Tantangan Pastoral Keuskupan Sintang

470
Mgr Agustinus Agus
[Dok. HIDUP]
1/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Para misionaris pada awalnya hanya menghadapi tantangan fisik di Kalimantan. Kini, tantangan yang menghadang adalah membangun mental dan mendidik umat untuk mandiri.

Keuskupan Sintang terletak di bagian hulu Sungai Kapuas dan Sungai Melawi. Wilayahnya meliputi tiga kabupaten dari Propinsi Kalimantan Barat, yaitu Kabupaten Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu. Wilayah yang luasnya 62.120 kilometer persegi itu hanya dihubungkan oleh angkutan sungai dan jalan setapak, kecuali daerah sekitar Sintang yang dapat dijangkau dengan jalan darat. Sebagian besar umat Katolik Keuskupan Sintang berasal dari suku Dayak.

Untuk mengetahui tantangan dan keterlibatan para misionaris di Keuskupan Sintang, wartawan HIDUP mewawancarai Uskup Sintang, Mgr Agustinus Agus melalui telepon, Kamis, 8/4. Berikut petikannya:

Apa tantangan karya pastoral di Keuskupan Sintang?

Di masa misionaris awal yang datang 50 tahun lalu, tantangan fisik seperti meng hadapi sungai-sungai dan hutan rimba Kalimantan menjadi hal utama. Sekarang tantangan fisik seperti itu masih ada di beberapa stasi yang tinggal di dekat hutan.

Bagaimana dengan kondisi geografis?

Kita akui bahwa wilayah Keuskupan Sintang lumayan luas. Masih banyak jalan yang belum mulus. Di beberapa tempat kendaraan yang bisa dipakai hanya sepeda motor atau perahu untuk menjangkau stasi yang belum memiliki jalan. Untuk mencapai salah satu stasi bisa makan waktu delapan sampai sembilan jam. Oleh karena itu, anggaran transportasi membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Apa tantangan budaya bagi umat dalam menghadapi budaya global?

Itu tantangan baru lagi, yakni soal budaya dan perkembangan teknologi. Saat ini umat sudah banyak memiliki pilihan hiburan setelah memiliki televisi. Biarpun jaringan listrik di banyak tempat belum ada, tapi dengan listrik dari diesel mereka bisa menonton televisi. Jaman dahulu, kehadiran pastor yang memutar slide dapat menjadi hiburan. Kini kedatangan mereka bisa jadi justru mengganggu umat dalam menikmati hiburan televisi.

Menghadapi hal itu, Keuskupan Sintang berusaha mempersiapkan para pastor yang siap menghadapi semua tantangan itu. Menyiapkan mereka supaya dapat membangun mental umat yang kadang masih mementingkan soal uang. Membangun mental mereka untuk rajin ke gereja, dan menumbuhkan kemandirian umat dalam hidup menggereja.

Bagaimana peran para misionaris di Keuskupan Sintang?

Yesus pernah mengutus para rasul. Dan pengganti para rasul adalah para uskup, juga para imam. Semangat inilah yang mendorong para misionaris dari Belanda dan Amerika untuk datang ke Kalimantan agar dapat memperkenalkan ajaran Tuhan Yesus sehingga umat selamat. Selain mewartakan kabar sukacita, para mi sionaris juga memperkenalkan tanaman karet, mengajar, juga membuat rumah sa kit untuk pengobatan.

Saya menyadari bahwa tantangan fisik dahulu tentu lebih berat di bandingkan saat ini. Biarpun berat tapi para misionaris saat itu bekerja tanpa pamrih, juga tanpa digaji. Semangat para misionaris awal itulah yang menjadi kekuatan saya dalam menghayati panggilan imamat saya. Saya sadar, jika mereka tidak datang ke Kalimantan, masyarakat Dayak tentu tidak akan menjadi seperti sekarang ini.

Sekarang ini, apakah peran misionaris masih diperlukan?

Sampai saat ini, Keuskupan Sintang masih kekurangan imam. Maka, peran misionaris sangat membantu karya pastoral di Keuskupan ini. Memang ada kendala perbedaan budaya yang kadang muncul. Pastor dari luar Kalimantan kadang kala kurang bisa menyesuaikan diri. Saya berharap para misionaris di Keuskupan Sintang saat ini dapat proaktif melayani umat dan memahami perbedaan budaya serta mental umat yang belum bagus itu. Selain itu diharapkan para pastor harus membimbing dan mencetak pemimpin umat di tiap stasi.

HIDUP NO.20, 18 Mei 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here