ISLAM, AGAMA PERTAMA YANG MENGHIDUPI TOLERANSI

375
Romo Franz Magnis-Suseno SJ usai menerima wayang dan piagam sebagai cendera mata dalam Simposium nilai-nilai Pancasila.
[HIDUP/Stefanus P. Elu]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – MENURUT Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ, Islam adalah agama pertama yang menerapkan toleransi. Kekristenan baru menghidupi toleransi sekitar abad-18. Sementara Katolik baru 50 tahun yang lalu (dengan lahirnya Konsili Vatikan II-Red.).

“Selama lebih dari 1400 tahun sebelumnya, umat Kristen hidup sebagai komunitas-komunitas kecil di Mesir, Libanon, Irak, Pakistan, dll. Orang-orang Yahudi hidup di Timur Tengah yang mayoritas dipimpin oleh para pemimpin Islam,” kata Romo Magnis saat menjadi narasumber dalam Simposium Memahami Nilai-nilai Pancasila di Paroki Maria Bunda Karmel Tomang, Jakarta, Minggu, 21/8.

Untuk konteks Indonesia, Romo Magnis menjelaskan, saat para pemuda dari berbagai agama dan etnik duduk bersama untuk merumuskan naskah Sumpah Pemuda terlihat dengan sangat jelas bahwa yang Muslim sebagai mayoritas tidak memaksakan diri untuk mengangkat sumpah berdasarkan agama. Ini berlanjut saat Soekarno merumuskan Pancasila. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia bersedia “merendahkan diri” untuk merangkul umat beragama lain dalam menetapkan falsafah hidup bersama.

[nextpage title=”ISLAM, AGAMA PERTAMA YANG MENGHIDUPI TOLERANSI”]

Romo Franz Magnis-Suseno SJ usai menerima wayang dan piagam sebagai cendera mata dalam Simposium nilai-nilai Pancasila.[HIDUP/Stefanus P. Elu]
Romo Franz Magnis-Suseno SJ usai menerima wayang dan piagam sebagai cendera mata dalam Simposium nilai-nilai Pancasila.
[HIDUP/Stefanus P. Elu]
“Maka Pancasila sangat kuat dan merupakan kekayaan Indonesia karena mencerminkan sikap dan nilai kebersamaan yang ada dalam agama-agama. Yang mayoritas mengayomi yang minoritas, yang minoritas tidak melukai hati yang mayoritas. Kita sama-sama hidup sebagai satu bangsa yang mencintai keanekaragaman,” ujar Romo Magnis menegaskan.

Indonesia, lanjut Romo Magnis, punya tradisi pluralisme yang sangat baik dan merupakan modal berharga untuk membangun masa depan bangsa. Karena itu, masing-masing kita mestinya berusaha untuk menjaga pluralitas itu dengan sebaik mungkin. Banyak konflik di negara ini bukan berdasarkan agama, tetapi berdasarkan etnik.

Romo Magnis menilai, konflik-konflik itu justru atas dasar etnik, bukan agama. Agama biasanya hanya ditunggangi. Maka menghidupi nilai-nilai Pancasila yang merupakan konsensus bersama agama-agama dan etnik-etnik di Indonesia sangat urgen.

Stefanus P. Elu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here