Belajar dari Fordata

290
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Tak banyak orang tahu tentang Fordata. Fordata adalah nama sebuah pulau kecil di gugus utara Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku. Kepulauan Tanimbar membentuk sabuk dengan gugusan kepulauan lain di bagian selatan Laut Banda. Pulau-pulau ini jalin-menjalin dengan Kepulauan Aru dan Kepulauan Kei di sebelah timur; dilanjutkan Kepulauan Watubela dan Kepulauan Gorong di sebelah utara menuju Pulau Seram; serta Kepulauan Babar dan Kepulauan Barat Daya hingga pulau-pulau yang mengarah ke Pulau Timor di sebelah barat. Sabuk gugusan pulau itulah yang memisahkan Laut Banda dengan Laut Arafuru.

Fordata hanyalah satu dari 174 pulau yang membentuk Kepulauan Tanimbar. Meski demikian, Fordata termasuk satu dari beberapa pulau utama Kepulauan Tanimbar, seperti Yamdena sebagai pulau terbesar, Wuliaru, Selaru, Larat, dan Sera. Kepulauan ini menjadi rumah bagi beberapa pulau mini yang berada di garda terdepan perbatasan langsung dengan Australia. Paling selatan adalah Pulau Selaru, satu dari 96 pulau terluar di Indonesia. Tanimbar juga begitu dekat dengan Blok Masela, kawasan kilang minyak dan gas bumi di Laut Arafuru.

Dibutuhkan perjuangan dan keberanian, serta waktu yang cukup longgar untuk dapat menginjakkan kaki di Fordata. Bukan hanya keterbatasan akses transportasi udara dan laut, melainkan kondisi geografis yang kadang tidak bersahabat, seperti cuaca, angin, ombak, dll. Di bumi Fordata inilah, benih iman Katolik telah disemai oleh para Misionaris Hati Kudus (Missionarii Sacratissimi Cordis Iesu/MSC), seabad silam.

Semaian benih iman itu seolah mendapat tanah subur. Menginjak usia seabad, iman Katolik tetap bertahan–bahkan berlimpah buah–menjadi komunitas umat Allah yang ikut berkontribusi dalam karya pastoral Gereja. Mereka telah melahirkan banyak panggilan religius: imam, bruder, maupun suster. Jerih lelah dan kucuran keringat para misionaris menjadi pupuk bagi kekatolikan di Fordata. Meski dalam situasi yang serba sulit, rentang 100 tahun merupakan perjalanan iman bersama Yesus yang berlimpah rahmat. Militansi kekatolikan umat ini acapkali terlihat dalam perjumpaan antarpribadi dengan mereka yang hijrah ke tanah rantau. Bertumbuh dalam tradisi Kristiani berdampingan dengan saudari-saudara Kristen, sepertinya telah mendagingkan Firman yang seabad lalu disemai di bumi Fordata.

Ungkapan syukur seabad kekatolik di Fordata layak kita peluk sebagai rasa syukur Gereja di Indonesia. Kobaran semangat para misionaris yang bertarung melawan cuaca buruk, angin dan ombak, mestinya menjadi cambuk bagi penghayatan iman yang sedang lesu. Nyala api semangat itu harus dijaga supaya jangan sampai redup–sembari bertekun mengais buah-buah rohani dan keteladanan jiwa misioner dari para misionaris itu.

Potret Fordata adalah bentangan harapan masa depan Gereja. Ketika Gereja di Barat mulai mengalami kebangkrutan misioner, secuil kisah ungkapan syukur seabad Gereja Katolik di Fordata menjadi oase bagi peziarahan misi Gereja masa kini. Selain itu, potret tersebut mestinya memberikan rasa syukur yang lebih besar bagi Gereja yang tak harus bersusah payah berjuang menaklukkan alam dalam reksa pastoral. Semoga semangat Fordata menjangkiti laksana virus positif bagi dinamika menggereja bagi yang lain; dan berharap akan muncul Fordata-fordata lain yang punya kualitas militansi lebih baik.

Redaksi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here