Mudik Imlek

213
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Bulan hujan belum berlalu. Jakarta dirundung mendung melulu. Penanda alam ini berjalan mengiringi kesedihan Amadea. Ia duduk terpekur di dekat peti mati. Kepalanya menunduk menatap lantai. Ganda hio mengepul, menyesaki sudut-sudut rumah duka. Semua telah siap. Upacara kremasi menanti. Jasad dalam peti mati itu orang yang teramat istimewa bagi keluarga Amadea.

Amadea menitikkan air mata. Ia teringat kata-kata anaknya semata wayang, Indrajit, yang masih berumur dua tahun, “Bunda, Mami Ling kok diam saja. Aku mau Mami Ling bercerita,” celoteh bocah kecil itu.

“Kalau saja kau tahu, Nak, Mami Ling sudah pergi jauh. Jauh sekali,” ucap Amadea lirih.

Jenazah Enci Ling terbaring sempurna dalam peti mati. Wajahnya tampak tenang. Sebuah senyum tersungging di bibir. Senyum yang selalu diberikan Enci Ling.

“Jika saya nanti mati, bakar saja! Cukup abu saya yang dikembalikan ke Singkawang,” pesannya suatu hari.

Dan memang benar, setelah dikremasi, abu Enci Ling langsung diberangkatkan ke Singkawang. Amadea dan suaminya, Jati, mengantar abu Enci Ling hingga ke Kota Seribu Kuil itu.

Satu pesan Enci Ling yang tak bisa diwujudkan Amadea sebelum ia meninggal. Enci Ling pernah berujar, ia ingin dibaptis di Gereja Katolik. Namun karena kesibukan, Amadea seperti melupakan pesan itu. Enci Ling juga tak pernah menagih pesan itu.

***
Enci Ling pergi dari Singkawang empat puluh tahun silam. Ia pergi sebagai janda muda tanpa anak yang dicerai suaminya. Enci Ling memiliki nama asli Tan Xiang Ling. Ia seorang petani miskin di Singkawang. Sawahnya habis dijual untuk melunasi semua hutang suaminya yang gemar mengadu peruntungan di meja judi di kedai-kedai kopi.

Setelah ditinggal sang suami yang kawin lagi, Enci Ling berjualan sayur-mayur keliling Singkawang. Tiap pagi, ia mengayuh sepeda menuju pasar. Ia membeli berbagai sayur, lalu menjajakan keliling Singkawang. Usai berkeliling, ia selalu singgah di Pak Kung atau kelenteng. Ia membakar hio, lalu komat-kamit merapalkan doa.

Ia pergi dari Singkawang, mengadu nasib di Pontianak. Mula-mula, ia menjadi buruh cuci di biara para bruder yang letaknya tak jauh dari Katedral Pontianak. Di sinilah, ia bertemu dengan orangtua Amadea, yang saat itu masih pasangan muda. Orangtua Amadea amat dekat dengan para bruder, dan menjadi salah satu donatur tetap bagi karya-karya sosial para bruder.

Melihat cara kerja Enci Ling yang cekatan, orangtua Amadea tertarik. Akhirnya, Enci Ling diboyong ke Jakarta. Enci Ling melakukan pekerjaan apa saja, mulai dari pekerjaan rumah tangga, merawat Amadea yang kala itu masih berusia satu tahun, hingga ikut menjaga toko milik orangtua Amadea. Ia selalu mengerjakan semua dengan penuh senyum.

Orangtua Amadea pun memperlakukan Enci Ling seperti keluarga sendiri. Orangtua Amadea pula yang menjodohkan Enci Ling dengan Marwan, sopir keluarga itu. Tapi sayang, sampai Marwan meninggal dunia sepuluh tahun yang lalu, mereka tak dikaruniai buah hati.

Ketika Amadea menikah dengan Jati, Enci Ling memilih tinggal bersama Amadea dan Jati. Bagi Amadea, Enci Ling seperti orangtua kedua. Enci Ling selalu menjadi tempat menumpahkan segala pengalaman dan isi hati Amadea. Apalagi ketika Indrajit hadir. Enci Ling yang menjaga dan merawat Indrajit tiap hari. Peran Enci Ling tak tergantikan.

***
Setiap kali Imlek tiba, Amadea amat senang, lantaran Enci Ling selalu menyiapkan beragam makanan. Enci Ling pandai meracik kue keranjang. Kue keranjang buatan Enci Ling sangat legit di lidah.

Namun, tidak dengan Imlek tahun ini. Beberapa minggu menjelang Imlek, perasaan Amadea gundah.

“Dea, Enci ingin pulang ke Singkawang,” harap Enci Ling kepada Amadea.

Bukan itu yang membuat Amadea gundah. Enci Ling tak sekadar ingin mudik Imlek. Ia berniat pulang kampung selamanya dan menikmati masa tua di Singkawang.

“Enci sudah tua. Enci ingin istirahat.”

Amadea hanya diam. Enci Ling memang kian menua. Ia tak lagi sigap seperti dulu. Maklum, usianya hampir berkepala tujuh.

Amadea terus bergelut dengan harapan Enci Ling. “Memang sudah saatnya, Enci Ling istirahat dan menikmati hidup,” ucap batin Amadea.

“Tapi, nanti siapa yang menjaga Indrajit? Siapa yang menyiapkan makan untuk Mas Jati,” batin Amadea. Amadea kian bingung.

Amadea, Jati, dan Indrajit terus berusaha agar Enci Ling mengurungkan niat pulang kampung. Mereka tak mau kehilangan Enci Ling.

“Nanti siapa yang masakin aku cap cay kalau Mami Ling pergi,” bujuk Indrajit. Kalau sudah begitu, Enci Ling tak kuasa menolak bujukan Indrajit, yang sudah dianggapnya sebagai anak cucu sendiri.

Namun apa boleh buat, Enci Ling tetap ingin pulang kampung. Membujuk terus-menerus, bukanlah jalan keluar. Enci Ling sudah menyiapkan segalanya di Singkawang. Dari hasil bekerja bertahun-tahun, ia sudah memiliki sebidang tanah dan rumah sederhana di sana.

Amadea juga telah menyiapkan pesangon.

“Pokoknya, Enci tak boleh menganggur. Ini bisa untuk modal membuka warung kecil-kecilan di kampung,” ucap Amadea sembari menyerahkan amplop berisi uang. Air matanya meleleh. Amadea merengkuh Enci Ling. Mereka berpelukan dalam derai air mata.

Hari-hari berikut, Enci Ling tampak amat riang. Mudik Imlek kali ini terasa amat istimewa bagi Enci Ling. Amadea, Jati, dan Indrajit akan mengantar Enci Ling hingga Singkawang, sembari beriaria menyaksikan perayaan Imlek. Bekal pun telah disiapkan. Tiket pesawat pergi dan pulang telah dipesan. Meski Amadea sangat sedih, tapi ia bahagia, lantaran masih bisa merayakan Imlek bersama Enci Ling.

Mendekati Imlek, wajah Enci Ling kian berseri. Ia mengemasi seluruh barangnya sendiri. Ia juga sudah berpamitan dengan para tetangga. Hatinya tampak bertaburan bunga aneka warna.

Hari itu, satu minggu menjelang Imlek. Tak seperti biasa, Enci Ling belum bangun tidur. Padahal adzan subuh sudah usai. Biasanya sejak adzan subuh berkumandang, Enci Ling sudah sibuk di dapur. Merebus air atau menanak nasi. “Enci Ling kok belum bangun,” pikir Amadea.

Amadea bergegas ke kamar Enci Ling. Ada perasaan yang tak sedap dalam hati Amadea. Amadea membuka pintu kamar Enci Ling. Ia melihat Enci Ling tidur pulas. Wajahnya amat tenang. Seberkas senyum tipis menghiasi wajah Enci Ling yang sudah mulai yang keriput.

Amadea mendekat. Jantungnya berdebar kencang. Ia memegang tangan Enci Ling pelan-pelan.

“Ci, bangun!” ujar Amadea lirih.

Amadea mengulangi beberapa kali. Tapi, Enci Ling tetap diam. Amadea memegang tangan Enci Ling dengan kedua tangannya. Dingin. Tak ada kehangatan di tangan Enci Ling. Amadea memberanikan diri menyentuh dahi dan leher Enci Ling. Dingin. Dingin sekali.

Amadea gugup. Segera, ia membangunkan suaminya dan menelpon dokter keluarga. Beberapa menit kemudian, dokter datang. “Maaf, Enci Ling sudah dipanggil Yang Mahakuasa,” kata dokter. Amadea bungkam.

***
Imlek tiba. Amadea, Jati, dan Indrajit telah berada di kabin pesawat. Amadea memeluk sebuah guci kecil yang berisi abu Enci Ling.

“Enci Ling, maafkan kami tak bisa mewujudkan pesanmu untuk dibaptis. Kami yakin Enci sudah dibaptis di surga.”

Air mata Amadea kembali menetes. Melalui jendela pesawat, Amadea menatap awan-awan putih yang berarak diterpa angin. Dari balik awan putih itu, mata Amadea melihat sosok Enci Ling sedang bermain dengan dua ekor naga.

“Enci Ling, Kung Sie Fa Chai,” ucap Amadea lirih.

Y. Prayogo

HIDUP NO.09 2019, 3 Maret 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here