Broken Home

351
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh yang baik, nama saya Yohana umur 19 tahun. Saya anak nomor dua dari tiga bersaudara. Saat ini saya menghadapi masalah berat. Orang tua saya berpisah rumah sejak satu tahun lalu setelah ayah ketahuan selingkuh. Situasi itu membuat ibu frustrasi.

Masalah pun bertambah, ketika saya tahu bahwa kakak saya seorang homoseksual. Beban hidup kami pun semakin berat, karena keluarga saya punya banyak utang. Untuk membiayai sekolah adik, terpaksa saya bekerja. Kini saya sudah tidak sanggup lagi menerima keadaan. Apa yang harus saya lakukan untuk menyelamatkan keluarga saya? Terima kasih.

Yohana, Jakarta

Saudari Yohana, keluarga Anda yang dibayangi mendung kelabu sudah tergambar dalam surat. Kurang lebih keluarga Anda kini tengah berada dalam situasi kacau. Hal ini sering terjadi dalam kondisi keluarga broken home. Ditambah lagi dengan masalah kakak Anda yang homoseksual. Sebagai anak, tentu Anda kecewa, putus asa, malu, dan tak berdaya. Semuanya campur-aduk menjadi satu; melumpuhkan daya dan kemauan hidup Anda.

Situasi tersebut tentu mengguratkan memar luka di hati hampir semua anggota keluarga, terutama ibu dan anak-anak. Kondisi keluarga broken home dalam banyak kasus tak serta merta terjadi. Peran dan posisi anak seringkali bukan faktor penting (apalagi penentu) bagi terjadinya broken home, tetapi dampak negatifnya sering mereka alami.

Anda bertanya, apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan keluarga. Tentu jawabannya tidak sederhana dan instant. Situasi dan kondisi keluarga broken home, dengan segala eksesnya, seperti psikologis, ekonomis dan sosial ditambah dengan kondisi kakak Anda, menurut saya tak harus Anda borong untuk Anda atasi sendiri secara cepat. Menyikapinya dengan lebih realistis dan proporsional kira-nya lebih tepat. Untuk itu, satu hal mendasar yang lebih dulu Anda lakukan adalah mengubah pola pikir (mindset) dari memandang dan menghayati diri sebagai “korban” menjadi memandang dan menghayati diri sebagai “subjek”.

Dengan memandang dan menghayati diri sebagai subjek (bukan objek atau korban dari situasi), Anda bukan lagi sebagai pihak yang secara pasif ditentukan oleh situasi, tetapi berperan aktif untuk memilih sikap dan tindakan yang dapat Anda putuskan untuk menghadapi situasi tersebut.Kondisi keluarga yang broken home dan kakak Anda yang homoseksual sebaiknya Anda terima sebagai kenyataan. Situasi itu memang jauh dari harapan ideal menurut ukuran umum. Hal itu tentu tak terbayangkan bakal menimpa keluarga Anda. Tapi kenyataannya tak bisa Anda hindari.

Yang perlu diagendakan adalah bagaimana mengupayakan situasi keluarga yang lebih baik. Cobalah berdiskusi dengan pihak yang Anda percaya, seperti pembina umat, pastor, atau psikolog keluarga untuk mencari jalan keluar. Bila dalam situasi seperti itu Anda kemudian harus bekerja demi membiayai sekolah adik, coba lah hayati itu sebagai tindakan proaktif. Bekerja adalah salah satu tindakan yang paling mungkin Anda lakukan untuk upaya penyelamatan, setidaknya untuk menyelamatkan adik Anda. Itu langkah konkret, bagian dari penyelamatan anggota keluarga yang paling realistis dan proporsional yang bisa Anda lakukan saat ini.

Selama Anda memandang dan menghayati diri sebagai korban, maka Anda akan rentan dengan perbandingan nasib dan situasi yang dialami oleh orang-orang atau keluarga lain yang menurut Anda lebih beruntung. Bila Anda berani mengubah mindset diri sebagai subjek, bukan lagi sebagai korban atau objek, maka Anda akan semakin sadar bahwa mengeluh dan meratapi penderitaan diri itu adalah permainan ilusi.

Sebagai penutup, saya kutipkan doa pendek seorang teolog dari Amerika, Reinhold Niebuhr: “Tuhan, beri aku keikhlasan untuk menerima apa yang tidak bisa diubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa aku ubah, serta kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan antara keduanya”. Doa yang indah itu, sekaligus merupakan hadiah Natal untuk Anda. Salam.

H.M.E. Widiyatmadi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here