Maria Laurensia Santoso: Setia dalam Penderitaan

844
Setia: Maria Laurensia Santoso dan Heribertus Muliadi Njono.
[NN/Dok.Pribadi]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Ia divonis kanker payudara stadium tiga. Ketakutan operasi, ia memilih mengkonsumsi obat-obatan herbal. Tak kunjung membaik, doa menjadi penopang setiap langkahnya.

Sekitar September 2012, Maria Laurensia Santoso merasakan ada benjolan di payudara kanan. Hasil pemeriksaan USG menunjukkan adanya kanker berdiameter sekitar 2.6 cm. Dokter menyarankan operasi pengambilan jaringan kanker untuk kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter Pathologi. Mendengar kata operasi, terbayang sesuatu yang menakutkan dalam benaknya. Ia memutuskan untuk mencoba mengkonsumsi obat-obatan herbal.

Lima bulan dilewatinya, tidak ada tanda- tanda kemajuan. Pada awal Februari 2013, ia mendapati benjolan itu semakin menonjol, keras dan membesar. Kulit di sekitar benjolan juga agak kebiru-biruan. Kecemasan menyelimuti hatinya, juga hati suaminya.

“Tuhan apa yang harus saya lakukan? Berilah saya petunjuk dan jalan terbaik. Saya tidak pernah berpikir kenapa penyakit tersebut ada pada saya,” Maria menceritakan kembali doanya waktu itu. “Saya juga terus memohon pertolongan Bunda Maria, yang tak pernah bosan mendengar permohonan saya …. Saya pun tetap melakukan aktivitas harian seperti biasa. Begitu juga dengan kegiatan pelayanan dalam Legio Mariae seperti mengunjungi dan menghibur orang-orang sakit, mengunjungi penjara, dan lain-lain, tetap saya lakukan.”

Kanker menderanya. Lantunan doa, pun kesetiaan suami mendampinginya, menjadi daya yang menguatkannya. Dalam kondisi itu, umat Paroki St Damian Batam ini tetap melibati kegiatan pelayanan dalam Mariage Encounter (ME).

Teguh Hati
Mengetahui kondisi Maria dengan benjolan di payudara yang semakin membesar, sang suami, Heribertus Muliadi Njono, tak mampu menepis rasa khawatir yang singgah di hati. Ia pun menemani Maria untuk kembali berkonsultasi dengan dokter pada 20 Februari 2013. Untuk kedua kali, pemeriksaan USG dilakukan. Hasilnya, tumor membesar, dengan diameter sekitar 5.7 cm. Dokter tetap seperti semula, menyarankan untuk operasi.

Muliadi dihantui kebingungan dan kegelisahan. “Perasaannya berkecamuk. Ia pun berdoa: ‘Tuhan kuatkanlah kami. Kami serahkan hidup istri hamba ke dalam tangan- Mu.’ Tetapi perasaan saya beda dengan suami. Saya biasa saja. Saya tidak khawatir ataupun kaget mendengar vonis dokter karena saya yakin Bunda Maria bersama saya,” ungkap Maria.

Dengan kemantapan hati, Maria memberanikan diri menjalani operasi. Ia memilih berjalan kaki menuju ruang operasi dan naik ke meja operasi tanpa bantuan. Operasi dilakukan pada 26 Februari 2013 pukul 10.00. Dokter Pathologi memeriksa jaringan kanker di tubuhnya.

Sekitar pukul 12.40, dokter menemui suami Maria dan mengatakan bahwa kanker yang bersarang di tubuh istrinya adalah kanker ganas dan sudah memasuki stadium tiga akhir. Seluruh bagian payudara kanan pun diangkat. “Sehari sebelum operasi, dokter bedah telah meminta persetujuan kami. Apabila hasil pathologi menyatakan kanker itu ganas, kami setuju untuk dilakukan pengangkatan,” kisah Maria.

Sebulan berselang, Maria dan suaminya menerima hasil pemeriksaan jaringan dari dokter Pathologi. Sel-sel kanker telah menyebar hingga kelenjar getah bening. Dokter menganjurkan agar Maria menjalani kemoterapi dan radiasi. Namun, Maria tidak melakukannya.

Dalam kecemasan yang berkecamuk itu, Muliadi dengan setia mendampingi sang istri. Muliadi tak henti berdoa bagi kesehatan Maria. “Ya Tuhan, kami tidak mengetahui rencana- Mu. Kami menerima apapun, setiap rencana-Mu terjadi pada kami. Kami percaya bahwa Engkau tidak akan meninggalkan kami. Kami adalah manusia yang lemah, berilah kami kekuatan agar kami tetap setia kepadaMu serta jangan biarkan kami jatuh dan meninggalkan Engkau,” demikian doa yang didaraskan Muliadi. Sang suami juga terus mencari informasi lewat internet mengenai kanker payudara. “Tidak ada keluarga saya di Batam. Dan saat itu, keluarga juga tidak ada yang tahu mengenai sakit saya,” tutur perempuan kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 11 Januari 1966 ini.

Menjalani hari-harinya, Maria berusaha lambungkan syukur, tidak marah dan menyalahkan Tuhan. Ia terus memohon agar tetap setia kepadaNya di tengah sakit yang harus ia tanggung. “Penyakitku ini menjadi kekuatan iman ku karena aku tetap mengimani bahwa Allah selalu bersamaku,” ungkap perempuan yang mulai aktif sebagai Legioner sejak 2002 ini.

Menimba Kekuatan
Sebagai ungkapan kesetiaannya pada Tuhan, Maria tetap ambil bagian dalam pelayanan di lingkungan, Legio Mariae, dan ME. Medio Maret 2013, selang untuk mengeluarkan darah masih terpasang di payudaranya. Bersama sang suami, ia tetap mengikuti weekend ME selama tiga hari. “Saya minta dokter untuk memperpendek selang agar saya lebih nyaman dan tidak terbebani kantung darah. Di weekend ME ini, kami merasa semakin dikuatkan,” katanya.

Maria pun tetap terlibat dalam pelayanan Legio Mariae, antara lain membantu imam untuk mengadakan Misa di lembaga pemasyarakatan setiap bu , mengunjungi serta mendoakan orang sakit. “Kami percaya, Yesus dan Bunda Maria tidak akan meninggalkan kami. Yesus dan Bunda Maria selalu mendampingi kami.”

Maria berusaha untuk menyerahkan semua permasalahan dan kelemahannya kepada Yesus melalui perantaraan Bunda Maria. Bersama suaminya, ia juga mengikuti retret di Cikanyere, Jawa Barat, selama beberapa hari. Setiap hari,Maria dan suaminya bertelut dalam doa di Goa Maria di sana. “Seorang suster yang mendoakan kami, memberi mawar kering sebagai tanda kehadiran Bunda Maria. Selesai doa malam, kami seperti mencium bau mawar yang sangat harum,” cerita Maria.

Lewat doa, Maria dan suaminya menimba kekuatan untuk menghadapi se mua permasalahan dan sakitnya. Pun demikian sebelum Maria melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Cancer Mount Mariam di Penang, Malaysia, pada awal Mei 2013. Setiap malam dan pagi, Maria dan Muliadi terus mendaraskan doa. “Yesus yang penuh belas kasih, kami mohon belas kasihanMu. Persatukanlah penyakit istri hamba dengan penderitaan Mu dikayu salib, dan biarlah darahMu yang Kudus mengalir dalam tubuhnya.” Maria juga berdoa melalui perantaraan St Yosef Freinademetz, misionaris pertama SVD di Cina.

Di rumah sakit Penang, pemeriksaan demi pemeriksaan dilalui Maria. Mencengangkan! Dari hasil pemeriksaan, dokter menyatakan bahwa tidak ditemukan penyebaran sel kanker pada bagian tubuh lain. Maria dinyatakan sembuh. “Saya bersyukur dan percaya, Yesus tidak akan pernah meninggalkan saya. Ia begitu mengasihi saya.”

Atas anugerah kesembuhan itu, Maria mengungkapkan, “Saya belajar bahwa di dalam setiap kelemahan, di situ ada kekuatan. Kekuatan yang telah dipersiapkan oleh Yesus bagi yang percaya.”

Maria Pertiwi

HIDUP NO.35, 31 Agustus 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here