Ujian Nasional, Ujian Kejujuran

70
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pada April dan Mei, para siswa SMA/SMK dan SMP mengikuti Ujian Nasional (UN). Pelaksanaan UN merupakan keputusan Pemerintah, para siswa pun harus menghadapi ujian tersebut. Melihat pengalaman tahun sebelum, pelaksanaan UN banyak menimbulkan kegelisahan, kecemasan dalam diri peserta didik.

Nilai UN termasuk faktor yang menentukan kelulusan siswa. Ada banyak kecurangan dalam pelaksanaan UN. Dari laporan pelaksanaan UN tahun sebelum, sekalipun pendistribusian soal UN dijaga ketat pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), kebocoran tetap terjadi dan bukan hanya itu, ada banyak sekolah yang memberi jawaban UN kepada siswa. Hal ini sangat merugikan proses pembentukan karakter jujur dalam diri siswa. Lalu, bagaimana menghadapi UN?

Para guru perlu membantu siswa agar mempersiapkan diri dengan baik. Para guru mengajar hal yang esensial, yang perlu dikuasai siswa, karena soal UN hanya membahas materi yang sangat mendasar, sesuai dengan kisi-kisi yang diberikan Pemerintah. Tentu saja, hanya guru yang menguasai materi pelajaran yang mengetahui materi yang “hakiki” dan “mendasar” itu.

Guru juga harus mampu melihat siswa yang sudah pasti lulus UN dan tidak. Sejatinya, dari latihan penguasaan konsep, guru sudah bisa mengukur kemampuan siswa. Biasanya guru ini akan berbicara lebih tenang dan memberikan rasa kepercayaan diri pada siswa agar yakin lulus UN. Sikap tenang ini menjadi modal utama bagi para siswa untuk menghadapi UN. Karena, ketika seseorang tenang, dia mampu berpikir dan memecahkan masalah lebih baik.

Sebaliknya, guru yang kurang menguasai bidang pelajaran yang diajarkan akan memberi banyak latihan soal kepada para siswa, tanpa menjelaskan konsep dasar yang harus dikuasai para siswa. Secara tidak sadar, kadang dia akan mendesak para siswa untuk belajar lebih keras, sehingga para siswa menjadi lebih takut, cemas, dan gelisah. Para siswa seperti inilah yang lebih percaya pada tawaran pesan singkat, bocoran soal, bocoran jawaban, daripada kemampuan sendiri. Maka, sikap dan profesionalitas guru juga sangat menentukan kesiapan para siswa menghadapi UN.

Tentu saja ada satu prinsip yang tidak boleh diperjualbelikan, yakni kejujuran. Hal ini menjadi harga mati bagi siapapun. Sekalipun banyak sekolah bermain curang, sebaiknya sekolah-sekolah yang bernaung dalam yayasan Katolik menunjukkan jati dirinya, tetap bermain dengan jujur. Dalam hal ini, peran kepala sekolah sangat penting. Dia harus menumbuhkan keberanian bagi para guru dan siswa agar tetap jujur menjalani UN.

Lebih baik kita menerima kenyataan, ada siswa yang tidak lulus, daripada sekolah harus tunduk pada logika ketidakjujuran. Sebuah kebanggaan bagi para guru dan siswa, bahwa mereka pernah belajar menegakkan kejujuran sekalipun berharga mahal. Sebaliknya, bila sekolah tunduk pada ketidakjujuran, para guru memberi jawaban kepada murid, maka akan terbentuk anggapan, bahwa moral jujur bisa dibeli dan ditawar. Bila demikian, sekolah sedang mempersiapkan generasi tidak jujur di masa depan. Tentu saja beberapa sekolah yang sungguh bermutu, tidak tergoda untuk masalah ini. Tapi, ada banyak sekolah yang kurang percaya diri, yang sering ada dalam godaan besar ketidakjujuran seperti ini. Mereka tidak berani melawan arus ketidakjujuran yang berada di sekitar.

Pelaksanaan UN tahun ini adalah sebuah batu ujian bagi keberadaan sekolah. Apakah sekolah masih memiliki semangat kejujuran sejati, menjadi obor yang memberi secercah “cahaya”? Sekolah adalah tempat pendidikan bagi generasi muda yang berkepribadian jujur, calon pemimpin masa depan. Maka, kita harus menjamin, pelaksanaan UN di sekolah, terutama sekolah-sekolah Katolik, benar-benar terlaksana dengan penuh kejujuran..

Fidelis Waruwu

HIDUP NO.17 2014, 27 April 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here