Menabur Asa Menggapai Cita

305
Kreatif: Murid-murid Sekolah Kasih Bunda sedang membungkus sari jahe buatan mereka.
[HIDUP/Celtus Jabun]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Tak kenal lelah, para guru mendampingi siswa berkebutuhan khusus agar dapat mandiri. Karena beragam gangguan, kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan siswa.

Cuaca di wilayah Bekasi, Jawa Barat, cerah. Anak-anak Sekolah Kasih Bunda (SKB) mulai berdatangan dan menyalami para guru yang sudah hadir terlebih dulu. Di antara mereka, ada yang langsung bergabung bersama guru yang sedang membuat rosario, ada yang duduk menyendiri, dan ada pula yang berlarian kesana kemari sambil melihat aktivitas teman-teman mereka yang lain.

Sabtu pagi, 29/11, sekolah yang melayani anak-anak berkebutuhan khusus, beralamatkan di Jl Randu II No 50, Jatiraden, Jatisampurna, Bekasi, ini kedatangan tamu dari SD Saint Peter’s School, Kelapa Gading, Jakarta. Setelah menunggu beberapa saat, tamu yang ditunggu pun hadir. Kegembiraan terpancar dari wajah siswa-siswi SKB. Mereka kemudian menyalami para tamu. Meskipun agak terbatas dalam berkomunikasi, siswa-siswi SKB itu tetap berani memulai percakapan dengan menanyakan nama beberapa tamu. Tidak lama berselang, mereka unjuk kebolehan dengan menampilkan tarian didampingi guru mereka.

Berpindah-Pindah
Sekolah Kasih Bunda adalah tempat pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dalam menimba ilmu dan pengetahuan melalui berbagai latihan dan bimbingan. Sekolah ini didirikan oleh pasangan suami istri Edy Setya Pambudi dan Mirsarini Sri Setiati pada 28 Juni 2007. Umat paroki St Thomas, Depok, Keuskupan Bogor, ini tergerak mendirikan SKB karena ingin memberikan pelayanan dan pendampingan kepada anak-anak berkebutuhan khusus yang susah mencari sekolah.

Mereka mengawali karya sekolah ini di Ruko Sentra Amerika, Kota Wisata, Cibubur, Jawa Barat. Pada mulanya, jumlah murid hanya empat orang dengan pendamping dua guru dan dua relawan yang datang dua kali seminggu. Proses belajar mengajar di tempat ini tidak berlangsung lama sebab situasinya kurang mendukung perkembangan anak. Sekolah tidak memiliki halaman luas dan ruangan juga terbatas. Maka, pada awal Maret 2008 sekolah ini berpindah lokasi ke Jl Randu No 96 Kranggan, Bekasi dengan menyewa sebuah bangunan. Di tempat itu, jumlah murid bertambah. Beberapa orangtua dari kalangan menengah ke bawah dapat menyekolahkan anaknya ke SKB. Sayang, pemilik lahan dan bangunan hanya mengizinkan tempat tersebut sampai bulan Desember 2013.

Dengan masalah ini, pendiri dan pengurus yayasan pun tidak kehilangan akal. Mereka kemudian bertemu Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo untuk meminta izin memakai bekas kapel di Paroki St Servatius Kampung Sawah, Bekasi, yang sudah 17 tahun tidak dipakai. Mgr Suharyo mengizinkan dan sampai saat ini kegiatan berlangsung di tempat ini.

Pelayanan Personal
Dalam proses belajar mengajar, SKB selalu mengutamakan pelayanan personal kepada peserta didik. Untuk menunjang kegiatan, sekolah dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti kelas akademik, terapi, kantor, fasilitas life skills, ruang konseling, relaksasi, ruang komputer, perpustakaan sederhana, ruang makan, kebun, dan taman.

Saat ini siswa berjumlah 14 anak: 11 laki-laki dan tiga perempuan. Mereka memiliki beragam gangguan seperti Autis Spectrum Disorder, Attention Deficit Disorde (ADD), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Learning Disability, Speech Delay, Cerebral Palsy, dan Slow Learner. Karena itu, pembinaan dilakukan secara personal. Dari 14 siswa, empat di antaranya beragama Islam, delapan Kristen dan dua Katolik.

Para murid ini mengikuti kegiatan sekolah mulai pukul 08.00 sampai 13.00. Kegiatan yang mereka ikuti, antara lain membaca, menulis dan berhitung. Sementara kegiatan ketrampilan, yaitu membuat rosario, tasbih, kalung, gelang, dan sari jahe. Di samping itu, mereka juga belajar memasak dan berkebun. Sebelum mengikuti kegiatan, mereka menjalani terapi sebagai persiapan belajar.

Oleh karena anak-anak di SKB mempunyai kebutuhan yang berbeda, kurikulum yang diterapkan disesuaikan dengan kebutuhan siswa-siswi. Dengan demikian, sembilan guru yang melayani memberikan materi sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.

Untuk membantu perkembangan anak selama berada di SKB, sekolah juga menyediakan layanan terapi seperti diagnosa anak, occupational therapy, applied behaviour analysis, speech therapy, sensory integrasi therapy, program konsultasi, training dan pendidikan. Untuk mendapatkan semua pelayanan tersebut, orangtua siswa diminta berpartisipasi dengan memberikan sumbangan sukarela sesuai dengan kemampuan.

Untuk mengembangkan kepribadian anak didik, pendidikan yang dilakukan di sekolah ini tidak hanya berpusat di lingkungan sekolah. Mereka juga belajar untuk mengenal lingkungan luar, misalnya dengan diajak pergi ke mal bersama-sama, mengunjungi kebun binatang, museum, dan belajar cara menyeberang jalan raya. Untuk lama waktu pendidikan di sekolah ini tidak tentu. Jika anak sudah dianggap mandiri dan bisa bekerja sesuai dengan kemampuan yang diperoleh selama belajar, ia bisa dinyatakan lulus dari SKB.

Hidup Mandiri
Ketua yasasan SKB Vincentius Eka Yunianta menegaskan bahwa semua program pembelajaran yang diikuti oleh para murid bermuara pada tujuan utama, yakni kemandirian. “Mereka punya masa depan. Oleh karena itu, tanggung jawab kami adalah memperhatikan mereka,” tandasnya. Eka mengungkapkan, tidak sedikit tantangan yang dihadapi para guru. Namun umat paroki St Yakobus Kelapa Gading ini berkeyakinan bahwa selama SKB punya kehendak baik, maka pasti ada jalan keluar.

Kepala Sekolah, Imelda Noron merasa senang dapat bergabung dengan SKB. Selama empat tahun, umat paroki St Servatius Kampung Sawah ini merasa diberkati dan diperkaya lewat perjumpaan dan berkomunikasi dengan para murid SKB. “Anak-anak bisa membuat saya bahagia, tertawa dan mendorong saya untuk terus melayani,” ungkapnya. Menurut Imelda, anak-anak SKB sungguh membutuhkan perhatian dan pelayanan yang total dari para guru. Ia berharap, setelah mendapat pendampingan di sekolah, anak-anak bisa mandiri dan dapat bekerja sesuai dengan kemampuan mereka.

Seorang guru beragama Islam bernama Mustabar mengisahkan bahwa mendampingi anak berkebutuhan khusus memang membutuhkan kesabaran dan ketulusan hati. Tanpa itu, kata guru keterampilan di SKB ini, anak-anak tidak dapat berkembang dengan baik. Oleh karenanya, untuk menjadi pendamping siswa-siswi SKB tidak perlu pendidikan tinggi. “Yang dibutuhkan adalah hati yang selalu siap membantu dan melayani,” kata pria yang sudah enam tahun mengajar di SKB ini.

Celtus Jabun

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here