Beato Alberto Marvelli: Mengayuh Sepeda, Menyelamatkan Manusia

449
Beato Alberto Marvelli.
[donboscoland.it]
2.4/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Kala Perang Dunia II, dengan sepedanya ia membantu para korban: membersihkan puing, mengirim makanan dan pakaian. Hidupnya saleh, wafat muda akibat tertabrak truk, menjelang pemilihannya sebagai Ketua Partai Kristen Demokratik di Italia.

Situasi Provinsi Ferrara, Italia mencekam. Dentuman bom dan suara desingan peluru yang dimuntahkan pasukan Sekutu merenggut banyak nyawa dan meluluhlantahkan seluruh bangunan di wilayah itu. Di tengah situasi Perang Dunia II (PD II, 19391945), yang tidak kondusif, medan yang penuh rintangan, iklim yang ekstrim, serta jarak yang cukup jauh, seorang pemuda berusia 25 tahun nekad kembali ke Ferrara. Padahal keluarganya sudah mengungsi ke Vergiano.

Pemuda itu sendirian mengayuh sepedanya, menyelusuri berbagai pojok kota dan menolong setiap orang yang di jumpainya. Si pemberani ini dianggap sebagai orang pertama yang membantu masyarakat untuk membersihkan reruntuhan, mengobati yang terluka, memberi makan, pakaian, menghibur yang putus asa, dan menguburkan yang meninggal. Hampir setiap hari, sejak pagi hingga larut malam, ia berada bersama para korban. Salah seorang saudarinya mengungkapkan, saudaranya sangat sabar dan tekun menjalani misinya. Kerap kali ibunya menjumpai putranya kembali lewat tengah malam, tanpa kasut atau mantol. Padahal, cuaca di luar terasa menusuk tulang.

Demikianlah sepenggal kisah heroik Alberto Marvelli. Pasca PD II, namanya melambung karena keberaniannya melawan tentara Jerman. “Der Panzer” yang kala itu menduduki Italia menggelorakan kampanye anti Yahudi. Ketika mendengar aksi biadab para tentara Nazi Jerman yang membantai kaum keturunan Yahudi di kamp-kamp konsentrasi, Alberto nekad melepaskan para tawanan yang disekap di gerbong kereta api. Berkat keberaniannya, sekelompok orang Yahudi selamat dari maut.

Warisan Ibunda
Alberto lahir di Ferrara, 21 Maret 1918. Tanah kelahirannya terkenal karena di sana berdiri Kastil Estense (Kastil St Mikael), bangunan bergaya renaissance yang kini telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs warisan budaya dunia. Ia menghabiskan masa kecilnya di sana. Kala masih kanak-kanak, teman-teman seusianya mengenalnya sebagai pribadi yang gemar olah raga atletik. Hampir semua cabang ia kuasai. Namun, yang paling ia gandrungi adalah bersepeda.

Temannya, filmmaker terkenal Federico Fellini, mengatakan, selain gemar olah raga, Alberto juga menjadi teladan di sekolahnya. “Guru kami menjadikannya model untuk para siswa. Ia dikenal karena sering membantu orang miskin,” ungkapnya.

Sejak kecil, putra kedua dari tujuh bersaudara pasangan Alfredo Marvelli dan Mary Mayr ini dididik dalam lingkungan keluarga yang sederhana, saleh, dan murah hati, terutama bagi kaum miskin dan menderita. Alberto mengenal ibunya sebagai figur inspiratif yang rajin berdoa, bekerja, gemar menolong, dan bijaksana.

Biasanya, saat sarapan bersama, ibunya menyisakan dan memberikan makanannya untuk orang miskin yang datang ke rumah. “Yesus datang dalam rupa orang-orang miskin. Jadi jangan pernah menolak kedatangan mereka,” ungkap Alberto menirukan pesan ibunya.

Alberto sangat kagum pada ibunya sebagai perempuan tangguh dan pekerja keras. Hal itu ia rasakan saat ayahnya meninggal. Ibunya menghidupi dan mendidik buah hatinya seorang diri, termasuk menyekolahkan hingga meraih gelar Sarjana Mesin dari Universitas Bologna. Meski beban ekonomi kian menghimpit, ibunya masih bisa membantu orang-orang miskin.

Kiprah Pelayanan
Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Demikian adagium untuk melukiskan kemiripan praktik hidup Alberto dengan ibunya. Sejak kecil, seperti bundanya, ia rajin berdoa, mengikuti perayaan Ekaristi, tekun bekerja dan belajar, serta melakukan karya amal. Seiring dengan perpindahan keluarganya ke Rimini (1930), praktik hidup rohani dan sosialnya terus bertumbuh.

Di Rimini, Alberto bergabung dengan komunitas Youth Christian Workers (YCW) “Don Bosco” di parokinya, yang diasuh para imam Serikat Salesian Don Bosco (SDB). Ia mudah beradaptasi dengan lingkungan baru karena bekal habitus kesalehan yang sudah tertanam. Berulang kali Alberto mengungkapkan, seluruh rutinitasnya dapat disimpulkan dalam satu kata: suci.

Malang baginya, pada Oktober 1933, sang ayah meninggal. Peristiwa ini membawa kesedihan mendalam. Sejak kepergian ayahnya, Alberto mulai menumpahkan seluruh peristiwa hidup dan pengalaman rohaninya dalam sebuah buku harian. “Saya ingin mencintai Yesus bukan karena rutinitas belaka, tapi sebagai bentuk disiplin diri yang terus dihidupi, yakni sebuah sikap yang mampu membimbing saya agar lebih sempurna dan layak mencintai-Nya dan Allah Bapa,” tulisnya pada Maret 1937.

Intimitas hidup rohani terlukis dalam salah satu guratan pena di buku hariannya. Alberto mengisahkan, setiap hari ia selalu menyempatkan diri bermeditasi, mengikuti Ekaristi, menerima komuni, membaca bacaan rohani, berdoa Rosario, dan Angelus. Selain itu, ia mengaku dosa minimal sekali dalam sepekan. Tak heran, belum lama bergabung dalam organisasi Aksi Katolik sewaktu kuliah di Bologna, Alberto didapuk sebagai ketua.

Demikian pula di Rimini. Alberto dipercaya sebagai Wakil Ketua Aksi Katolik. Setiap Sabtu, ia harus kembali ke sana untuk mengajar, membuka kedai sop demi membantu kaum miskin, mengunjungi dan mendengar keluh kesah orang sakit, merayakan Misa bersama mereka, serta menyusun berbagai program sosial bagi mereka.

Pemimpin Rohani
Meski jam terbang dan rekam jejaknya di dunia politik praktis belum terlalu lama, pengagum St Dominico Savio and Beato Pier Giorgio Frassati ini sangat dikenal dan dihormati banyak orang, termasuk Partai Komunis, lawan politiknya. Sekalipun Alberto terang-terangan mengkritik ideologi komunis, para lawan politiknya ini tetap respek kepadanya. Anggota Federazione Universitaria Cattolica Italiana (FUCI/Federasi Sarjana Katolik Italia) ini dinilai jujur dan gigih memperjuangkan kesejahteraan umum. “Saya rela partai kami kalah, asalkan Alberto menjadi walikota,” tutur salah seorang petinggi Partai Komunis.

Berkat dedikasi dan keutamaan hidupnya, Alberto digadang-gadang sebagai calon pemimpin terkuat dari Partai Kristen Demokratik. Ketika tiba hari pemilihan, 5 Oktober 1946, mantan karyawan Fiat di Turin ini keluar dari rumahnya dengan mengendarai sepeda. Naas, truk menyeruduknya. Ia terpelanting, jatuh tak sadarkan diri, lalu meninggal tak lama kemudian. Ruang pemilihan geger mendengar insiden yang menimpanya. Meski tutup usia, ia tetap dipilih sebagai ketua partai. Kedudukannya di partai kemudian digantikan ibunya.

Berkat karya pelayanannya kepada orang miskin, sakit, dan menderita, serta semangat hidup rohaninya yang selalu membara, Bapa Suci Yohanes Paulus II membeatifikasi pelayan orang miskin ini pada 5 September 2004 di Loreto, Italia. Alberto wafat pada usia 28 tahun. Jenazahnya dimakamkan di Gereja St Agustinus, Rimini, Italia. Setiap 5 Oktober, Gereja Katolik mengenang kesalehan dan kemurahan hati beato muda ini.

Yanuari Marwanto
HIDUP No.40 2014, 5 Oktober 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here