang-orang di sekitar generalat malah mengenalnya dengan baik. Kalau Sr Antonie tidak muncul, malah dicari. “Para suster asli Belanda jadi iri, karena saya lebih dikenal daripada mereka. Habis mereka tidak pakai jubah sih…,” ungkapnya.

Pengalaman kehilangan dokumen penting, credit card, dan kartu izin tinggal dialami Br Martinus. Peristiwa ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan baginya. Waktu itu, ia mencari barang yang hilang mulai dari kamar, tempat-tempat, dan jalan yang pernah ia lewati. Hasilnya, semua nihil. Dalam pikirannya, tanpa surat-surat itu ia akan mengalami kesulitan jika bepergian. Saking panik, ia segera lapor ke polisi terdekat dan mendapatkan proses verbal untuk memperbarui surat-surat itu. Sepulang dari kantor polisi, ternyata tukang bersih-bersih di rumah menemukan barang-barang yang hilang tersebut. ”Segera saja aku balik kekantor polisi lagi untuk mencabut laporan itu,” kenang Rektor Unika Soegijapranata Semarang periode 2000-2004 ini.

Sedangkan Sr Theresia memiliki pengalaman unik soal mandi. Di Indonesia, ia biasa mandi dua kali sehari (pagi-sore). Kebiasaan ini ia bawa ke Belanda. Teman-temannya bertanya-tanya dan heran. Mereka merasa aneh ada orang mandi dua kali sehari. Sebaliknya, ia juga merasa aneh sebab ada orang mandi dua kali-sehari dikatakan aneh, padahal di Belanda banyak air. Lama-kelamaan Sr Theresia baru mengerti bahwa terlalu sering mandi justru dapat merusak kulit.

Tantangan Karya
Dalam berkarya, orang-orang Indonesia ini tentu tak lepas dari tantangan. Belajar memahami satu persoalan dengan konteks budaya yang berlainan dengan tetap memperhatikan kesepakatan tarekat, merupakan tantangan Pater Budi. ”Untuk satu serikat dengan anggota hampir 6.000 orang yang berasal dari 70 negara, hal ini menjadi tantangan yang serius. Kita di panggil untuk menghargai budaya masing-masing anggota, tetapi pada sisi lain, ada ketetapan bersama yang perlu diperhatikan,” ungkapnya.

Hal lain yang membuat imam kelahiran Waibalun, Larantuka, 16 November 1965 ini sedih, adalah sikap Vatikan terhadap usulan tarekat untuk mengangkat bruder dalam jabatan kepemimpinan. SVD termasuk komunitas serikat klerikal, tetapi mempunyai anggota imam dan bruder. Menurut ketentuan Gereja, jika seorang bruder diangkat menjadi provinsial atau wakil provinsial, rektor atau wakil rektor harus minta izin terlebih dahulu kepada Vatikan. ”Sangat mengecewakan apabila seorang bruder yang mendapat kepercayaan dari para anggota lain dan sungguh memiliki kualitas kepemimpinan, masih belum diterima oleh Vatikan,” tandas Pater Budi.

Lain lagi dengan Sr Antonie. Selama bertugas ia melihat cara kerja dan budaya di Belanda berbeda dengan Indonesia. Di negeri ini, semuanya ditulis sampai detil, butuh banyak kertas dan banyak waktu. ”Juga ada banyak peraturan hukum yang rumit yang harus diikuti, sehingga saya butuh penasihat hukum. Bukan hanya hukum tata negara, namun juga hukum tentang keuangan, kepegawaian, dll,” paparnya.

Sedangkan Br Martinus menghadapi tantangan dalam budaya. Pada periode pertama ia menjabat, Anggota Dewan FIC berasal dari tiga negara: Indonesia, Belanda, dan Ghana. Dengan latar belakang budaya yang berbeda, pada mulanya tidak mudah baginya memahami cara berpikir rekan kerjanya. Hambatan lainnya, soal banyaknya dokumen, surat, dan rapat dari Konferensi Biarawan/wati Belanda yang menggunakan Bahasa Belanda, sementara waktu itu ia belum begitu mengua sai bahasa tersebut.

Br Martinus juga mengungkapkan tentang karya kerasulan di Belanda saat ini yang makin berkurang. Hal ini juga berpengaruh terhadap tarekatnya. Ia me laporkan, jumlah bruder FIC makin sedikit karena tidak ada lagi calon yang masuk. Per 1 Januari 2014, tinggal 69 bruder yang asal Belanda; semua sudah tua, dengan umur rata-rata 81 tahun, yang tertua 98 tahun, dan yang termuda 63 tahun. Hampir semua bruder sudah pensiun, maka karya mereka hanya di dalam komunitas dan provinsi untuk urusan internal saja.

Hal yang sama juga dialami Sr Theresia. Dulu, anggota Tarekat JMJ di Belanda pernah mencapai 2.000 orang, kini tinggal 113 suster dengan usia rata-rata 86 tahun. ”Karya kerasulan pun sudah tidak ada lagi. Semua ditangani oleh pemerintah,” pungkas Sr Theresia.

A. Nendro Saputro/ Norben Syukur

HIDUP NO.14 2014, 6 April 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here