Rekan Muslim Muda Siap Bantu Pelaksanaan AYD 2017

196
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – PADA bulan Juli dan Agustus 2017 ini, Indonesia mendapat kepercayaan sebagai tuan rumah Asian Youth Day (AYD) yang ketujuh. Kegiatan ini mempertaruhkan nama Indonesia sebagai negara yang memiliki slogan Bhinneka Tunggal Ika dan juga dapat memperlihatkan sebagai negara dengan citra Islam yang moderat. Apakah hajatan besar orang muda Katolik se-Asia akan mampu terlaksana dengan baik di tengah populasi Muslim terbesar dunia? Secara tidak langsung, Indonesia beserta warga Muslimnya diharapkan turut memberi kontribusi supaya event besar ini terlaksana dengan baik, aman dan nyaman. Demikian pertanyaan dan harapan Rifqi Fairuz yang dimuat dalam laman asianyouthday.org, (25/7).

Rifqi merupakan salah satu Rekan Muslim Muda (RMM) yang rencananya ikut membantu pelaksanaan AYD 2017 yang akan ditutup di kota Yogyakarta. Menurut penjelasan Rifqi, RMM adalah para relawan Muslim yang bersedia memberikan waktu dan tenaga sebagai teman belajar dialog antaragama dengan para peserta AYD 2017. Kelompok ini berasal dari beberapa organisasi Muslim seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang mayoritas masih kuliah di beberapa universitas Islam di Yogyakarta, seperti Universitas Islam Negeri (UIN), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) juga beberapa perwakilan dari beberapa pondok pesantren.

Sebelum ikut membantu AYD 2017 ini, RMM telah merekrut sukarelawan sejak akhir bulan Ramadhan. Dalam perekrutan, mereka menerapkan kriteria tertentu salah satunya memiliki prinsip Islam yang moderat dan terampil berbahasa asing. “Para kandidat juga perlu memiliki kecakapan berkomunikasi bahasa asing yang baik. Sikap terbuka, rendah hati dan antusiasme belajar tidak kalah pentingnya. Perpaduan kriteria ini menjadi tantangan dalam proses rekrutmen rekan Muslim muda Asian Youth Day,” ungkap Rifqi.

Dalam perekrutan ini, RMM mendapat dukungan dari banyak tokoh salah satunya Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid yang juga sekaligus sebagai pembina RMM. Lewat bantuan Alissa Wahid dan Jaringan Gusdurian, akhirnya RMM bisa dengan mudah mengumpulkan sekitar 100 orang sukarelawan. Dalam persiapannya RMM bekerjasama dengan Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta yang bersedia menyediakan tempat dan fasilitas untuk pertemuan RMM.

Alissa Wahid (duduk di depan) yang ikut dalam salah satu pertemuan RMM di kampus USD Yogyakarta. (asianyouthday.org)

Rifqi merasa bahwa di atas batasan agama, lewat kegiatan AYD, RMM bisa berkesempatan membangun dialog lintas agama dan budaya di tingkat Asia. “Supaya keberagaman yang dimiliki Asia tidak terkikis oleh eksklusivisme dan sentimen identitas yang makin menjadi-jadi akibat kegaduhan politik global. Terorisme, sektarianisme, rasisme, dan segala bentuk kekerasan sedang terjadi di dunia dan menimpa agama apapun.”

Lanjut Rifqi, melalui AYD ini pula, volunter Muslim di RMM bisa menyampaikan kabar baik dari Indonesia lewat pesan Islam rahmatan lil ‘alamin, yang penuh damai dan menebar rahmat bagi alam semesta kepada ribuan peserta AYD dari bermacam negara di Asia. Rifqi juga menyadari bahwa dalam gerakan solidaritas RMM masih muncul pandangan beberapa rekan Muslim yang berhati-hati untuk ikut membantu AYD, dan pandangan itu tentunya harus dihormati.

Pertemuan RMM pada Minggu, 23/7, di salah satu ruangan di USD, Yogyakarta untuk persiapan RMM membantu AYD 2017. (asianyouthday.org)

Di sisi lain, ia juga melihat bahwa keikutsertaan RMM membantu AYD merupakan fitrah manusia yang wajib bermuamalah kepada seluruh manusia tanpa terkecuali. “Dalam Islam, ‘ukhuwah Islamiyyah’ merupakan satu kewajiban untuk menjalin persaudaraan dengan sesama Muslim. Namun di atas ‘ukhuwah Islamiyyah’, ada ‘ukhuwah Basyariyyah’, yakni kewajiban untuk menjalin persaudaraan dengan sesama manusia tanpa sekat bangsa, bahasa dan agama,” ungkap Rifqi.

Sebagai penutup, Rifqi menegaskan bahwa kegiatan RMM adalah upaya membangun jembatan, dan usaha mengantarkan orang dari kedua ujung untuk berani menyeberang. “Dialog justru merupakan hal terakhir yang bisa dilakukan, setelah jembatan terbangun dan orang-orang berani untuk menyeberangi batas masing-masing. Dan siapa lagi yang suka dan berani menerobos batas, kalau bukan kita yang muda?” pungkas Rifqi.

A. Nendro Saputro

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here