Emas Paroki Pasar Minggu: Mengemban Tanggung Jawab Sejarah

527
Mgr Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta sebelum misa syukur 50 tahun Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu (HIDUP/Edward Wirawan)
Rate this post

Di perayaan emas Paroki Pasar Minggu, Mgr Suharyo mengajak umat untuk melihat kembali pengorbanan para perintis. Umat Katolik memiliki tanggung jawab sejarah.

SEBUAH foto hitam putih terpajang di depan Gereja Paroki Keluarga Kudus Pasar Minggu. Foto itu adalah potret wajah dahulu kala Paroki Pasar Minggu. Foto itu tak sendirian. Ada foto-foto lain yang menyajikan genealogi; alur sejarah Paroki Pasar Minggu dalam rentang 50 tahun usianya.

Bagi Mgr Ignatius Suharyo, foto-foto itu adalah potret “Semangat Rela Berkorban” para perintis paroki Pasar Minggu. “Mari kita bersyukur kepada Tuhan yang telah menggerakan hati para perintis paroki ini untuk memulai karya mulia dan mendesak. Bersyukur kepada Tuhan karena selalu mengutus pribadi-pribadi yang rela di masa lalu dan di masa yang akan datang untuk merawat dan mengembangkan paroki ini,” demikian Mgr Suharyo di awal khotbahnya.

Sebelum misa dimulai, Romo Heribertus W. Natawardaya, pastor kepala paroki Pasar Minggu berkata kepada Mgr Suharyo, “Bapa Uskup, usia 50 tahun paroki ini bertepatan dengan 210 tahun Gereja Katolik di Jakarta.” Lantas, Mgr Suharyo menjadikan dua momen bersejarah ini, sebagai titik dasar refleksinya. Bagi Mgr Suharyo, kedua momen itu bercerita soal pengorbanan dan kemartiran.

Tanggung Jawab Sejarah
Sepuluh tahun yang yang lalu, saat Gereja Katolik di Jakarta genap 200 tahun, KAJ meluncurkan sebuah buku Sejarah 200 tahun Gereja Katolik di Jakarta. Pada bagian awal buku itu, ada sebuah judul yang reflektif, ‘Pada Mulanya adalah Martir.’

Judul itu berkisah tentang seorang imam berkebangsaan Portugis yang menjadi martir di Batavia. Imam itu dibunuh Belanda karena memberikan pelayanan sakramen pada umat di Batavia dan kebanyakan umat non Katolik. “Ada sekian banyak “martir” yang lain yang muncul ketika Batavia menjadi prefektur Apsotolik yang kemudian menjadi keuskupan. Kita bayangkan 210 tahun yang lalu, Batavia itu seperti apa,” ungkap Mgr Suharyo.

Pada sekitar 1850 an, para misionaris Eropa berbondong datang ke Batavia, untuk merintis dan melayani umat. Mereka menempuh perjalanan laut dan berada selama tiga sampai empat bulan di atas kapal laut. Tiba di Batavia, jelas Mgr Suharyo, mereka dijemput oleh wabah Kolera dan Malaria. Alhasil wabah penjemput itu menghantar mereka ke liang lahat. Mereka meninggal sebagai martir. “KAJ dan paroki ini menjadi seperti saat ini, pada dasarnya berlandaskan pada kerelaan berkorban, kerelaan untuk menjadi martir dalam arti seluas-luasnya.”

Jiwa Kemartiran, kata Mgr Suharyo, adalah jiwa pengorbanan. Ketika paroki dan keuskupan kita dibangun di atas pengorbanan, lanjutnya, kita mesti sekuat tenaga menjaga dan mengembangkannya. Bagi Mgr Suharyo, setiap umat Katolik mempunyai tanggung jawab sejarah.

Menyitir Injil Mat 5: 17-37, Mgr Suharyo mengatakan, para perintis, pasti memiliki ‘kehidupan keagamaan yang unggul’. Mereka mengikuti panggilan Tuhan untuk mencapai kesempurnaan ajaran kasih dan kepenuhan hidup Kristiani. Mereka berkorban, demi semakin sempurnanya kasih Kristus dalam hidup mereka, dan juga demi semakin serupanya hidup mereka dengan hidup Kristus. “Itulah panggilan kita, panggilan umat di paroki ini,” seru Uskup asal Sedayu Jogjakarta ini.

Para perintis Paroki Pasar Minggu bersama Mgr Ignatius Suharyo. (HIDUP/Edward Wirawan)
Para perintis Paroki Pasar Minggu bersama Mgr Ignatius Suharyo. (HIDUP/Edward Wirawan)

Memberikan Diri
Mgr Suharyo melanjutkan, wujud dari mengemban tanggung jawab sejarah adalah semangat dan tindakan rela berkorban dan memberikan diri agar tema ‘Menjadi keluarga yang semakin adil dan semakin beradab’, mewujud nyata dalam kehidupan. Dengan demikian, lanjutnya, umat akan mencapai kesempurnaan kasih dan kepenuhan hidup kristiani.

Kesempurnaan kasih dan kepenuhan hidup kristiani, tambah Mgr Suharyo diwariskan dalam berbagai macam cara. Ia menceritakan sebuah cerita yang tersirat dari sebuah batu relief di Borobudur. Batu itu bergambar seorang yang sudah sepuh, berdiri pakai tongkat, dan badannya bongkok. Ada empat binatang di depan orang tua itu. Paling depan, ada kera yang membawa pisang, di belakang kera ada berang-berang yang membawa ikan. Di urutan ketiga ada serigala yang membawa mangkok berisi susu dan terakhir adalah kelinci.

Kelinci itu adalah seorang manusia yang ingin menjadi sempurna. Ia pun mengadakan peziarahan. Dalam peziarahan itu, orang itu berubah menjadi kelinci. Lalu ia bertemu dengan seekor kera, seekor berang-berang dan seekor serigala. Keempatnya kemudian berjalan dan bertemu dengan seorang peziarah tua

Melihat sang peziarah tua, kera dengan sigap menawarkan makanan kepadanya. “Bapa kelihatan lemah setelah peziarahan ini, ini saya bawa pisang, silahkan ambil dan makan.” Peziarah tua itu menerima dan menyantap pisang pemberian kera itu.

Berang-berang tak mau kalah. Ia berkata “Bapa kalau pisang saja kurang gizi, ini ada ikan.” Peziarah tua itu juga menerima dan menyantap ikan itu. Badannya semakin segar. Lalu tibalah giliran serigala. Dengan sedikit lagak, serigala itu berkata, “Bapa, kalau hanya makan pisang dan ikan nanti keselek, ini susu, silahkan ambil, silahkan minum.”

Bapa tua itu lantas menyantap meminum susu segar pemberian serigala itu. Lalu datanglah kelinci ke hadapan Bapa tua itu. “Bapa, saya tidak membawa apa-apa seperti teman saya, karena itu tangkaplah saya, sembelilah saya, masaklah saya, dan makanlah saya.”
Kisah itu, kata Mgr Suharyo berhenti di situ. Tidak diceritakan apakah peziarah tua itu jadi menyantap sang kelinci. “Namun sejak saat itu ada yang namannya sate kelinci,” kata Mgr Suharyo. Lantas seisi Gereja tertawa mendengar guyonan itu.

Kelinci, kata Mgr Suharyo adalah manusia jadi-jadian yang ingin menjadi sempurna dalam kemanusiaan. Nenek moyang kita, lanjutnya, yang keyakinannya diwujudkan dalam batu relief itu mengajarkan kita, bahwa kesempurnaan kemanusiaan adalah ketika orang rela memberikan hidupnya bagi orang lain. “Ini adalah dongeng. Kita punya yang bukan dongeng, yaitu Yesus Kristus yang memberikan hidupnya bagi kita semua,” tegasnya.

Yesus, kata Mgr Suharyo, dalam bacaan injil hari ini (Mat 5: 17-37), memiliki hidup keagamaan jauh melampaui kehidupan keagamaan orang Farisi dan ahli Taurat. Para perintis paroki, lanjutnya, tentu memiliki kehidupan keagamaan yang luar biasa. “Kita sebagai murid Yesus, dipanggil untuk mencapai kesempurnaan kasih dan kepenuhan hidup Kristiani. Meneladani hidup Yesus yang hidup keagamaannya jauh melampau hidup keagamaan yang biasa.”

Romo Romo Stanislaus Sutopanitra SJ menerima tumpeng dari Mgr Ignatius Suharyo. (HIDUP/Edward Wirawan)
Romo Romo Stanislaus Sutopanitra SJ menerima tumpeng dari Mgr Ignatius Suharyo. (HIDUP/Edward Wirawan)

Para Pahlawan
Dalam pesta 50 tahun ini, panitia menyiapkan piagam penghargaan bagi para perintis paroki yang masih hidup. Demikian juga para imam yang pernah menapaki jejak pelayanan di sana. Para imam ini mengambil bagian dalam misa konselebrasi. Hyronimus Rowa, ketua panitia, menjelaskan, penghargaan itu merupakan wujud terima kasih paroki kepada para perintis awal paroki Pasar Minggu.

Usai misa, umat bergembira dalam pesta syukur. Tenda menutupi hampir seluruh halaman depan Gereja. Di bawah bentangan tenda itu, umat menyantap makanan yang telah disiapkan panitia.

Mgr Suharyo didapuk menjadi pemotong kue tumpeng 50 tahun. Romo Stanislaus Sutopanitra SJ menjadi yang pertama menikmati tumpeng itu. Romo Suto adalah pastor pertama yang menjejaki pelayanan di Paroki Pasar Minggu, kala masih berstatus sebagai stasi. Umat menyantap makanan sambil mendengarkan persembahan dari paduan suara gabungan Paroki Pasar Minggu.

Anggota Paduan Suara gabungan Paroki Pasar Minggu berfoto bersama Mgr Ignatius Suharyo. (HIDUP/Edward Wirawan)
Anggota Paduan Suara gabungan Paroki Pasar Minggu berfoto bersama Mgr Ignatius Suharyo. (HIDUP/Edward Wirawan)

Edward Wirawan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here