Panggilan Politik Praktis

563
3/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Sejak awal umat Katolik, sebagai warga negara, turut serta dalam berpolitik. Banyak orang kudus telah memberikan kesaksian akan hal ini, salah satunya adalah Santo Thomas More (1478-1535). Ia lulusan Universitas Oxford dan London, dan pernah hidup menyepi dalam biara untuk mencari kehendak Tuhan. Setelah itu ia menikah.

Kehidupannya sederhana namun ia mempunyai banyak kawan budayawan dan seniman termasyhur. Kariernya bermula sebagai advokat, anggota parlemen, diplomat ulung, dan menjadi duta raja. Ia mundur dari politik karena menentang pernikahan raja dengan selirnya. Ia tidak mau disuap dan tidak bersandiwara dalam politik. Ia berhasil memberantas korupsi dan kemalasan dalam dinas pengadilan. Karena ia tetap bertahan dalam keyakinan berdasarkan suara hatinya, lehernya ditebas. Thomas More adalah negarawan, sastrawan, dan martir kebebasan hati nurani terhadap kesewenang-wenangan pemerintah. Ia dimaklumkan sebagai pelindung negarawan dan politisi.

Gereja sebagai hierarki memang tidak berpolitik praktis tetapi Gereja mendorong kaum awam berpolitik. Wewenang “Gereja sama sekali tidak dapat dicampur adukkan dengan negara dan tidak terikat pada sistem politik mana pun juga. Gereja itu menjadi tanda dan perlindungan transendensi pribadi manusia” (GS, 76).

Apakah umat Katolik tak boleh menjalankan politik praktis? Sudah barang tentu boleh, bahkan harus, karena di Ritus Penutup Perayaan Ekaristi, umat diutus ke dalam kehidupan sehari-hari. Namun diingatkan, “ada pembedaan yang jelas antara apa yang dijalankan oleh umat Kristiani, entah sebagai perorangan, entah secara kolektif, atas nama mereka sendiri selaku warga negara, di bawah bimbingan suara hati Kristiani dan di pihak lain apa yang mereka jalankan atas nama Gereja bersama para gembala mereka” (GS, 76).

Jadi dengan bimbingan suara hati yang membedakan manakah perbuatan baik dan manakah perbuatan jahat, umat Katolik berpartisipasi aktif dalam bidang politik. Umat berperan dalam memperjuangkan UU yang berpihak pada warga, membela HAM, terlibat dalam lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik. Umat juga ikut serta dalam memilih pimpinan negara yang memiliki integritas, memberi suara pada Pemilu. Ia dapat juga menghadiri rapat umum, mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah yang berpihak pada rakyat. Selain itu, ia dapat juga bersuara kritis melalui media massa, aktif dalam LSM, bekerja sama dengan golongan atau komunitas lain, membangun masyarakat yang sejahtera dan adil.

Jadi, umat harus menjadi pemain aktif dalam begitu banyak kegiatan politik dalam arti luas dan arti sempit. Setiap orang dengan cara dan bakatnya sendiri, terlibat dalam politik. Mereka yang berbakat boleh menjadi anggota partai atau anggota dewan.

Dalam melaksanakan politik praktis, umat Katolik tidak perlu selalu menunggu petunjuk moral hierarki. Mengapa? Masalah keadilan, hormat pada kehidupan, bukanlah kewajiban keagamaan, tetapi berlaku untuk semua orang. Sepuluh Perintah Allah berlaku untuk semua orang, apapun agamanya. Umat beragama lain pun memiliki paham yang sama, karena itu merupakan nilai-nilai dasar manusiawi. Politikus Katolik bekerjasama dengan orang lain untuk memperjuangkan nilai-nilai dasar manusiawi. Gereja memberi inspirasi, motivasi, dan membimbing sikap moral umatnya.

Jelaslah bila Gereja sering memberikan himbauan moral untuk politik praktis, terkesan umat beragama lain tidak bermoral. Apakah memang demikian. Para ahli pikir seperti Plato, Aristoteles, Konfusius mengemukakan pendapatnya tentang moralitas politik tidak berdasarkan agamanya tetapi berdasarkan akal budinya. Manusia adalah makhluk yang berakal budi dan berdasarkan akal budi dan suara hatinya harus berpolitik dengan baik. Karena bagaimana pun manusia menurut kodratnya adalah “zoon politikon”, makhluk yang hidup dalam negara.

RD Jacobus Tarigan

HIDUP NO.05 2019, 3 Februari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here