St Wiborada: Rubiah Setia, Patron Pustakawan

245
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Ia diolok-olok banyak orang karena bernadar hidup wadat. Kesucian hidupnya berbuah visiun yang menyelamatkan banyak orang, termasuk imam, biarawan dan biarawati. Ia wafat dibunuh karena kesetiaan sebagai rubiah.

Suatu sore tahun 926, Wiborada mendapat visiun (penglihatan rohani). Dalam visiunnya, rubiah Ordo Benediktin ini melihat berlaksa orang Hungaria datang ke wilayahnya, Swiss. Mereka membabibuta menyerang penduduk, membakar rumah, dan menjarah harta benda. Kaum barbar itu pun membumihanguskan Biara St Gallen di mana ia tinggal dan Gereja St Magnus.

Wiborada menceritakan kisah itu kepada para imam, biarawan dan biarawati. Ia meminta agar mereka segera mengungsi. Mendengar kisah itu, mereka menuruti Wiborada. Kala siap mengungsi, Abbas Engilbert melihat Wiborada justru tak sibuk berkemas.Ia menggali tanah dan menguburkan buku- buku. Menyaksikan hal itu, Sang Abbas menghampirinya. Ia meminta agar Wiborada meninggalkan biara dan mengungsi ke gua di bukit.

Wiborada menolak ajakan Sang Abbas. Ia tetap tinggal di biara, melakukan rutinitas yang menjadi tanggung jawabnya, serta mendoakan penduduk, para imam, dan biarawan-biarawati. Mendengar keputusan Wiborada, Abbas Engilbert pasrah. Dengan sedih dan kuatir, ia meninggalkan Wiborada bersama seorang rekannya yang setia, Rachildis.

Selamatkan Buku
Cahaya lilin masih menyala di lantai atas Biara St Gallen. Dalam selimut cahaya kuning keemasan, Wiborada bersama Rachildis berlutut dan merapal doa demi keselamatan umat dan rekan-rekan sepanggilan. Mereka telah mengubur berbagai buku agar selamat dari penjarahan, perusakan atau pembakaran.

Saat hari berganti, sebelum sang fajar menampakkan batang hidungnya, dari kejauhan mulai terdengar pekik perang orang-orang Hungaria. Visiun Wiborada benar-benar terjadi. Kaum barbar mulai menggasak semua harta benda dan membakar rumah penduduk. Mereka memorak- porandakan Gereja St Magnus dan Biara St Gallen. Tak ada satu ruangan pun yang luput dari amukan.

Saat masuk dan naik ke lantai atas Biara St Gallen, beberapa orang Hungaria itu melihat Wiborada dan Rachildis sedang berlutut dan berdoa. Seorang dari gerombolan itu langsung menyarangkan sebuah kapak di kepala Wiborada. Darah segar menyembur ke dinding. Raganya roboh dengan kapak yang masih tertancap di tempurung kepalanya. Sementara Rachildis dibiarkan hidup sambil menyaksikan rekannya terbujur bersimbah darah.

Usai melancarkan aksi biadabnya, kaum barbar membakar gereja dan biara, termasuk tubuh Wiborada. Beruntung Rachildis luput dari jilatan api yang meluluhlantahkan bangunan itu. Konon, saat dilakukan pembersihan puing-puing dan penggalian di lokasi pembunuhan Wiborada, persis di tempat tubuhnya terbaring ditemukan buku-buku yang mereka benamkan di dalam tanah. Tak ada buku yang terbakar, semua masih utuh. Kisah ini menjadikannya sebagai patron bagi para pustakawan.

Totalitas Pelayanan
Wiborada yang juga dikenal dengan nama Guiborat atau Weibrath lahir sekitar abad IX di Klingna, Aargau, Swiss. Ia berasal dari keturunan bangsawan Swabia, Jerman. Setelah orangtuanya meninggal, Wiborada bersama saudara kandungnya, Hatto hidup dalam kesederhanaan. Hari- harinya diisi dengan bekerja dan berdoa.

Sementara itu, Hatto merasa terpanggil untuk menjawab panggilan sebagai imam. Ia lantas memutuskan untuk bergabung dalam formasi dan pembinaan sebagai imam diosesan di St Gallen, Swiss. Karena hubungan kakak beradik itu sangat dekat, Wiborada memutuskan menyusul saudaranya ke St Gallen. Ia berpikir, keberadaannya di sana bisa membantu meringankan pendidikan dan karya pelayanan saudaranya.

Setiba di St Gallen, Wiborada mencuci dan merapikan pakaian saudaranya. Hatto merasa sangat terbantu dengan kehadiran dan pelayanan saudarinya. Wiborada ternyata tak hanya memperhatikan keadaan saudaranya, melainkan juga membantu merapikan buku-buku di perpustakaan Biara St Gallen.

Ketika menerima tahbisan imam dan ditugaskan untuk melayani umat di Gereja St Magnus, Hatto meminta saudarinya tinggal bersamanya di pastoran. Di sana, Wiborada membantu Hatto seperti yang ia lakukan saat Hatto masih dalam masa pembinaan. Sebagai balas jasa, imam muda itu mengajari saudarinya Bahasa Latin.

Selain itu, Wiborada bersama saudaranya juga melayani orang sakit. Mereka berbagi tanggung jawab. Hatto menampung orang-orang sakit di pastoran. Sementara Wiborada merawat mereka dengan penuh kasih sayang.

Cobaan Hidup
Meski hidupnya diisi dengan doa dan karya pelayanan, Wiborada tak luput dari berbagai cobaan. Salah satunya muncul karena keputusannya memeluk kemurnian. Ia menghayati hidup wadat dan tidak menikah. Panggilan hidupnya ini termasuk praktik yang tak lazim bagi masyarakat pada waktu itu. Tak heran, dirinya menjadi bulan-bulanan cemooh dan fitnah di antara penduduk setempat.

Wiborada bahkan sempat digiring massa guna menjalani serangkaian pencobaan untuk menjatuhkan martabatnya. Ia dipermalukan habis-habisan. Orang-orang menuduhnya mengidap kelainan psikis. Namun, serangkaian siksaan batin itu justru semakin mempertegas dan membuktikan, dirinya tak bersalah.

Meski lolos dari aneka deraan, teror, dan tekanan psikis, pengalaman traumatis ini menyisakan luka mendalam baginya. Wiborada akhirnya menarik diri dari keramaian dan terbenam dalam doa serta mati raga. Ia berniat menjadi seorang pertapa. Keinginannya mendapat jalan tatkala ia berjumpa dengan Uskup Konstantin, Mgr Salomon III, yang memintanya bergabung ke biara monastik St Gallen. Tanpa ragu, ia menyambut undangan itu dengan antusias.

Mgr Salomon menempatkannya di sebuah bilik di dekat Gereja Sankt Georgen. Selama empat tahun, Wiborada mengisi waktunya dengan berdoa, menjilid berbagai buku, dan mengerjakan aneka kerajinan tangan. Ia kemudian dipindahkan ke sebuah bilik di samping Gereja St Magnus.

Wiborada bernadar untuk tinggal di dalam biliknya hingga ajal tiba dengan risiko apapun. Kebijaksanaan, kesederhanaan, kesalehan, dan kepekaan rohaninya seolah menjadi magnet bagi umat beriman. Banyak orang datang padanya untuk minta nasihat dan didoakan. Tak sedikit pula kaum perempuan mengikuti pola hidupnya. Mereka ikut bergabung dan menjalani hidup seperti dirinya. Satu di antaranya ialah Rachildis, yang telah disembuhkannya dari sakit. Selain itu, ada seorang siswa St Gallen yang kerap berkunjung dan meminta nasihatnya. Anak ini bernama Ulrich, yang kelak didaulat sebagai Uskup Augsburg. Dalam sejarah Gereja, Mgr Ulrich ini juga diangkat menjadi Santo. Menurut kesaksiannya, ia amat menghormati Wiborada sebagai ibu spiritualnya.

Langkah hidup Wiborada terhenti diujung kapak aksi brutal orang-orang Hungaria. Sang perawan yang murah hati, setia, bijaksana, dan tekun ini secara resmi diakui oleh Gereja sebagai orang kudus. Paus Klemens II menggelarinya Santa pada 5 Januari 1047 karena teladan hidup dan kesaksian imannya. Gereja Katolik di Swiss memperingati St Wiborada setiap 2 Mei.

Aprianita Ganadi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here