Dikuliti Hidup-Hidup Demi Membebaskan Tawanan

624
Beato Francesco Zirano OFMConv.
[conventuaisrj.blogspot.com]
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Sembilan tahun ia mengemis agar bisa menyelamatkan nyawa umat di Aljazair. Naas, tentara menangkap dan mengulitinya hidup-hidup. “Semoga Allah berkenan agar aku melihat diriku dibunuh sebagai seorang kristiniani,” doanya sebelum ajal tiba.

Dewan Kota Algiers kebingungan untuk menyeret Romo Francesco Zirano OFMConv kepersidangan. Sebab, tak ada satu kesalahan pun yang ia perbuat. Mereka akhirnya kongkalikong menjatuhkan tuduhan palsu kepada imam kelahiran Sassari, Italia, 1564 ini. Para kaki tangan kerah putih di kota itu mengumumkan, sang imam telah mencuri empat tawanan dan mata-mata Spanyol. Mereka mengganjar Romo Zirano hukuman mati.

Keesokan paginya, tentara merantai leher dan kedua tangan Romo Zirano. Ia digiring menuju ladang pembantaian. Sepanjang jalan, masyarakat mencemooh dan memakinya. Ia bergeming. Dalam hati, ia berdoa, “Semoga Allah berkenan agar aku melihat diriku dibunuh sebagai seorang kristiniani”.

Tiba di sebuah bukit, para tentara melucuti jubah kebiaraan Romo Zirano. Kemudian mereka per lahan-lahan menguliti tubuhnya. Ia mengerang kesakitan, tetapi tak berontak. Romo Zirano pasrah menyaksikan para serdadu menanggalkan pembungkus tulang dan dagingnya. “Yesus, Maria, dan Rasul Paulus! Tuhan, kedalam tangan-Mu, kuserahkan rohku,” rapal Romo Zirano pelan, lalu meninggal.

Tak puas dengan aksi biadab yang telah dilakukan, mereka mengisi kulit korbannya dengan jerami. Lantas menjahit dan menggantung kulit Romo Zirano di gerbang kota.

Teladan Kesalehan
Zirano berasal dari keluarga petani sederhana. Ayahnya meninggal ketika ia bersama ketiga saudaranya masih kecil. Sejak saat itu, sang ibu sendirian merawat dan mendidik buah hatinya hingga dewasa. Demi menyambung hidup, ia bersama ibu dan saudara-saudaranya menggarap sepetak ladang peninggalan sang ayah.

Usai bekerja, mereka berkumpul untuk berdoa bersama. Begitu juga sebelum bekerja, Zirano bersama keluarganya selalu mengawali karya dengan doa. Mereka juga punya devosi mendalam kepada tiga martir awal Sassari dikenal dengan sebutan Para Martir Turris (†304), yakni: St Gavinus, St Protus, dan St Januarius. Selain itu, Keluarga Zirano setia berdevosi pada Bunda Maria

Zirano adalah satu dari sedikit penduduk di kotanya yang bisa membaca. Keterampilan mengenali literatur ia peroleh berkat bantuan dari para biarawan Ordo Fratrum Minorum Conventualium (OFMConv) di Biara St Maria dari Betlehem, Sassari. Relasi intimnya dengan para Fransiskan Conventual itu menumbuhkan benih-benih panggilan dalam dirinya.

Zirano masuk Novisiat Conventual di tempat kelahirannya saat berusia 15 tahun. Setahun kemudian, ia mengikrarkan kaul perdana. Ia menerima tahbisan imam dari Uskup Agung Sassari, Mgr Alfonso de Lorca (†1603), pada usia 22 tahun.

Sebagai imam muda, Romo Zirano mengemban sejumlah tugas, melayani umat Paroki St Maria dari Betlehem dan mengurus saudara-saudara sekomunitasnya. Umat begitu bahagia memiliki gembala seperti Zirano. Demikian juga seluruh penghuni komunitas biara Conventual di Sassari. Mereka salut akan kesalehan Zirano juga ketekunan, dan sikap rendah hatinya.

Misi Pembebasan
Hatinya sangat terpukul begitu mengetahui sepupu kandung dan saudara sekomunitasnya, Romo Francesco Serra menjadi tahanan pasukan Barbarossa – pelaut Turki yang dicap sebagai perompak oleh orang Eropa– ketika menyerang Sardinia tahun 1590.

ajak laut Turki berkeliaran di Italia, juga sejumlah negara Eropa dengan tujuan menjarah kekayaan alam di wilayah itu, menangkap dan menjadikan penduduk di sana sebagai budak, serta melebarkan pengaruh Islam di negara-negara Kristen. Oleh sebab itu, target utama serangan mereka adalah orang-orang Kristen.

Peristiwa ini muncul sebagai aksi balas dendam terhadap bangsa Eropa (Kristen), sebab selama Perang Salib (1096- 1291) banyak wilayah yang menjadi kantong umat Islam direbut bangsa Eropa. Setelah menaklukan pulau terbesar kedua di Laut Meditarenia, pasukan Barbarossa membawa Romo Serra dan tahanan lain ke Algiers, Aljazair yang menjadi pusat pertahanan. Dari sana, mereka minta uang tebusan kepada penguasa atau kerabat tahanan. Jika tawaran tersebut diabaikan, mereka akan menjadikan para tahanan sebagai budak belian. Atau tak segan membunuhnya.

Romo Zirano semakin khawatir dengan keselamatan para tahanan. Ia bertekad untuk membebaskan para sandera. Ia menghadap Paus Klemens VIII (1536-1605). Di hadapan Bapa Suci, Romo Zirano mengutarakan rencananya untuk membebaskan para sandera. Demi mewujudkan misi pembebasan itu, ia minta izin kepada Paus agar dirinya bisa mengumpulkan sumbangan dari umat.

Gayung bersambut. Paus Klemens VIII menyetujui usaha imamnya. Berbekal restu Paus, Romo Zirano kemudian menyusuri berbagai kota dan pulau. Ia keluar-masuk rumah umat untuk meminta sumbangan. Tak hanya itu, ia juga menghibur keluarga-keluarga yang kerabatnya menjadi tahanan perompak Turki.

Tiga tahun Romo Zirano mencari uang tebusan. Setelah terkumpul cukup banyak, ia sendirian meninggalkan tanah airnya untuk pergi ke Aljazair tahun 1602. Mula mula, ia berlabuh di Spanyol. Ketika berada di Negeri Matador, Raja Filipus III (1578- 1621) mengutus Mateus de Aguirre, rahib asal Mallorca untuk menemani Romo Zirano ke Aljazair.

Ibarat pepatah “tak ada makan siang yang gratis”, kepergian rahib Mateus ke wilayah perompak bertujuan untuk memata-matai mereka. Sebab pada saat itu terjadi peperangan antara penguasa Algiers yang berada dalam wilayah Kekaisaran Turki dengan Raja Cuco yang dibantu Kerajaan Spanyol. Sebenarnya, Spanyol berkepentingan untuk melancarkan politik adu domba guna memecah belah kekuatan Islam.

Di tengah perseteruan sengit itu, Romo Zirano berhasil membebaskan empat tawanan. Sayang, aksi sang gembala harus terhenti. Pasukan Cuco mengkhianati dan menyerahkannya kepada tentara Turki. Mereka mengira Romo Zirano adalah rahib Mateus, tangan kanan Raja Filipus III.

Tentara Turki lalu menjebloskannya kedalam penjara dan mematok tebusan sekitar 3.000 dukat (mata uang emas/perak) atau setara dengan harga 17 budak untuk kebebasannya. Nilai itu terlalu tinggi sehingga tak ada yang sudi melunasi tebusan itu. Romo Zirano mendekam di balik jeruji besi.

Beriman Teguh
Selama berada dalam penjara, Romo Zirano diperlakukan secara keji oleh tentara Turki. Meski demikian, ia tak pernah mengeluh sakit atas berbagai perlakuan biadab itu. Ia justru gencar menguatkan iman dan semangat umat Kristen yang bernasib setali tiga uang dengannya. Sebenarnya peluang ia bebas dari hukuman mati terbuka lebar, asalkan ia menyangkal iman akan Kristus.

Sejumlah tentara berkali-kali mendesak Romo Zirano untuk murtad. Namun, semua usaha mereka bak menegakkan benang basah. “Semoga Tuhan berkenan dengan kematianku. Mereka yang murtad semoga menyadari bahwa itu dosa besar,” ungkapnya.

Keteguhan imannya menghantar Romo Zirano mengenakan mahkota kemartiran pada 25 Januari 1603. Vatikan butuh 400 tahun lebih untuk mengakui kemartirannya. Baru pada 7 Februari 2014, Paus Fransiskus merestui dekrit kemartiran Romo Zirano. Berkat iman, teladan rohani, keutamaan hidup, dan jasanya, Takhta Suci menggelarinya Beato.

Perayaan beatifikasi berlangsung di Sassari pada 12 Oktober 2014, dipimpin Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Amato SDB. Gereja mengenang kemartiran dan keutamaan hidup Beato Zirano tiap 25 Januari.

Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here