Ignatius Basis Susilo : Perumus Debat Calon Presiden

557
Debat Capres: Debat Capres-Cawapres putaran pertama.
[suara.com]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Sudah 30 tahun lebih, pria ini mantap menjalani panggilan sebagai pendidik. Profesi dosen dan pengalaman di dunia pendidikan mempengaruhi karirnya sebagai pengamat politik internasional. Ia didaulat menjadi tim perumus debat Calon Presiden-Wakil Presiden.

Nama Ignatius Basis Susilo masuk dalam tim perumus dalam debat calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawa pres) 2014. Ia diminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjadi satu dari sepuluh orang tim perumus Debat Capres dan Cawapres. Basis bergabung dalam tim perumus, lantaran anggota tim perumus materi debat tidak hanya berasal dari Jakarta. Anggota tim perumus harus ada yang berasal dari daerah. Maka, dicari sosok yang dipandang masih netral dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2014 ini.

“Saya dianggap mewakili daerah dan masih netral,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP UNAIR) Surabaya, Jawa Timur ini. Bersama sepuluh orang anggota tim perumus, Basis menentukan format, topik, dan substansi dasar pertanyaan yang diajukan dalam debat Capres-Cawapres. Lalu, materi debat tersebut diserahkan ke KPU.

Basis banyak memberikan masukan sesuai dengan bidang yang ia kuasai, yakni politik internasional dan ketahanan nasional. “Kami hanya memberi masukan kepada KPU. Atas dasar masukan tersebut, lalu KPU mengajak media dan tim sukses pasangan Capres-Cawapres untuk menyepakati format debat,” papar umat Paroki St Marinus Yohanes Kenjeran, Surabaya ini.

Pasca Pilpres, Basis berharap, masyarakat menghormati dan memberikan dukungan kepada presiden baru, siapapun yang terpilih. Bagi pendukung presiden yang kalah, mereka harus bersikap dewasa, menjunjung tinggi sportivitas, serta menerima kekalahan dengan lapang dada.

Masuk seminari
Sejak kanak-kanak, Basis telah mengakrabi dunia pendidikan. Setiap hari, ia melihat sang ayah yang berprofesi sebagai guru. Pendidikan pun menjadi urusan nomor satu dalam keluarga ini. Setelah menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar, Basis masuk Seminari St Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Selain dikenal sebagai sekolah para calon imam, Seminari Mertoyudan juga dikenal sebagai sekolah yang memiliki mutu pendidikan baik. “Saat itu, Seminari Mertoyudan adalah sekolah favorit. Jadi, banyak yang mendaftar,” ungkap pria kelahiran Klaten, 8 Agustus 1954 ini. Basis juga masih mengingat pesan sang ayah, “Menjadi imam adalah tujuan mulia. Meski tidak berhasil menjadi imam, tapi bisa bersekolah di Seminari Mertoyudan akan membuat masa depan lebih baik.”

Di Seminari Mertoyudan, putra pasangan J. Soewondo dan Maria Sutini ini di tempa dalam iklim pendidikan yang penuh keteraturan dan kedisiplinan. Di tempat ini, Basis juga belajar tentang berbagi pekerjaan dengan sesama teman. “Waktu itu, saya mendapat tugas mengurus kebersihan kamar mandi dan mengurus hewan di asrama,” tutur ayah dua anak ini.

Hampir setiap sore, Basis bersama rekan-rekannya beradu dalam olahraga sepak bola. Bagi dia, sepak bola mengajarkan tentang kerja sama dan ke pemimpinan. “Saya belajar menjadi seorang pengikut dan pemimpin yang baik. Saya yakin, pemimpin yang baik ada pengikut yang baik, begitu pula sebaliknya.”

Sementara dalam keluarga, orangtua Basis sangat mengedepankan pendidikan iman. Jika musim liburan tiba, orangtua selalu mengajak Basis beserta ketujuh saudaranya pergi berziarah ke Goa Maria Sendangsono. Basis selalu didaulat sang ayah menjadi tour leader. Basis diminta menentukan jalan, makan, dan istirahat. “Pengalaman ini amat berharga bagi saya, karena mengajarkan saya tentang kepemimpian dan tanggung jawab,” tulis Basis melalui surat elektronik, Senin, 30/6.

Menjadi dosen
Basis tak menyelesaikan pendidikan di Seminari Mertoyudan. Ia keluar dari Seminari Mertoyudan dan meneruskan belajar di SMAN Pare, Kediri, Jawa Timur. Lepas dari sekolah menengah atas, Basis masuk ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Selama duduk di bangku kuliah, Basis tertarik menjadi kuli tinta. Bukan kebetulan, selama mengenyam pendidikan di Kota Pelajar Yogyakarta, ia tinggal bersama kedua sepupunya yang berprofesi sebagai wartawan.

Sejak semester lima, Basis mulai aktif menulis di media umum. Ia juga menjadi editor di Mingguan Katolik Praba. Namun, setelah sungguh-sungguh bekerja di media massa, Basis mulai menimbang-nimbang pilihan ini. Ia semakin sering bepergian dan setiap saat dikejar-kejar deadline. Akhirnya, Basis memutar haluan. Ia berhenti bekerja di media massa, lalu memilih menjadi seorang pengajar. Kini, Basis berprofesi sebagai dosen Hubungan Internasional di Universitas Airlangga (UNAIR) Surabaya.

“Saya memilih menjadi dosen, apalagi saya dari keluarga pendidik. Menulis tetap menyertai karir saya. Jadi, saya dosen yang juga kolumnis. Dua profesi yang saling mengisi dan mendukung. Dua hal ini yang kemudian mempengaruhi karir saya sebagai pengamat politik internasional,” ungkap kakek dua orang cucu ini.

Sebagai pengamat politik, Basis tak ingin kembali ke masa Orde Baru. Ia mengaku, hidup pada zaman Orde Baru sangat sulit, karena gerak terbatas, serba diatur. “Jika berani mengkritik penguasa Orde Baru, bisa diinterogasi. Beda pada masa sekarang. Kita bisa saling mengkritik, atau mungkin malah terlalu bebas berpendapat,” ungkap anggota Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Surabaya ini.

Ignatius Basis Susilo

TTL : Klaten, 8 Agustus 1954
Istri : Juliana Aan Adianti
Anak : Anton Novenanto dan Birgita Pertiwi

Pendidikan:
• SMP Seminari Mertoyudan
• SMA Kelas 1 Seminari Mertoyudan
• SMA Kelas 2 SMAN Pare, Kediri
• SMA Kelas 3 SMAN I Kediri
• S-1 FISIPOL UGM
• Pascasarjana Universitas Indonesia
• University of Minnesota, Amerika Serikat

Pekerjaan:
• Dosen Hubungan Internasional FISIP UNAIR (1980-sekarang)
• Dekan FISIP Universitas UNAIR (2007-2015)

Aprianita Ganadi

HIDUP NO.29, 20 Juli 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here