Belajar Untuk Siap Menderita Dan Siap Untuk Diutus

713
Pastor Paulus Dwi Hardianto saat mengajar para seminaris KPA Seminari WB.
[HIDUP/Edward Wirawan]
3/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Para seminaris Wacana Bhakti datang dari pelbagai latar belakang; anak tunggal, dan bahkan dari kampung. Mereka belajar bahwa jalan imamat berkelindan suka dan duka.

Di lapangan bola mini Seminari Wacana Bhakti (WB), Geo unjuk gigi bakat olah bola. Ia berlari cepat dengan gocekan dan tendangan yang keras. Namanya selalu disebut sepanjang pertandingan oleh para seminaris lain. Geo memang bagian dari skuad inti tim sepakbola seminari yang sudah berusia 30 tahun itu. “Saya memang suka sepakbola dan futsal,” kata pemilik nama lengkap Gregorius Rivaldo Junior ini.

Sepelempar batu jauhnya dari lapangan mini soccer itu, para seminaris lain bermain bola basket dan volley. Mereka bermain di antara derap kaki para paskibra Kolese Gonzaga yang sedang berlatih. Seminari WB dan Kolese Gonzaga, keduanya berkelindan, para seminaris mengikuti jenjang pendidikan SMA di Kolese Gonzaga.

Dukungan Keluarga
Geo anak tunggal. Tapi kedua orangtuanya tak menolak Geo masuk seminari. Kelahiran Bekasi 25 Maret 1999 ini, ingin mengikuti jejak sepupunya masuk ke sekolah top Van Lith Pangudi Luhur Magelang. Tapi, ia tidak lolos. Suatu sore, selesai mengikuti les tambahan jelang Ujian Nasional tingkat SMP, ibunya menyarankan Leo untuk masuk ke Seminari WB.

Dukungan kedua orangtuanya berlatar sejarah keluarga. Kedua pamannya pernah menempuh pendidikan di seminari. “Bapak bilang, lulusan seminari bagus, walaupun tidak menjadi imam,” ungkap Geo.

Keluarga dan orangtua mendukung penuh anak semata wayang mereka masuk seminari. Kecuali sang nenek, ibu dari mamanya. Sang nenek enggan merasa jauh dari Geo. “Ia takut kesepian, kalau ada saya di rumah kan ramai,” ungkap seminaris asal Paroki St Mikael Kranji, Bekasi ini.

Dukungan keluarga juga menyertai Kristoforus Bimo Rosarian. Bimo, Saat SMP, aktif sebagai misdinar Paroki St Yakobus Kelapa Gading Jakarta. Momen inilah ia dekat dengan Romo Thomas Ulun Ismaya. Ia kagum dengan Romo Ulun yang berbaur akrab dengan semua orang lintas kalangan.

Selain itu, kakaknya, Diakon Bernardus Bimas Indra Graha, merupakan alumni Seminari WB. Bimo adalah bungsu dari tiga bersaudara. Meski ia dan kakaknya kini menempuh jalan panggilan menjadi imam, kedua orangtuanya mendukung penuh. “Orangtua membebaskan kami anak-anaknya untuk memilih. Intinya mau jadi apa jangan lupa Gereja, doa dan Tuhan,” ujar Bimo.

Sang ibu, Linda Iswanto, mengamini putra bungsunya itu. Linda bercerita, saat kecil Bimo memang bersemangat menjadi misdinar dan berniat masuk seminari. Sebelum ke sekolah selalu minta didoakan. Tapi perempuan yang pernah menjadi Ketua Cabang WKRI Paroki Kelapa Gading ini merendah, bahwa kehidupan rohani keluarga mereka biasa saja seperti umat umumnya. “Saat kecil, saya memang mengantar mereka ikut Bina Iman dan lain-lain, tapi mereka dipanggil ini jelas karena Tuhan, bukan karena kami memiliki kehidupan doa yang wah,” kata Linda yang aktif dalam pelbagai kegiatan Gereja.

Dari Jauh
Cerita berbeda dialami Hedwig, seminaris asal Paroki St Arnoldus Jansen Wai Komo, Lembata, NTT. Saat duduk di bangku SMP, pemilik nama lengkap Hedwig Oktavian Rajahali Ama Ruing ingin masuk ke Seminari San Dominggo Hokeng, Flores Timur. Niat Hedwig ditolak keras sang ibu. Lantas, ibunya enggan menandatangani surat persetujuan masuk Seminari Hokeng. “Kala itu mama bilang, anak cuma berdua, masa satu harus masuk seminari,” kenang sulung dari dua bersaudara ini.

Tapi mimpi Hedwig tak berhenti di situ. Pada saat itu, ayahnya sedang bertugas ke Jakarta. Di Jakarta, sang ayah bercerita soal keinginan Hedwig masuk seminari kepada tantenya. “Jadi Bapak pulang dengan formulir Wacana Bhakti dari tante saya.”

Keajaiban terjadi. Sang ibu tetiba merestui Hedwig masuk Seminari Wacana Bhakti. Sejak restu itu hingga kini, ibunya, kata Hedwig, menjadi pendukung nomor satu. Tiba di Jakarta, Hedwig harus beradaptasi. Sekitar dua minggu awal, ia banyak diam dan mendengar para seminaris lain berkata dan bercanda. “Kan saya dari kampung, masuk kota jadi harus penyesuaian, tapi setelah itu, saya akrab dengan semua orang,” ujar seminaris yang berencana melamar ke Ordo Fratrum Minorum (OFM) ini.

Hedwig bukan satu-satunya penghuni Seminari WB yang berasal dari luar daerah. Gilbert Afourtus Ekaputra Krismontana Hutapea berasal dari Mentawai, Sumatera Barat. Bagi Gilbert, masuk seminari merupakan ujung dari keinginan masa kecilnya. Mulanya, saat kelas lima SD, ada seorang imam bertanya kepada Gilbert perihal cita-cita. Gilbert kecil yang senang memancing menjawab lugas, “Saya ingin menjadi nelayan.”

Sembari tertawa, imam itu bertanya kepada Gilbert mengapa tak menjadi romo saja; kan Romo bisa memancing. Percakapan belasan tahun silam itu membekas dalam ingatan Gilbert. Suatu ketika, saat duduk di bangku SMA, seminaris KPA ini mengikuti kunjungan pastor Paroki St Maria Asumpta Sikakap ke stasi. Mereka naik perahu. Di perjalanan, ombak kencang membuat perahu oleng. Gilbert mulai cemas. “Tapi ketika saya melihat Romo, ia kalem saja. Dalam hati saya mulai kagum, wah keren ini.”

Tapi minimnya informasi soal seminari membuat keinginan Gilbert patah tumbuh. Pada tahun lalu, setelah lulus SMA, eyangnya menyampaikan informasi soal pendaftaran KPA di Seminari WB. “Keluarga mendukung. Meski sempat ada masalah, karena sebagai orang Batak, anak pertama kan harus meneruskan marga,” ujar sulung dari tiga bersaudara.

Suka Duka
Para seminaris bersekolah gabung dengan para siswa Kolese Gonzaga. Sekolah gabung seperti ini memiliki plus minus tersendiri. Para seminaris tak diijinkan berpacaran, berambut gondrong, dan memiliki gawai. Padahal, di Gonzaga, jika nilai raport di atas standar sekolah, siswa diperbolehkan gondrong. Tapi untuk para seminaris, meski cerdas, mereka harus berambut rapi. Mereka mesti menahan diri ketika para siswa Gonzaga memainkan gawai.

Meski tak diizinkan berpacaran, mereka tidak protes. Bimo mengaku, aturan tidak boleh berpacaran amat bagus. Anak muda kalau berpacaran, katanya, akan lupa dengan dunia sekitar; teman dan komunitas. “Jadi saya nggak mau kehilangan momen kebersamaan dengan teman di seminari,” ujar Ketua Bidel Umum Seminari WB ini sembari tertawa.

Selama tiga bulan pertama di seminari, mereka diisolasi, bahkan orangtua juga tidak diperkenankan berkunjung. Selama masa isolasi ini, mereka memupuk kebersamaan, baik dengan teman angkatan maupun kakak angkatan. “Kami saling mengeksplor diri. Mulanya bergaul sesama paroki, kota atau sekolah, lalu secara perlahan mulai mengenal yang lain,” jelas Bimo.

Seminari bukanlah tempat yang bebas dari penderitaan. Bimo menyebut ada proses yang ia namakan “pengalaman mau menderita”. Tahun lalu, ia dan para seminaris lainnya harus mengurusi JP II Cup dan aksi panggilan ke paroki-paroki. “Itu bikin capek banget, belum lagi ada ulangan yang sulit. Kadang terbersit untuk menyerah. Tapi justru di situ ada pelajaran, bahwa jalan menjadi imam memang tidak lurus. Ini latihan pengalaman menderita untuk mampu bangkit lagi dan siap ketika diutus.”

Segendang sepenarian dengan Bimo, Geo menyebut pengalaman penderitaan kecil menyadarkan mereka untuk siap dengan jalan-jalan penderitaan. Setengah berkelakar, Geo menyebut ia mengalami penderitaan dobel. Ketika tim sepakbola Seminari WB bertanding dalam kompetisi JP II Cup, Geo tidak merumput karena sakit cacar. Lebih parah lagi, ia harus diisolasi di kamar khusus. Tahun kedua, ketika ada kompetisi, ia juga jatuh sakit. “Dan di dua kompetisi itu timnya selalu kalah,” ujar Geo yang melahirkan gelak tawa dari teman-temannya. Jalan panggilan Tuhan, lanjut Geo, pasti ada hambatannya. Tapi indah.

Edward Wirawan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here