Kisah Romo Bambang tentang Perkembangan Umat Katolik Jawa Berkat Peran Barnabas Sarikrama

1225
Romo Dominicus Bambang Sutrisno sedang menceritakan kisah peranan Barnabas Sarikrama. (Dok. Panitia AYD 2017)
3.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – HARI kedua pelaksanaan Asian Youth Day (AYD) 2017 yang berlangsung di Ruang Arjuna, Jogja Expo Center, Yogyakarta, Kamis, 3/8, salah satunya diisi dengan seminar tentang kisah Barnabas Sarikrama dalam peranannya ikut mengembangkan ajaran Gereja Katolik di Jawa. Dalam sesi ini Panitia menghadirkan dua pembicara yaitu pakar sejarah awal Katolik Jawa Romo Dominicus Bambang Sutrisno dan Uskup Ketapang yang juga Ketua Komisi Kepemudaan KWI Mgr Pius Riana Prapdi.

Dalam paparannya, Romo Bambang mensharingkan kisah Barnabas Sarikrama yang menggunakan budaya untuk mengenal Kristus dan kemudian mewartakan kabar sukacita pengenalan Kristus itu kepada semua orang Jawa terkhusus di daerah Kulon Progo, Yogyakarta melalui budaya Jawa yang dihayati secara baru.

Menurut Romo Bambang, Barnabas Sarikrama adalah tokoh Jawa yang ikut membantu mengembangkan Gereja Katolik di tanah Jawa terkhusus di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Perkembangan Gereja Katolik di tanah Jawa diawali dengan kehadiran Romo Lambert Prinsen yang memberikan pelayanan di Paroki Gedangan, Semarang, Jawa Tengah (Jateng) sekitar tahun 1808. Kemudian pada 1859, ada dua orang pastor Jesuit yang hadir ikut membantu pelayanan itu.

Sekitar tahun 1900 populasi umat Katolik di sekitar Jawa Tengah hanya terdapat enam paroki yaitu di Semarang, Ambarawa, Yogyakarta, Magelang, Muntilan, dan Mendut dengan jumlah umatnya sekitar 8.508 yang terdiri dari umat asal Eropa sejumlah 8.180 dan umat lokal berjumlah 328 orang. “Waktu itu, sempat ada pendapat bahwa tidak akan ada harapan untuk mengembangkan ajaran Katolik di tanah Jawa dan para misionaris akhirnya bergerak ke luar tanah Jawa,” ungkap Romo Bambang.

Di tengah kegelisahan itu, mulai ada titik cerah setelah setelah tahun 1940-an. Awalnya, pada 1928 jumlah umat Eropa 12.977 orang dan umat lokal 8.810 orang. Pada 1933, umat Eropa berjumlah 12.863 dan umat lokal 17.442 orang. Pada 1938 umat Eropa ada 15.202 orang dan umat lokal menjadi 21.922 orang. Pada 1940 umat Eropa 15.824 sedangkan umat lokal 25.278 orang. Kemudian melonjak bertambah dengan data pada 1942 dengan jumlah umat Eropa yang berkurang menjadi 14.934 orang namun jumlah umat lokalnya mencapai 30.560 orang. “Pada 1940 jumlah umat Katolik asli Jawa bahkan mencapai 40.616 orang dan pada tahun itu pula Uskup Agung Semarang berasal dari Jawa. Jumlah pertambahan yang lumayan signifikan ini bukan karena baptisan bayi namun karena baptis dewasa. Mengapa bisa terjadi?” tanya Romo Bambang.

Perkembangan pertambahan umat Katolik di Jawa tersebut, rupanya diawali dari daerah Kulon Progo, Yogyakarta lewat peran Barnabas Sarikrama yang memiliki nama kecil Sariman Soerawirja. Lanjut Romo Bambang, Sarikrama sejak dari kecil sudah terbiasa hidup menderita. Sejak lahir, ia sudah ditinggal mati ayahnya dan kemudian tinggal bersama kakek dan neneknya. Setelah beranjak dewasa, ketika teman-temannya sudah menikah ia belum menemukan jodohnya dan menjadi perjaka tua. Namun akhirnya, ia menikah dengan wanita asal Kanjoran dan tinggal di rumah mertuanya yang bernama Suratirta.

Ketika anak pertamanya lahir, Sarikrama menderita sakit di bagian tungkai kaki dengan lubang yang tidak kunjung sembuh biarpun sudah diobati. Lubang itu mengeluarkan bau tidak sedap dan membuat Sarikrama tidak bisa berjalan dengan kaki. Sehari-hari ia kemudian berjalan dengan pantat ditopang kedua tangannya (ngesot).

Karena menganut Kejawen, untuk mendapatkan kesembuhan, Sarikrama kemudian sering bertapa di sebuah Gua yang diapit dua pohon Sono di desa Semagung. Gua itu dipercaya menjadi tempat tinggal mahluk halus yang bernama Raden Bagus Samijo. Pada suatu waktu, Sarikrama mendapat wangsit untuk mendapatkan kesembuhan dengan berjalan menuju arah timur laut menuju kota Muntilan dimana pada masa itu menjadi tempat tinggal awal para misionaris Katolik.

Sesuai wangsit itu, Sarikrama kemudian berjalan ngesot menuju Muntilan dan bertemu dengan Bruder Kersten SJ yang akhirnya memperkenalkannya kepada Romo van Lith SJ. Kemudian Bruder Kersten memberikan obat kepada Sarikrama. Selama pulang pergi dalam masa pengobatan itu Sarikrama tertarik untuk menjadi katekumen setelah melihat Misa di Gereja dan kemudian dihadiahi Kitab Suci berbahasa Jawa oleh Romo van Lith SJ. Setelah mendapat hadiah Kitab Suci dan sembuh Sarikrama menceritakan kesembuhan dan kisah tentang Yesus kepada sanak familinya dan kepada orang-orang sekitar.

Sarikrama kemudian minta dibaptis dan dibaptis pada 20 Mei 1904 dengan nama permandian Barnabas. Lalu Romo van Lith melihat aktivitas pengajaran Sarikrama dan menyatakan bahwa orang-orang Jawa yang telah diajar Sarikrama bisa dibaptis menjadi Katolik. Maka pada 14 Desember 1904, Romo van Lith kemudian membaptis sekitar 171 orang di Semagung dengan air sendang yang diapit pohon Sono. “Setelah peristiwa itu, populasi umat Katolik menjadi bertambah dan tempat baptisan pertama itu dijadikan sebagai tempat ziarah,” ujar Romo Bambang.

Berkat kiprah Sarikrama mengajar orang Jawa menjadi Katolik ini, ia mendapat penghargaan dari Tahta Suci di Roma pada tahun 1928 oleh Paus Pius XI dengan bintang ‘Pro Ecciesia et Pontifice’.

A. Nendro Saputro

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here