Hidup untuk Bangunan Bersejarah

183
Dokter bangunan: Sadirin melaku kan peng ukuran kapilarisasi air tanah pada struktur bangunan bersejarah di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Ia memilih jalan yang tak banyak diminati orang. Sudah 40 tahun, ia mengabdikan diri bagi kelestarian bangunan-bangunan bersejarah. Tak hanya di Indonesia, ia juga mengkonservasi bangunan bersejarah di mancanegara.

Tatkala menempuh pendidikan di Yogyakarta, Hubertus Sadirin memberanikan diri mengikuti pendidikan khusus konservasi yang dihelat pengelola Candi Borobudur dan Universitas Gadjah Mada. Selama tiga tahun, ia memperdalam ilmu konservasi bangunan yang memiliki nilai sejarah. “Setelah digeluti, ternyata bidang ini luar biasa. Bidang ini never ending, bahkan hingga saya pensiun, saya masih diajak dan dilibatkan mengkonservasi bangunan bersejarah,” papar Sadirin ditemui di kediamannya di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Sabtu, 22/3.

Sadirin memang memilih jalan yang tidak diminati banyak orang. Menurut pria kelahiran Yogyakarta, 3 November 1951 ini, bidang konservasi masih membutuhkan banyak tenaga, tetapi kurang diminati.

Dokter bangunan
Kecintaan pada ilmu konservasi menerbangkan Sadirin ke India. Ia mendapat beasiswa dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) selama satu tahun (1978-1979). Tak hanya sampai India, Sadirin mengejar ilmu konservasi sampai ke Italia dan Belanda. Setelah mengais ilmu di negeri orang, Sadirin pulang ke tanah air. Ia berkarya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI menangani konservasi bangunan bersejarah.

Bagi Sadirin, meneliti bangunan bersejarah mirip dengan kerja seorang dokter. “Bedanya, pasien seorang dokter adalah mahkluk hidup, sementara pasien saya bangunan dan benda-benda tak hidup,” ujarnya sembari tersenyum. Perlakuan terhadap “sang pasien” pun sama. “Sebelum memutuskan penyakit yang diderita ‘pasien’, perlu didiagnosa terlebih dahulu. Setelah itu baru dilakukan konservasi, yakni mengkaji permasalahan teknis yang dihadapi bangunan atau benda bersejarah, kemudian menentukan strategi penanganan,” imbuh mantan Manajer Konservasi Candi Borobudur ini.

Bangunan-bangunan cagar budaya atau yang memiliki nilai sejarah, termasuk koleksi benda bersejarah di museum, juga kerap mengalami “sakit”. Sadirin pun memperlakukan bangunan dan benda bersejarah ini dengan hati-hati. Dalam menangani bangunan dan benda bersejarah, Sadirin selalu memegang empat aspek utama, yaitu aspek material, desain dan arsitektur, teknologi pembuatan, serta tata letak bangunan. “Jadi, seorang arkeolog harus memahami material benda dan bangunan yang akan ditangani. Ia juga harus paham arsitektur bangunan dan teknologi pembuatan. Seorang arkeolog harus mampu memahami teknologi pembuatan bangunan pada zaman dulu dan sekarang,” papar Sadirin.

Konservasi Katedral
Sampai kini, Sadirin telah melakukan konservasi terhadap beberapa bangunan bersejarah di Indonesia dan mancanegara. Pada 1995, Sadirin berhimpun dalam tim yang melakukan konservasi terhadap salah satu bangunan Pagoda di Kamboja. Bersama tim, ia memugar, mengawetkan, mengendalikan proses pelapukan, merekonstruksi kembali bangunan itu.

Sementara di Indonesia, sudah ada ratusan bangunan bersejarah yang ditangani Sadirin. Sebut saja Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Muara Takus, Gedung Arsip Jakarta, Gedung Bank Indonesia, Museum Bahari, Stasiun Kereta Api Bogor. Menurut kakek dari tiga cucu ini, masih banyak bangunan bersejarah di Indonesia yang perlu dilestarikan. “Banyak sekali bangunan bernilai sejarah yang dibangun pada zaman kolonial Belanda. Bangunan ini harus kita jaga betul. Tidak boleh diubah nilai historisnya. Jika perlu, perbaikan terhadap bangunan ini harus mengunakan bahan yang sama seperti pada saat bangunan dibuat,” urai umat Paroki St Barnabas Pamulang ini.

Sadirin juga terlibat dalam konservasi bangunan Katedral St Maria Diangkat ke Surga Jakarta. Sejak 2008 Sadirin ikut mengawasi dan menjadi konsultan konservasi Katedral Jakarta. Saat ini ia sedang meneliti menara Katedral Jakarta yang kemungkinan mengalami korosi logam. “Korosi ini bisa melunak dan menyebabkan kehancuran. Maka, kita harus menata dan menjaga, agar proses korosi dapat terkendali. Kita juga harus menjaga nilai historis Katedral,” demikian ayah dua orang anak ini.

Sadirin juga terus mengawal pembenahan tata udara di Katedral Jakarta. Dalam pembenahan tata udara ini, lanjut Sadirin, desain harus benar-benar diperhatikan, agar tidak mengganggu dan merusak arsitektur Katedral. “Pembenahan tata udara ini tidak ada masalah, yang penting tidak mengganggu dan merusak bangunan. Ini juga salah satu prinsip konservasi yang harus dipegang,” jelas Sadirin.

Kini, meski sudah pensiun, Sadirin tidak pernah berhenti untuk terus mempelajari ilmu konservasi. “Saya bersyukur, meski didera berbagai kesibukan, saya selalu sehat. Pada masa tua ini saya juga masih bermanfaat dan berguna bagi orang lain, terutama dengan turut mengawasi dan menjadi konsultan di beberapa proyek kon servasi bangunan bersejarah,” ungkap pria yang telah melakukan konservasi beragam bangunan bersejarah di 23 negara ini.

Hubertus Sadirin

TTL : Yogyakarta, 3 November 1951
Isteri : Maria Sacratissimi Rosary Iswari (Alm)
Anak : Yulius Ongky Indiarto dan Stevenus Hery Putranto

Pendidikan:
• SMP Kanisius Klepu, Sleman, DI Yogyakarta
• SMA Kolese de Britto Yogyakarta
• Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Pekerjaan:
• Konservasi Gedung Arsip Jakarta (1999)
• Konservasi Gedung Bank Indonesia (1999)
• Konservasi Gedung Museum Bahari (2008)
• Konservasi Gedung BI (2009)
• Konservasi Gedung Eks Kodim (2010)
• Konservasi Gedung Balai Konservasi, Jakarta (2010)
• Penasihat Gubernur DKI Jakarta bidang Pelestarian Cagar Budaya dan Lingkungan (2011-2014)

Penghargaan:
• Satya Lencana Karya Satya 10 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun
• Penghargaan dari Sultan Surakarta atas konservasi Kereta Garuda Kencana

Aprianita Ganadi

HIDUP NO.14 2014, 6 April 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here