Panggilan Gembala di Masa Sulit

473
Kunjungan: Mgr Josef Suwatan disambut umat Paroki St Petrus Nuliyon, Kabupaten Bangkai Kepulauan, Sulawesi Tengah.
[Rhein Saneba]
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Mgr Josef Suwatan tahun ini merayakan 25 tahun tahbisan uskup dan ulang tahun ke 75. Ia selalu menjadi pemimpin di bidang pendidikan, tarekat dan uskup, menghadapi masa sulit.

Hadiah pesta perak tahbisan Uskup Manado, Mgr Josef Suwatan MSC benar-benar diberikan kepada kaum muda. Lihatlah rangkaian acara peringatan pesta 25 tahun tahbisan episkopalnya, Senin, 29/6. Hari itu, Mgr Suwatan mengawalinya dengan acara peletakan batu pertama pembangunan Ampitheatre di Kompleks Wisma Lorenzo Lotta, sekitar tujuh kilometer dari pusat kota Manado. Tempat itu akan menjadi venue utama acara Indonesian Youth Day 2016.

Tahun depan sekitar 3.000 kaum muda Katolik dari seluruh Indonesia akan berhimpun untuk menggelar temu akbar tiga tahunan. Untuk perhelatan itu, Sidang KWI 2014 telah memutuskan untuk mengundang Paus Fransiskus. Bahkan, ketika meninjau calon lokasi IYD 2016, Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara menyatakan siap untuk mengundang Bapa Suci berkunjung ke Indonesia. “Dia setuju dan siap tanda tangan surat undangan itu,” kata Mgr Suwatan yang mendampingi Presiden Jokowi ke lokasi itu, 28/5.

Dua puluh lima tahun lalu, tepatnya 29 Juni, di stadion Klabat, Manado, Mgr Josef Suwatan ditahbiskan sebagai Uskup Manado. Penahbisnya adalah Duta Besar Vatikan untuk Indonesia kala itu, Francesco Canalini, didampingi Mgr Julius Darmaatmadja (Ketua Konferensi Waligereja Indonesia-KWI) dan pendahulunya Mgr Theodorus Moors MSC. “Saya memilih motto Credidimus Caritati, “kita percaya akan kasih Allah” yang memilih saya masuk dalam jajaran para uskup, untuk melanjutkan misi keselamatan sebagaimana dulu dilakukan oleh para rasul,” kata Mgr Jos Suwatan.

Sebenarnya, cita-citanya sebelum ditahbiskan menjadi imam 1973 sederhana saja, yakni menjadi pastor paroki. “Saya ingin menjadi pastor paroki biasa sebagaimana pastor parokiku ketika kanak-kanak. Saya tidak ingin menjadi pengajar atau pamong seperti pastor Jesuit pembimbingku di SMA Kanisius,” kata Mgr Suwatan seperti ditulis dalam buku Gembala di Tengah Umat (Sebuah Kesaksian tentang Pastoral Kehadiran) yang diterbitkan untuk menyambut pesta perak tahbisan episkopal dan ulang tahunnya yang ke-75.

Setelah ditahbiskan, ia memang sempat menjadi pastor pembantu di Paroki Santo Josef, Purwokerto Timur. “Namun, baru satu tahun, saya diminta studi lanjut ke Leuven, Belgia, bersama Romo G. Widyo Suwondo MSC,” katanya. Masa studi teologi dogmatik di Katholieke Universiteit Leuven (KUL), Belgia, ditempuhnya 1970- 1974.

Jalan panggilan imamatnya tergolong berliku. Uskup kelahiran Tegal, Jawa Tengah, 10 April 1940 ini mengaku sejak kecil sudah terbiasa dekat dengan gereja. Ia setiap pagi mengikuti Misa harian, dilanjutnya dengan ritual pribadi yakni berlutut dan berdoa di depan patung Hati Kudus Yesus, patung Bunda Maria, dan patung Santo Josef.

Suatu ketika, sesudah Misa, ia diajak ayahnya menyalami Romo Padmowidjaja MSC bersama umat lain. Rupanya Romo Padmo tertarik kanak-kanak Suwatan yang gendut. Ia langsung menawari sesuatu kepada anak itu. Ternyata yang tersisa di pastoran hanya sebiji kerupuk udang. Kerupuk udang dari romo yang ramah kebapaan itu senantiasa tersimpan di hatinya, dan menjadi benih panggilannya menjadi imam. Di kemudian hari, ketika menjadi imam muda (neomis), ia menjadi pastor pembantu Romo Padmo di Paroki Santo Yosef Purwokerto Timur.

Masa SD dan SMP dihabiskan di kota Tegal. Setelah lulus dari SMP Pius, ia memutuskan mendaftar ke SMA Kanisius di Jakarta. Ia tinggal di asrama Canisius College (1955-1959). Ia merasa beruntung karena mendapat pengalaman , punya teman dari berbagai daerah seperti Sumatera (Medan, Palembang), Kalimantan, Sulawesi (Gorontalo), dan lain-lain.

Ketika duduk di kelas tiga, ia menjadi Praeses atau Ketua Kongregasi Maria. Ada satu gambar “prentjes” Maria pemberian suster sewaktu ia sekolah di Sekolah Rakyat (SD) di Tegal dengan tulisan bahasa Belanda Een kind van Maria gaat nooit verloren, (Seorang anak Maria tidak akan hilang). “Di kemudian hari, saya percaya bahwa saya adalah anak Maria yang didampingi dan dihantar Bunda Maria dalam perjalanan hidup saya,” katanya.

Suatu malam di tahun 1958, ia diajak bicara oleh Rektor Kanisius, Pater J. van Waayenburg, SJ. Dia menanyakan rencananya sesudah tamat. Ia langsung menjawab akan melanjutkan studi kedokteran. Pater Waayenburg balik bertanya, ”Apakah kamu tidak berpikir untuk masuk seminari?” Pemuda Suwatan merasa tidak senang dengan pertanyaan itu karena ia berbulat tekad mau menjadi dokter, bukan pastor. Ia sangat jengkel dengan pertanyaan itu. Tapi ia tersadarkan bahwa ia pernah dihadapkan pada pilihan menjadi pastor. Setelah lulus SMA, ia mengikuti tes seleksi masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). Karena gagal, ia beralih ikut tes masuk FIPIA (Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Alam), Institut Teknologi Bandung (ITB), jurusan farmasi. “Tak jadi dokter, ya jadi apoteker boleh juga. Toh masih di bidang medis,” pikirnya.

Di kampus ia ikut kegiatan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Ia juga aktif dalam Kongregasi Maria untuk mahasiswa. Di luar kuliah, ia mengikuti kursus guru agama dengan Pater Kooymans OSC. Suatu ketika Romo Kooymans menceritakan kesedihannya. Ada seorang imam muda meninggal karena kecelakaan sepeda motor. Ia memang cuma mendengarkan cerita pastor itu. Namun hatinya bergejolak seolah disapa: ”Saya harus menggantikan pastor muda itu”. Sampai akhirnya ia memutuskan meninggalkan ITB untuk menjadi imam.

Korban Anak Abraham
Untuk memutuskan, pemuda Suwatan mengaku sangat berat untuk memberitahu orangtuanya. Maka ia menulis surat kepada Sr Christofora PBHK, pemimpin biara di Tegal dan memintanya untuk menyampaikan berita ini kepada papanya. Setelah ketemu, suster itu menyuratinya di Bandung. Ia menceritakan bagaimana percakapan dengan papanya. Puncak percakapan itu ialah ketika akhirnya dengan mata berkaca-kaca papanya berkata: “Kalau Abraham rela mengorbankan Ishak putera tunggalnya, rupanya saya juga harus memberikan putera tunggal saya… ”Bukan main! Saya tidak menyangka ayah saya yang biasa-biasa saja itu, punya iman mendalam seperti Abraham. Sikap ayah ini selanjutnya menjadi kekuatan dan pegangan saya dalam perjalanan hidup sebagai imam,” katanya (Lihat Bagian II: Saya Uskup, bukan Direktur).Mama tetap keberatan, tapi akhirnya rela mengikuti sikap ayahnya.

Dari mula, ia memang ingin bergabung dengan tarekat MSC, Misionaris Hati Kudus Yesus. Superior MSC Keuskupan Purwokerto, tempat ia mendaftar, langsung mengirimnya ke Pater Wim Zeegers di Purbalingga untuk belajar bahasa Latin.

Setelah satu tahun ia dinyatakan lulus dan dibolehkan masuk Novisiat MSC di Pineleng, Sulawesi Utara. Karena tahun 1960-an lagi berkecamuk “perang Permesta”, ia lantas dikirim ke Filipina untuk Novisiat. Ia mesti mengurus surat-surat untuk kepergiannya ke negeri jiran. Salah satunya, ia harus mendapat surat dari otoritas militer sebagai syarat untuk kelengkapan surat lain karena negara dalam status perang atau SOB (Staat van Oorlog en Beleg).

Bolak-balik ke kantor militer, ia tidak berhasil mendapat surat itu. Dengan lunglai, ia berjalan di pekarangan Katedral Semarang yang tak jauh dari kantor militer itu. Seorang bapak yang duduk-duduk di pekarangan gereja bertanya ikhwal apa yang membuatnya galau. Setelah diceritakan, bapak itu lantas mengajaknya masuk kembali ke kantor militer tadi. Ruangnya persis seperti yang pernah didatangi. Ia disuruh menunggu di luar ruangan. Dengan suara keras-keras – seperti disengaja – kepala kantor dan bapak itu berbicara perihal akuarium atau ikan hias. Beberapa saat kemudian, bapak itu keluar dan memintanya menyerahkan dokumen. Sambil tetap membicarakan ikan emas atau ikan koki, pejabat yang punya otoritas itu meneken dokumennya. Jadilah lancar urusan dokumen untuk berangkat ke Filipina.

Setelah novisiat, ia belajar filsafat dan teologi di Pineleng, Sulawesi Utara. Sebagai anak “kota” dari Tegal – Jakarta – Bandung, ia harus bergabung dengan teman-temannya yang kebanyakan berasal dari desa atau daerah terpencil. Ia harus belajar menyesuaikan diri. Beruntung, ketika di SMA Kanisius pernah punya teman dari berbagai daerah.

Akhirnya ia ditahbiskan menjadi imam di Tegal, di Paroki asalnya, 8 Januari 1969. Tahbisan itu menjadi kebanggaan bagi orang tuanya yang telah mempersembahkan putera tunggalnya menjadi seorang Imam Yesus Kristus.

Hanya satu tahun ia menjadi pastor paroki seperti yang diidam-idamkan.

Setelah lulus, 1974 ia diminta menjadi dosen teologi di Seminari Pineleng merangkap pembina para frater skolastikat. Selanjutnya ia malah diminta menjadi superior skolastikat, pemimpin rumah bina para calon imam MSC di Pineleng selama tujuh tahun.

Kapitel (rapat umum anggota) MSC Provinsi Indonesia 1981, di luar dugaan, memilih dia menjadi Provinsial MSC Indonesia selama sembilan tahun atau tiga periode masa jabatan. Beberapa tahun kemuduan, ia merasa lega ketika pada Kapitel MSC di Ambon bulan Februari 1990 telah terpilih Romo PC Mandagi MSC sebagai Provinsial MSC. “Saya sungguh merasakan kebebasan baru dari tugas itu, dan mulai berencana untuk bersantai-santai beberapa hari naik kapal Pelni yang masih baru buatan Jerman, untuk kembali ke Jakarta,” katanya.

Namun, ternyata Tuhan punya rencana lain. Ia ditelepon Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, dan diminta segera menghadap ke Jakarta. “Begitulah belum sempat menikmati bebas dari tanggung jawab sebagai Provincial MSC, saya diberi tahu oleh Mgr Canalini bahwa Bapa Suci mengangkat saya menjadi Uskup Manado. Ketika ditahbiskan sebagai Uskup Manado 29 Juni 1990, ia didampingi oleh ibunya.

Ketua KWI dan Tiga Presiden
Mgr Josef Suwatan dipilih menjadi Ketua KWI untuk masa jabatan 1997- 2000. Periode itu adalah masa-masa Indonesia mengalami krisis nasional. Mgr Suwatan mengatakan sebagai Ketua KWI ia sempat menghadiri perayaan Natal dengan tiga presiden. Natal tahun 1997, dengan Presiden Soeharto, Natal 1998, dengan Presiden BJ Habibie, dan Natal 1999, dengan Presiden Gus Dur.

Selanjutnya, bersama Megawati Soekarnoputri yang menjabat Wakil Presiden, Mgr Suwatan berkeliling ke wilayah-wilayah konflik termasuk Maluku di Ambon, ke kepulauan Kei dan Tanimbar.

Tahun-tahun terakhir tugasnya sebagai seorang uskup cukup menantang. Sebagai uskup, bersama para imam, biarawan-biarawati, dan segenap umatnya, ia senantiasa tanggap dengan tantangan dan menyesuaikan diri dengan pelbagai tuntutan pembaruan.

Mgr Suwatan, sebagai gembala, juga dikenal sebagai sabar, percaya diri, selalu hadir di tengah umat. Ada yang bilang, dalam kepemimpinannya ia memiliki gaya kepemimpinan laissez faire (laissez faire leadership). Gaya kepemimpinan itu menjadi efektif manakala mereka yang dipimpin memang ahli, terampil, bermotivasi dan mampu bekerja secara mandiri. Itulah yang terjadi dengan kepemimpinan Mgr Suwatan untuk kelompok para imam yang memenuhi kriteria efektivitas gaya kepemimpinan laissez-faire ini.

Ketika menjadi Ketua KWI, Mgr Suwatan benar-benar menghadapi masa sulit itu. Negara mengalami krisis dan terjadi masa transisi. Kardinal Julius Darmaatmadja SJ dalam ucapan selamatnya menyebutkan terjadi banyak gejolak, kerusuhan, goncangan, dan kekerasan di sana-sini. Bahkan ia juga ingat bagaimana sikap Mgr Suwatan yang tidak mau terlibat dalam tipu muslihat pengumpulan emas menjelang kejatuhan Soeharto. “Bapak Uskup Suwatan tegas menghindar dan KWI tidak ikut di dalam pengumpulan emas yang ternyata suatu tipu muslihat,” kata Kardinal.

A. Margana

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here