Menyerukan Kerukunan dan Memuji Pancasila

498
Menyapa: Paus Yohanes Paulus II didamping Uskup Agung Jakarta Mgr Leo Soekoto SJ menyapa umat sebelum misa di Stadion Utama Senayan, Jakarta (9/10/1989)
[Intisari]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Paus Yohanes Paulus II mencium bumi Indonesia sebagai tanda cinta dan berkatnya untuk negara dan bangsa Indonesia yang dikunjunginya 1989. Dia memuji Pancasila dan toleransi agama di Indonesia. Sambutan umat sungguh luar biasa.

Kebahagiaan besar menyelimuti hati umat Katolik Indonesia, yang 25 tahun lalu menjadi saksi hidup kehadiran Paus Yohanes Paulus II (YP II) di bumi Nusantara ini. Tepatnya 9-14 Oktober 1989. Begitu mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, YP II langsung mencium bumi Nusantara. Inilah tanda cinta, berkat dan penghormatannya kepada Indonesia.

Besarnya cinta YP II terhadap Indonesia mulai terbaca, sejak Bapa Suci itu mempersiapkan diri di Vatikan sebelum melawat ke Indonesia. Seorang imam Indonesia, yang saat itu tengah studi di Roma, RD Suratman Gito Wiratma dipanggil secara khusus. Bapa Suci memintanya untuk mengajari bahasa Indonesia yang akan dipakai dalam liturgi ekaristi selama di Indonesia. Menurut Romo Suratman, Paus menerimanya di studio Takhta Suci. “Saya mengajar liturgi ekaristi dalam bahasa Indonesia, prefasi, aklamasi, dan lain-lain, selama satu jam perhari. Saya mengajar hanya dua hari,” kata Romo Suratman saat dihubungi HIDUP di Seminari Tinggi, Kentungan, Yogyakarta, Selasa, 15/4.

Di bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin, 9 Oktober 1989, YP II disambut dengan upacara kenegaraan setelah turun dari pesawat Korean Airline yang menerbangkannya dari Seoul. Kebiasaan Bapa Suci, selalu menumpang pesawat negara yang baru saja dikunjungi. Ketika meninggalkan Indonesia, Paus juga menumpang Garuda Indonesia Airways.

Pada kesempatan pertama, YP II disambut oleh Presiden Soeharto di Istana Merdeka. Yang menarik, Bapa Suci memberikan suvenir berupa kotak kecil berisi rosario kepada Ny. Tien Soeharto. Spontan Ibu Tien membukanya dan mengalungkan rosario itu di lehernya selama pertemuan.

Dalam pertemuan itu, Bapa Suci mengungkapkan kekagumannya akan falsafah Pancasila. Hal menarik dalam Pancasila menurut dia, adalah nilai toleransi sesama umat beragama.

Setelah itu, YP II memimpin Perayaan Ekaristi di Stadion Utama Senayan, Jakarta yang dihadiri sekitar 120 ribu umat Katolik dari Keuskupan Agung Jakarta, Bogor, Bandung, Lampung, Sumatra Selatan, dan Kalimantan. Selama memimpin misa, Paus memakai bahasa Indonesia. Sementara, khotbah dalam bahasa Italia, diterjemahkan langsung oleh konselebran utamanya, Mgr Leo Soekoto SJ, Uskup Agung Jakarta.

Dalam khotbahnya, Paus mengingatkan agar umat Katolik Indonesia menjadi putra-putri yang tangguh dan warga Indonesia sejati. ”Dia juga menyerukan pentingnya kerukunan antarumat beragama,” ungkap RP Alfons Suhardi OFM yang waktu itu menjadi anggota panitia dari Konferensi Wali gereja Indonesia (KWI).

Pada Selasa, 10 Oktober 1989, YP II mengunjungi Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Sambutan masyarakat sangat akrab. Anak-anak tidak takut mendekati Sri Paus. ”Bahkan ada seorang anak kecil, sekitar delapan tahun, melepaskan diri dari ibunya. Ia lari menuju Paus yang lantas menyambut dan menggendongnya,” ungkap Romo Alfons. Setelah itu Bapa Suci berdoa selama seperempat jam di Ka pel Catharina, lalu menanam pohon beringin putih.

Menurut Romo Alfons, kehadiran YP II di Indonesia berlangsung lancar. Tidak ada gangguan sama sekali. Pemerintah menjamin keamanan.

Petugas keamanan sangat rapi menjaga setiap langkah Bapa Suci selama di Indonesia. Namun, mereka sempat kehilangan jejak sewaktu Sri Paus berkunjung ke Katedral Jakarta. ”Jadwal protokoler Sri Paus sudah disiapkan dan diatur, bahkan sampai detik dan menit. Waktu di Katedral, Sri Paus berjalan tidak sesuai dengan yang direncanakan. Beliau waktu itu berbelok ke toilet, sehingga membuat para petugas keamanan kelabakan,” kata Romo Alfons.

YP II pada saat bertatap muka dengan para rohaniwan/wati di Katedral dan dihadapan tokoh-tokoh agama di TMII Jakarta Selasa 10 Oktober 1989, maupun kaum cendikiawan Katolik dan generasi muda Katolik di Unika Atma jaya Jakarta, 12 Oktober 1989, dalam setiap sambutannya pasti tidak pernah melupakan ajakan untuk terus membangun dan menjaga toleransi antara umat beragama, memperhatikan yang lemah, miskin dan tertindas, serta pentingnya menghilangkan diskriminasi dalam bentuk apapun.

Pengabdian Luhur
Kota kedua yang dikunjungi adalah Yogyakarta. Umat dari Keuskupan Agung Semarang, Keuskupan Purwokerto, Surabaya, Malang, Denpasar, Banjarmasin, Samarinda, dan Ketapang tumplek blek di Lapangan Dirgantara, kompleks Akademi Angkatan Udara, Yogyakarta.

YP II tiba di Bandara Adisucipto di sambut oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Paku Alam VIII. Selanjutnya, bersama Uskup Agung Semarang Mgr Julius Darmaatmadja SJ, Bapa Suci dielu-elukan oleh umat yang membanjiri kota Yogya. “Wibawa Sri Paus bukan main,” kenang ketua panitia penyambutan Paus di Yogyakarta, FX Soedijana, saat ditemui HIDUP di kediamannya, kompleks Perumahan IKIP, Deresan, Yogyakarta, Selasa, 8/4.

Lebih lanjut ia menjelaskan, pada waktu itu, Perayaan Ekaristi berjalan lancar dan aman. Sekitar 160 ribu umat dari berbagai tempat hadir dalam perayaan akbar itu. “Kedatangan Bapa Suci di Yogya berlangsung aman dan membawa kedamaian. Itu menunjukkan masyarakat “kota gudeg” sendiri merasa senang dengan Paus Yohanes Paulus II,” kesan Soedijana.

Di kota pelajar, YP II memuji sikap kepahlawanan Soegijapranata dan IJ Kasimo. “Baiklah diingat bahwa iman kristiani harus diterjemahkan kedalam pelayanan untuk kesejahteraan masyarakat. Bersama Uskup Soegijapranata dan Pak Kasimo, Gereja mempersembahkan kesaksian dari para warga negara yang penuh pengabdian luhur kepada bangsa ini. Mereka juga merupakan hasil panen dari ladang Tuhan,” kata Sri Paus kala itu.

Di Yogya, Paus memberkati orang jompo dan anak-anak cacat, serta patung Bunda Maria, yang sekarang ditempatkan di Gua Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah.

Kota ketiga yang dikunjungi Paus adalah Maumere, Flores, NTT. YP II tib a di Bandara Wai Oti Maumere hari Rabu 11 Oktober 1989. Di bandara, Paus disambut Menteri Keuangan JB Sumarlin sebagai wakil pemerintah dan Gubernur NTT, Hendrik Fernandez. Dari bandara, YP II menuju Gelora Da Cunha Sa mador, sekitar tiga kilometer dari ban dara.

Pembangunan Nasional
Misa inkulturasi digelar di Stadion ini. “Ini rahmat, ada kebahagiaan yang memberi kekuatan bagi umat Katolik Indonesia, apalagi sebagai kelompok minoritas,” kata Uskup Denpasar Mgr Silvester Tung Kiem San mengenang, saat dihubungi HIDUP via telepon, Jum at, 11/4. Umat dari bumi yang mayoritas Katolik itu sangat antusias. Sekitar 150 ribu orang datang dari seluruh daratan Flores, pulau lain di NTT, Sulawesi, Amboina, dan Irian Jaya.

Dalam Misa itu, YP II juga mengajak seluruh umat untuk bekerja keras menyukseskan pembangunan nasional. “Umat Katolik harus terlibat aktif dalam pem bangunan nasional, karena itu merupakan panggilan dan tugas umat Katolik juga,” ajaknya.

Paus juga mengajak seluruh umat untuk memiliki hati yang damai dan penuh persaudaraan, baik dengan Tuhan mau pun sesama manusia, tanpa memandang agama, selaras dengan nilai-nilai Pancasila.

Di Maumere, YP II memberkati patung Kristus Raja setinggi tiga meter. “Waktu itu, selain misa, Paus bertatap muka dengan rohaniwan/wati di Seminari Tinggi Ledalero. Saya juga ikut,” kenang Mgr San yang saat itu menjadi pendamping seminaris di Seminari St Yohanes Berkhmans Todabelu, Mataloko, Bejawa, NTT.

Dalam rangkaian kunjungannya ke Indonesia, Paus juga mengunjungi dan memimpin Perayaan Ekaristi bersama umat di Dili, Timor Timur, dan Medan. Suatu kenangan yang mendalam bagi segenap umat Katolik Indonesia.

Norben Syukur/Y. Prayogo

HIDUP NO.17, 27 April 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here