Dua Dasawarsa Mgr Ignatius Suharyo Ditahbiskan Sebagai Uskup, Seperti Apakah Jejak Pelayanannya?

1085
Mgr Ignatius Suharyo Pr.
[HIDUP/F. Edi Mulyono]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Sesuai moto episkopal, Mgr Ignatius Suharyo melayani dengan kerendahan hati. Ia tidak nyaman dengan gelar atau atribut. Ia berdoa bagi Indonesia.

Hari Selasa, 22 Agustus 2017 menjadi hari spesial bagi Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo. Tepat 20 tahun lalu, ia ditahbiskan sebagai Uskup Agung Semarang. Pada 25 Juli 2009, Paus Benediktus XVI menunjuk Mgr Suharyo sebagai Uskup Koadjutor Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Ia meninggalkan Keuskupan Agung Semarang (KAS) pada 27 Oktober 2009. Tak sampai setahun, pada 28 Juni 2010, ia menjadi Uskup Agung Jakarta, setelah Paus Benediktus XVI menerima pengunduran diri Kardinal Julius Darmaatmadja SJ sebagai Uskup Agung Jakarta.

Uskup yang mengambil moto tahbisan episkopal “Serviens Domino Cum Omni Humilitate”, ‘Aku melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati’, sejak 2 Januari 2006 menjadi Uskup Ordinariat Castrensis Indonesia OCI (Keuskupan Militer Indonesia). Ketika Takhta Keuskupan Bandung sede vecante (lowong), Mgr Suharyo ditunjuk Takhta Suci menjadi Administrator Apostolik dalam rentang 2010-2014.

Mgr Suharyo selama dua periode terakhir menjadi Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Ia juga memiliki aktivitas dan peran di pelbagai yayasan dan perhimpunan. Jelang 20 tahun tahbisan episkopal, Mgr Suharyo menerima wartawan Majalah HIDUP di Wisma KAJ. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana Bapa Uskup memaknai 20 tahun tahbisan episkopal?

Pertama-tama, tentu saya bersyukur, boleh melayani Gereja KAJ sejak Oktober 2009 sampai sekarang, dan sebelumnya Gereja KAS, sebagai Uskup. Tentu saja ceritanya bisa panjang. Saya pilih satu saja. Sejak pertengahan 1980-an, di kamar saya di Seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta, terpasang gambar seekor burung terbang dan pada pojok kanan bawah gambar itu ada tulisan; “Let go let God” yang secara bebas bisa diterjemahkan menjadi, “Tanggalkan dirimu, biarlah Allah memimpin hidupmu”.

Itulah salah satu kunci yang saya temukan untuk memaknai hidup saya. Sampai sekarang, jalan hidup saya, ternyata tidak saya tentukan sendiri. Yang saya rencanakan sendiri tidak pernah terjadi. Yang terjadi adalah rencana Tuhan, yang disampaikan kepada saya lewat para pemimpin saya sejak ditahbiskan menjadi imam. Dalam apapun yang ditugaskan, saya hanya berusaha menjalankan sebaik-baiknya.

Apakah itu juga tergambar dalam moto episkopal Bapa Uskup?

“Aku melayani Tuhan dengan segala rendah hati” adalah semboyan pribadi. Ini juga sebuah ajakan. Imamat yang utuh kan imamat Uskup. Imamat tingkat kedua itu kan imamat imam, dan pertama imamat diakon. Rumusannya, para diakon dan imam ikut ambil bagian di dalam imamat Uskup. Harapannya ketika Uskup memakai semboyan itu, para imamnya yang ikut ambil bagian dalam pelayanan Uskup setempat, juga ikut memperhatikan tidak memakai semboyannya sendiri-sendiri. KAJ juga punya semboyan “Gembala baik dan murah hati”. Dan itu tidak akan bertentangan dengan semboyan pribadi saya.

Apa yang paling menjadi perhatian dalam penggembalaan di KAJ?

Ada beberapa hal yang de facto terjadi sejak saya diserahi tugas pelayanan di KAJ. Misal merumuskan gambaran Gereja yang ingin kita bangun (persekutuan dan gerakan), menyesuaikan Pedoman Dasar Dewan Paroki (edisi 2014), dan menegaskan semangat pelayanan dengan menambah kata “murah hati” sesudah kata Gembala Baik. Selain itu, juga merumuskan Arah Dasar (2016-2020), dan menyesuaikan organ-organ dengan semangat penegasan bersama yang tampak dalam bentuk lingkaran, bukan garis lurus ke bawah. Maksud saya, supaya tidak segala-galanya diputuskan Uskup. Itu juga mengapa saya menegaskan adanya logo KAJ.

Tujuannya sederhana, supaya Gereja KAJ terus mencari secara kreatif apa saja yang dapat membuat KAJ semakin hidup dan bergerak, semakin mewujudkan Arah Dasar, semakin dekat dengan gambaran Gereja yang dicita-citakan, semakin bersungguh-sungguh mewujudkan semangat pelayanan. Saya bersyukur, karena para imam, biarawan-biarawati, seluruh umat, dengan cara yang berbeda-beda, ambil bagian dalam dinamika Gereja KAJ. Kalau diceritakan secara rinci, tidak akan ada habisnya.

Mengapa Bapa Uskup sering menyebut sebagai Uskup Keuskupan Agung Jakarta, bukan Uskup Agung Jakarta?

Kalau korespondensi dalam bahasa asing dengan lembaga-lembaga Gereja internasional, tidak ada istilah Uskup Keuskupan. Selalu pakai Uskup Agung Jakarta (Archbishop). Itulah, memang saya salah, dalam arti menggunakan istilah yang tidak baku. Konteks Indonesia, tidak ada uskup bantu atau uskup auxilier di keuskupan. Jadi ketika menyebut, Uskup Keuskupan Jakarta, orang tahu itu Uskup Agung. Hanya untuk menyebut diri Agung saya tidak sampai hati. Toh itu tidak melawan siapa-siapa. Saya tidak nyaman dengan memakai atribut kayak itu-itu. Itu alasan sungguh sangat pribadi.

Termasuk atribut seperti solideo, bareta, dan pallium?

Iya itulah, jawabannya sangat sederhana, saya itu tidak suka aksesoris. Pakai cincin pun saya belajarnya lama. Apalagi solideo, itu gampang kena angin kan (tertawa). Pallium sekalipun tidak pernah saya pakai, selain saat diangkat sebagai Uskup Agung, karena Nuncius memakaikan itu kepada saya.

Yang pasti, itu tidak menyebabkan ibadatnya tidak sah. Lihat Bapa Suci saja, tidak pernah homili pakai tongkat. Kalau bisa sederhana, ya kenapa harus ribet. Apa yang mau ditunjukan dengan itu? Saya tidak menuntut orang lain seperti itu. Saya tampil biasa apa adanya, asal tidak melangar aturan. Kalau saya pakai solideo, saya selalu membayangkan diri saya seperti Petruk (tertawa).

Arah Dasar KAJ 2016-2020 mengangkat tema “Amalkan Pancasila”. Pandangan Bapa Uskup?

Mungkin baik kita ingat, sejarah rumusan Pancasila. Pada 22 Juni 1945 ada kesepakatan di antara Panitia Kecil BPUPKI untuk mencantumkan Piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD. Menjelang sore 17 Agustus 1945, Bung Hatta menerima laporan bahwa perwakilan Nasrani keberatan dengan tujuh kata itu. Atas dasar laporan itu, pada 18 Agustus 1945, sebelum rapat Panitia Persiapan Ke Kemerdekaan Indonesia, dalam waktu amat singkat, sekitar 15 menit, Bung Hatta mampu meyakinkan para elite Islam bahwa mengganti tujuh kata itu menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak menghilangkan semangat Piagam Jakarta. Kalau kita ingat saat-saat itu, kita akan disadarkan betapa pentingnya Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia. Tanpa peristiwa 18 Agustus 1945, Indonesia tidak akan menjadi seperti sekarang.

Sementara itu, sejak reformasi, seolah-olah Pancasila nilai-nilainya, bukan sekadar rumusannya tidak dianggap penting lagi, bahkan tidak mustahil sengaja dilupakan karena ada agenda tersembunyi entah oleh siapa. Oleh karena itu, merupakan kewajiban kita untuk menggemakan kembali. Syukurlah Tuhan mengatur, meski lewat gegap gempita yang mencemaskan, bangsa Indonesia disadarkan akan bahaya yang mengancam Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945.

Lalu, bagaimana dengan Rosario Merah-Putih?

Ketika berkunjung ke beberapa Keuskupan di luar KAJ, saya melihat beberapa umat membawa Rosario Merah Putih yang berasal dari gerakan Amalkan Pancasila di KAJ. Semoga ada kreativitas lain yang sederhana, yang dapat mendorong umat Katolik untuk semakin tahu betapa pentingnya Pancasila bagi bangsa Indonesia.

Dalam salah satu pertemuan dengan Presiden RI Joko Widodo, beliau bercerita; Romo, kami menyiapkan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Saya jawab, kami sudah mulai lima tahun lalu, Pak. Dalam bahasa Jawa, beliau berkata, Oh, Romo sudah mulai lebih dahulu ya? Setiap pertemuan yang dihadiri oleh pemerintah, saya selalu bawa dan menunjukkan Rosario Merah Putih.

Terkait penggembalaan di KAS, apa yang membedakan penggembalaan di KAS dan KAJ?

Secara umum dapat dikatakan ada banyak perbedaan, baik jumlah penduduk, luas wilayah, budaya, hingga sejarah. Namun, saya merasa tidak perlu menekankan perbedaan. Landasan yang kuat untuk berdiri dan berkembangnya keuskupan-keuskupan sudah diletakkan oleh para pendahulu. Kami-kami para penerus, baik di KAS maupun KAJ, tinggal berusaha menjaga dan merawat secara kreatif dengan penegasan bersama. Baik di KAS maupun KAJ instrumen untuk menjaga dan merawat secara kreatif itu sudah ada, dilayani oleh para imam, biarawan-biarawati, dan awam yang rela bekerja sama memberikan yang paling baik untuk Gereja.

Pun begitu dengan Keuskupan Bandung?

Iya sama juga.

Bapa uskup pernah mengatakan, meski tidak diakui pemerintah, OCI tetap eksis dan melayani. Lantas sejauh mana urgensi agar Ordinariat Militer diakui?

Prinsip yang saya pegang sederhana saja. OCI didirikan Pimpinan Tertinggi Gereja Katolik, maka harus dijaga. Salah satu hal yang paling penting dapat ditemukan dalam sejarahnya. Pada 3 November 1949, Menteri Pertahanan Republik Indonesia membentuk suatu staf untuk mengurusi kebutuhan rohani para anggota Angkatan Perang yang waktu itu berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sebulan kemudian, 25 Desember 1949, OCI didirikan. Ini adalah tanda yang amat jelas, bahwa Vatikan sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dukungan itu juga jelas dari sejarah yang mencatat, Vatikan sebagai salah satu negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Indonesia.

Harapannya, sekurang-kurangnya di tempat pendidikan para calon tentara dan polisi, ada imam yang dapat hadir dan membentuk karakter para calon pemimpin institusi ini. Pelayanan rohani umum bagi para tentara dan polisi diberikan lewat paroki. Ada pelayanan khusus yang diusahakan sebisa mungkin, dengan mengunjungi Kodam dan Polda di Indonesia. Sekecil apapun pelayanan yang diberikan, semoga dengan pelayanan itu tentara dan polisi Katolik khususnya, dapat semakin menjadi wakil Gereja dalam institusi masing-masing.

Sebagai Ketua Presidium KWI, bagaimana pandangan Bapa Uskup soal Gereja Indonesia?

Saya anjurkan pembaca membaca buku yang diedit Rama F. Hasto Rosariyanto (Bercermin pada Wajah-wajah Keuskupan, Kanisius, Yogyakarta, 2001). Selain itu, komisi-komisi KWI saat ini, sedang mempelajari dokumen-dokumen KWI sejak 1924 sampai sekarang dan atas dasar dokumen itu, merumuskan eklesiologi yang ada di balik dokumen-dokumen itu.

Sejauh saya baca, banyak dokumen-dokumen terakhir yang dikeluarkan KWI memuat kata “pengharapan”. Mungkinkah itu berarti bahwa –sadar atau tidak sadar– Gereja Indonesia memahami atau mencita-citakan diri sebagai “Komunitas Pengharapan”? Meski demikian, saya juga yakin bahwa masing-masing keuskupan mempunyai visi eklesiologi masing-masing. Kalau di KAJ rumusannya jelas tertulis dalam Pedoman Dasar Dewan Paroki: Persekutuan dan Gerakan.

Mengacu pada situasi Indonesia saat ini, bukankah Pancasila mestinya menjadi warna penggembalaan Gereja di Indonesia?

Saya juga yakin mengenai hal itu. Dan para Bapak Uskup di seluruh Indonesia kiranya juga setuju. Ini jelas, misalnya dalam Sidang Tahunan KWI 2003, 2004, dan 2006 secara berturut-turut para Bapak Uskup belajar bersama mengenai sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Hasilnya dirumuskan dalam tiga Nota Pastoral; Sila kelima dari sudut politik, ekonomi, dan budaya.

Bagaimana Bapa Uskup melihat karya kerasulan yayasan atau perkumpulan di tengah masyarakat?

Bagi saya, kehadiran yayasan, perkumpulan, atau perhimpunan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan, pendidikan, pemberdayaan masyarakat dalam berbagai bentuk adalah wujud kehadiran Gereja di tengah dunia dalam rangka “menyucikan” dunia. Saya yakin, bahwa pelayanan mereka dalam bidang-bidang tersebut adalah wilayah kerasulan kaum awam yang sangat penting.

Semoga semakin banyak kaum awam, di tengah berbagai kesibukan yang padat, rela menyisihkan waktu untuk memberikan pelayanan sukarela melalui yayasan, perhimpunan, atau perkumpulan. Sayangnya, yang biasanya disebut Kerawam (Komisi Kerasulan Awam), memilih bidang yang lebih sempit, yaitu kerasulan dalam bidang sosial politik.

Apa visi penggembalaan ke depan?

Kalau mengenai itu kurang lebih sudah ada kerangkanya. Saat ini, ada Ardas 2016-2020. Sebelum saya pensiun, tentu akan ada Ardas lain, dan belum tahu akan seperti apa. Tapi pastilah akan dirumuskan dalam bentuk Ardas dengan struktur yang sama. Bagian pertama dan terakhir itu kan mengungkap citacita Gereja, membangun Gereja seperti apa. Bagian pertama, Gereja sebagai persekutuan dan gerakan itu kan tidak akan pernah selesai. Bagian alinea yang terakhir, itu kan ungkapan harapan; sekecil apapun buah-buah pelayanan itu akan disempurnakan sendiri oleh Tuhan. Bagian tengah, tergantung evaluasi dan analisa mengenai situasi; tantangannya seperti apa, kita belum tahu.

Edward Wirawan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here