Tubuh Pemimpin

142
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Sutradara Garin Nugroho secara intensif menafsir hubungan antara tubuh dengan kepemimpinan. Melalui berbagai tulisan di media massa, Garin menuturkan tubuh bukanlah fisik belaka. Tubuh adalah dimensi simbolis dari nilai politik, ekonomi, hingga sosial.

Sebagai seorang sineas, Garin Nugroho paham benar akan bahasa tubuh. Garin menghayati idiom yang terkenal dalam ilmu komunikasi, kata hanya punya pengaruh tujuh persen, intonasi 38 persen, sementara bahasa tubuh mendominasi, yakni sebesar 55 persen. Dengan kata lain, tubuh akan memberi makna besar bagi sang pemilik, daripada kata dan intonasi. Dalam konteks kepemimpinan, tubuh sang pemimpin menunjukkan cara dan alasan dia bertindak, serta berujung pada cara dia ditafsirkan oleh para konstituen.

Dalam ranah kepemimpinan, masih lowong pakar yang secara intens meneliti hubungan antara tubuh dan kepemimpinan. Bagi para pakar kepemimpinan, tubuh pemimpin hanyalah sekadar wadah yang bila memakai idiom komunikasi hanya berpengaruh tujuh persen, 38 persen kompetensi manajerial, dan 55 persen adalah integritas dan komitmen moral. Dengan demikian, analisis yang dilakukan Garin Nugroho bisa tergelincir.

Pada masa lalu ada dua tokoh yang mewakili zamannya, yakni Soekarno dan Mahatma Gandhi. Kedua pribadi ini merepresentasikan sosok wong cilik. Apa yang terjadi pada tubuh dua pemimpin ini? Berseberangan. Mahatma Gandhi bertubuh kecil, tirus dan tubuhnya berbalut kain sederhana. Sementara, Soekarno berbadan tegap dan selalu dibungkus baju formal dan aksesoris yang menggambarkan kebesaran.

Dunia pernah memiliki dua tokoh Katolik yang memiliki tubuh berbeda, namun mewakili suasana damai, yakni Paus Yohanes Paulus II dan Bunda Teresa dari Kalkuta. Paus Yohanes Paulus II diberi anugerah tubuh tegap dengan wajah damai. Alhasil, siapapun yang melihat sosok ini akan merasa terlindungi. Berbalik ketika menatap Bunda Teresa. Tubuh ringkihnya menunjukkan belas kasihan, daripada memancarkan aura kedamaian. Namun, mengapa ia bisa menjadi pendekar utama yang selalu menyerukan perdamaian? Tak lain karena tindakan dia.

Republik ini sedang berwacana menyoal kepemimpinan nasional. Dalam pemilihan umum (Pemilu) langsung untuk memilih presiden ketiga kali ini, seharusnya umat Katolik semakin bijak menentukan pilihan. Era pencitraan dengan mengedepankan bahasa tubuh sudah layak dihindari. Bagi pemimpin, tubuh adalah bonus, sedangkan tindakan adalah kewajiban. Maka, memilih pemimpin yang suka bertindak dan bekerja merupakan syarat utama.

Mengapa Indonesia perlu pemimpin yang bertindak? Ada tiga tantangan yang dihadapi. Pertama, ibarat sebuah cawan, Indonesia adalah cawan yang penuh retak. Banyak negara berusaha membantu menutupi keretakan itu, karena bila cawan Indonesia hancur, keamanan kawasan akan ikut berantakan. Ketika banyak negara berusaha menambal keretakan itu, justru isi cawan atau rakyat Indonesia justru menambah besar keretakan melalui korupsi, kekerasan, serta pemaksaan keyakinan. Kedua, bangunan ekonomi yang semakin menjauh dari rakyat dan penguasaan secara masif sumber kekayaan oleh perusahaan mancanegara. Rakyat menjadi objek dan pemilik modal menjadi pengatur. Ketiga, semangat kebangsaan yang mengendur berganti dengan sektarian nan kental berbasis pada agama, suku, dan kelompok.

Tiga tantangan ini menjadi pekerjaan utama pemimpin baru Indonesia pada masa mendatang. Pemimpin harus bertindak dan bekerja melampaui tantangan ini, bukan sekadar berwacana.

Menghadapi peristiwa besar yang dihadapi bangsa Indonesia ini, hendaknya Gereja Katolik mengeluarkan surat gembala. Pemilu Presiden 2014 merupakan Pemilu paling krusial sejak era reformasi. Sudah selayaknya, jika surat gembala itu menjadi surat yang penuh dengan bahasa lugas, jelas, serta tidak multitafsir. Umat menantikan..

A.M Lilik Agung

HIDUP NO.22, 1 Juni 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here