Dunia Baru

137
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Dan jadilah baru seluruh muka bumi.” Nyanyian pada Masa Pentakosta ini merupakan ungkapan harapan manusia dari masa ke masa. Zaman baru biasa ditandai dengan krisis, diikuti suatu momentum yang menjadi tonggak perubahan. Paskah Yahudi menjadi penanda pembebasan Israel dari perbudakan di Mesir.

Bulan April lalu para pemimpin negara Asia- Afrika menapak tilas “jalan bersejarah” dari Hotel Savoy Homan ke Gedung Merdeka Bandung. Enam puluh tahun lalu, Konferensi Asia Afrika adalah “kentongan” keruntuhan kolonialisme dan awal kemerdekaan negara-negara Asia Afrika. Di Amerika Serikat, Barack Obama menjadi presiden kulit hitam pertama, yang dirayakan sebagai momen bersejarah bagi perjuangan kesetaraan rasial. Perjuangan berdarah-darah sejak perbudakan, yang telah mengorbankan dua presiden, Lincoln dan Kennedy, serta Pendeta Martin Luther King, mencapai titik kulminasi. Di Indonesia, Reformasi dianggap sebagai titik balik dari pemerintah otoriter ke era demokratisasi. Kemenangan Jokowi sebagai presiden ketujuh dianggap menandai Indonesia baru yang mengubah pola bernegara dan bermasyarakat melalui “revolusi mental”. Sayangnya, era baru tak serta merta mewujudkan harapan yang ditunggu. Bahkan, tak jarang yang muncul justru kontradiksi atau “lecut balik”.

Orang-orang Israel yang keluar dari Mesir dalam Perjanjian Lama digambarkan bersungut-sungut ketika merasakan penderitaan di padang gurun, sehingga perbudakan di Mesir dirasakan lebih nyaman. Enam puluh tahun setelah Konferensi Asia-Afrika, kapitalisme global merajai Asia dan Afrika. Negara-negara yang memotori, seperti Myanmar dan India, mengalami keterbelahan internal dan relasi kawasan Selatan-Selatan lebih menjadi pesaing daripada sekutu. Di Amerika Serikat, kepemimpinan Barack Obama dihantui kerusuhan rasial dan kekerasan polisi terhadap masyarakat kulit hitam miskin di Ferguson dan Baltimore. Di Era Reformasi muncul banyak sticker mobil bergambar Soeharto yang tersenyum, disertai sindiran, “Piye kabare, Le, enak jamanku, to?” Eforia kemenangan rakyat di era Jokowi bagaikan balon yang meletus satu per satu, ketika oligarki partai dan kekuasaan modal menyandera perubahan dan perjuangan melawan korupsi.

Pasang surut tak pelak juga melanda Gereja dari masa ke masa. Ada tonggak transformatif ketika kabar baik menyebar ke seantero dunia melalui karya kerasulan dan misi ketika Konsili Vatikan II membangun wawasan inklusif, dan ketika Paus Fransiskus mendobrak kebekuan dengan pastoral gembala yang baik. Pada saat yang sama, 2000 tahun setelah Kristus menebus dunia, Gereja di kota-kota besar Eropa sepi, diisi segelintir orang tua. Iman dan spiritualitas tergerus hingar bingar dunia.

Para sejarahwan memang sudah tak mungkin menggambarkan perkembangan dunia dalam garis linear menuju “kemajuan” dan puncak peradaban. Sebaliknya, para pakar lingkungan hidup khawatir, pengrusakan hutan, air, dan udara oleh ketamakan manusia dengan sarana teknologi canggih semakin menggiring dunia menuju ambang kehancuran. Bagaimana orang beriman bertahan di era baru yang mengguncangkan harapan ini?

Tunggu dulu! Jangan-jangan kita keliru menafsirkan “dunia baru”, seperti Yudas Iskariot yang kecewa ketika Yesus tak kunjung mengambil tampuk pimpinan Israel. Jangan-jangan seperti para rasul yang balik melaut setelah penyaliban Kristus, kita pun buta terhadap revolusi kasih yang tergenapi di Kalvari.

Roh Kudus yang turun atas orang beriman bukan serta merta mengubah yang duniawi, tapi mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Transformasi terjadi ketika kekuatan iman mengatasi kelemahan manusia dan memberikan kemampuan bersaksi di tengah kekelaman zaman. Melalui karya dan kesaksian orang-orang kecil dan lemah yang digerakkan kekuatan kasih, dunia baru dihadirkan. Inilah daya transformatif yang terus bergulir. Lembut, tapi tak kenal pupus, mengatasi pasang surut dunia..

Melani Budianta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here