Benny Sabdo: Spirit Merawat Komitmen Kebangsaan

414
Benny Sabdo. (Dok. Pribadi)
2/5 - (3 votes)

BUNG Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menyatakan, “Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangan.” Namanya, lanjut Bung Karno, namanya bukan Panca Dharma, melainkan Pancasila. “Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itu kita mendirikan negara Indonesia, kekal, dan abadi.”

Beragam aksi yang merongrong Pancasila menyeruak akhir-akhir ini. Demonstrasi berlabel agama, dugaan makar, kekerasan kelompok intoleran, memburuknya kondisi pemenuhan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan hingga terorisme. Ancaman disintegrasi bangsa menjadi isu sentral yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Mencari jalan keluar dari persoalan ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, termasuk kaum cendekiawan Katolik.

Upaya merawat kebhinnekaan diperlukan untuk mencegah perpecahan dan polarisasi masyarakat. Tidak dipungkiri politisasi agama memberikan dampak destruktif  terhadap tatanan sosial masyarakat. Bahkan sejumlah pengamat memprediksi politisasi agama akan terus terjadi jika masyarakat tidak diedukasi. Pengejawantahan nilai-nilai Pancasila menjadi penting bagi para cendekiawan Katolik untuk merawat persatuan dan kesatuan bangsa dengan berlandaskan keberagaman.

Prinsip-prinsip itulah yang selalu menjadi perhatian Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) sejak berdiri pada 22 Mei 1958. Merawat Pancasila dan keutuhan negara sebagai bentuk komitmen berkebangsaan. Pancasila telah menjadi dasar filsafat bagi negara kebangsaan Indonesia Raya. Sejarah membuktikan 72 tahun berdirinya negara Indonesia, Pancasila telah menunjukkan keampuhannya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rasa cinta dan semangat kebangsaan ini tidak muncul tiba-tiba. Sikap nasionalisme ini lahir berdasarkan konstruksi emosional, intelektual, dan idiologis, yang diwujudkan oleh anggota BPUPKI. Mereka terdiri dari berbagai suku, ras, golongan, dan agama.

Pancasila lahir dan dirumuskan dalam persidangan BPUPKI pada saat membahas dasar negara, khususnya dalam pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara sebagai Philosofische grondslag sebagai fondamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya yang diatasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia. Soekarno juga menyebutnya dengan istilah Weltanschauung atau pandangan hidup. Pancasila adalah lima dasar atau lima asas.

Pidato yang dikemukakan Soekarno pada saat itu adalah rangkaian persidangan BPUPKI yang membahas dasar negara. Selain Soekarno, anggota-anggota yang lain juga mengemukakan pendapatnya baik secara lisan maupun tertulis. Dari berbagai pendapat yang dikemukakan dalam persidangan tersebut, kemudian ditunjuk tim perumus yang terdiri dari delapan orang, yaitu Ir. Soekarno, Drs. M. Hatta, Mr. M. Yamin, M. Soetardjo Kartohadikoesoemo, R. Otto Iskandardinata, Mr. A. Maramis, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan K.H. Wahid Hasyim. Tim ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta dan diterima oleh BPUPKI pada tanggal 10 Juli 1945.

Dokumen inilah yang menjadi Pembukaan UUD 1945 setelah terjadi kompromi dengan pencoretan tujuh kata. Walaupun pengaruh Soekarno cukup besar dalam perumusan dokumen ini, namun dokumen ini adalah hasil perumusan BPUPKI yang dengan sendirinya merepresentasikan berbagai pemikiran anggota BPUPKI. Dokumen ini disamping memuat lima dasar negara yang dikemukakan oleh Soekarno, juga memuat pokok-pokok pikiran yang lain.

Sebagai dasar negara yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), Pancasila telah berperan mengikat dan menyatukan masyarakat Indonesia yang pluralistis dengan menumbuhkan perasaan kebangsaan yang mendalam. Para pendiri negara telah menyepakati Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara.

Pancasila telah menjadi dasar filosofis bagi negara kebangsaan Indonesia Raya. Sejarah membuktikan bahwa setelah setengah abad lebih berdirinya negara kebangsaan, Pancasila telah menunjukkan keampuhannya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam perspektif hukum tata negara, Pancasila merupakan dasar NKRI sebagaimana terdapat pada pembukaan UUD 1945.

Para pendiri negara telah menyepakati Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara. Pemerintah harus tetap menjaga pluralisme yang merupakan wujud bangsa Indonesia. Keberagaman ini harus dirawat dan dijaga, serta tidak boleh dibiarkan begitu saja yang mengakibatkan tertindasnya minoritas, seperti pembangunan rumah ibadah yang terhambat. Idiologi bangsa Indonesia merupakan sumber konstitusi yang membebaskan rakyat Indonesia dari segala bentuk penjajahan dan mempersatukan bangsa Indonesia dalam ikatan persatuan dalam keragaman atau “Bhinneka Tunggal Ika”. Kebebasan dan persatuan atau kerukunan hidup bersama itu tidak lain kita butuhkan untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai cermin kemajuan dan ketinggian peradaban bangsa di masa depan.

ISKA sebagai organisasi telah bergabung sebagai member of Pax Romana dari International Catholic Movement for Intellectual and Cultural Affairs (ICMICA), salah satu lembaga non-pemerintah di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). ISKA dimulai pada 1964, saat ada gagasan untuk menyatukan berbagai organisasi sarjana atau cendekiawan Katolik melalui sebuah Musyawarah Nasional yang diprakarsai Ikatan Katolik Sarjana dan Cendekiawan Indonesia (IKS). Istilah “Katolik Sarjana”, bukan “Sarjana Katolik” dimaksudkan agar organisasi ini bisa menampung sarjana yang bukan Katolik, yang menyetujui asas-asas kekatolikan.

Kepengurusan IKS dimulai dari Loo Siang Hien (1958-1960). Sejak itu ketua IKS silih berganti, dari C. Sindhunatha (1960-1961), Que Sian Koen (1961- 1963), Jakob Oetama (1963-1985), J. Riberu (1985-1991), Djoko Wiyono (1991-1997), Charles Mangun (1997-2000), A. Sandiwan Suharto (2000-2003), Paulus Harli (2003-2009), Muliawan Margadana (2010-2017) dan V.  Hargo Mandirahardjo (2017-2021). Nama ISKA baru mulai digunakan setelah Munas di Bandungan, Jawa Tengah, tahun 1964. Sejak itu ISKA kemudian bersifat nasional dan berbentuk federasi. Dalam Munas itu disusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Salah satu tujuan ISKA adalah mengawal Pancasila dari aksi-aksi yang bertujuan menghancurkan bangsa.

Dalam kepengurusan ISKA ke depan melanjutkan visi gerakan Solidaritas Tanpa Sekat dengan cara Merawat Komitmen Kebangsaan. Tantangan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan semakin berat. Semangat politik identitas semakin menguat, setidaknya dalam kontestasi Pilkada DKI lalu, dan kemungkinan isu ini akan dihembuskan sampai Pilpres 2019. Kondisi diperparah dengan sebagian besar elit politik kita (termasuk politisi Katolik) juga masih menjadi pemburu rente, sehingga melahirkan ketimpangan ekonomi. ISKA bersama seluruh elemen bangsa siap bersinergi dalam rangka merawat komitmen kebangsaan dengan cara mengamalkan Pancasila demi tegaknya NKRI yang berkeadilan sosial.

BENNY SABDO
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Presidium ISKA

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here