Pelangi Sehabis Hujan

600
Fidelis, istri, dan putra sulungnya Yuven.
[NN/Dok.Keluarga]
3.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – “Tuhan kami serahkan segalanya kepada-Mu. Tunjukkanlah kami jalan selangkah demi selangkah menuju kebaikan-Mu, agar semuanya menjadi indah pada waktunya.”

Demikian sepenggal nota pembelaan (pledoi) Fidelis Arie Sudewarto, ayah dengan dua anak yang divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat, Rabu, awal Agustus lalu. Fidelis ditahan lantaran menanam ganja (Cannabis Sativa). Ganja itu dia gunakan untuk mengobati sang istri, Yeni Riawati, yang terkena Syringomyeila.

Berdasarkan laman Healthline, penyakit langka ini berupa kista yang terbentuk di tulang belakang. Kista ini akan meluas dan memanjang sehingga merusak susunan tulang belakang tubuh. Penderita penyakit itu akan mengalami kelemahan punggung, bahu, lengan, dan kaki.

Dalam pledoinya yang berjudul “Surat untuk Istriku Tercinta, Yeni Riawati”, Fidelis menjelaskan secara detail perjalanan dirinya dalam mengobati sang istri yang terkena penyakit itu. Yeni mulai merasakan penyakit itu sejak 2013, ketika mengandung anak kedua. Upaya pengobatanpun dilakukan, mulai dari rumah sakit hingga terapi tradisional, namun tak membuahkan hasil.

Hingga akhirnya Fidelis mendapatkan informasi dan literatur dari luar negeri jika penyakit yang diderita istrinya itu bisa disembuhkan dengan ekstrak ganja. Namun, sang istri akhirnya meninggal, 32 hari setelah Fidelis diamankan Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Sanggau. “Mama, Papa minta maaf karena hanya bisa berterus terang melalui surat ini. Kita tidak lagi bisa bersama di dunia ini. Kita tidak lagi bisa berbincang tentang hidup ini atau bertengkar tentang rencana esok hari.”

Ke Papa, Yuk
Samuel, anak kedua Fidelis, yang baru berusia tiga tahun, akan selalu menunjuk ke televisi, atau mengusap layar handphone begitu melihat foto ayahnya. “Papa… Papa,” teriak bocah tak berdosa itu, kenang Yohana L. A. Suyati, kakak kandung Fidelis, dalam balasan surat elektroniknya, Selasa, 20/9.

Begitu melihat bude atau kakek-neneknya berpakaian rapi, Samuel selalu minta ikut. Dia mengira, mereka akan pergi ke tempat ayahnya. Bahkan, Samuel pernah mengajak bude dan eyangnya ke lapas malam-malam, padahal jadwal besuk pada Selasa, Kamis, dan Sabtu pagi. “‘Ke Papa, yuk’. Atau, ‘Ikut ke tempat Papa’,” tulis Yohana, menirukan permintaan keponakannya.

Samuel memang lebih sering menjenguk ayahnya di lembaga pemasyarakatan (lapas), ketimbang kakaknya, Yuven, sebab terbentur dengan jam sekolah. Yuven saat ini berada di kelas I SMA. Jika libur atau pulang cepat, dan waktunya bersamaan dengan jadwal besuk, Yuven pasti ikut menjenguk ayahnya.

Sejak Fidelis ditahan dan Yeni dibawa ke RS oleh BNNK Sanggau, Yuven-Samuel, tinggal di rumah kakek-neneknya. Di sana ada Yohana, anak, dan dua saudaranya yang lain.

Yuven-Samuel, menurut Yohana, termasuk anak yang tabah dalam menjalani semua peristiwa yang menimpa orangtua mereka. Yuven tetap tekun belajar karena pada saat itu menghadapi Ujian Nasional SMP. Dia hanya mengeluh sesekali karena tak bisa konsentrasi belajar.

Yuven sering menjadi juara kelas. Dia mengatakan, ibunyalah yang sering membimbing belajar di rumah. Yuven tak lagi mendapat bimbingan belajar dari sang ibu ketika sakit. Meski peringkatnya sempat turun, Yuven tetap masuk dalam kelompok juara kelas. Ketika mengikuti seleksi tertulis untuk masuk ke SMA, nilai-nilai Yuven berada di peringkat kesembilan dari 170 pendaftar.

Samuel belum terlalu mengerti tentang berbagai peristiwa yang terjadi dengan keluarganya. Sejak berusia lima bulan, dia diasuh oleh kakek-neneknya karena sang ibu sakit. Samuel tidak tergantung kepada ayah dan ibunya. Ketika bertemu dengan ibunya, Samuel tak menunjukkan kemanjaan seperti anak-anak lain seusianya.

Samuel tak dekat dengan ibunya. Sejak tangan-kaki lumpuh, Yeni tak bisa merawat dan mengasuh putra bungsunya itu. Samuel hanya agak mengingat ayahnya, karena selalu menjenguk dirinya di sela-sela merawat sang ibu. Karena itu, Samuel lebih mengenal ayah ketimbang ibunya.

Tak lama menerima vonis hakim, ada seorang Romo, yang studi di Italia, dan datang ke Indonesia untuk bertemu Fidelis dan keluarganya. Imam itu mengakui, meski tinggal di Eropa, dirinya selalu mengikuti pemberitaan soal Fidelis. Sang imam juga berpesan kepada Yuven-Samuel agar bangga dengan ayahnya. “Ketika orang lain hanya bisa berteori tentang hukum cinta kasih, Fidelis telah membuktikan secara nyata dan itu merupakan teladan bagi kita semua,” kenang Yohana, mengutip pesan sang imam.

Kuasa Tuhan
Yohana tak menyangka, peristiwa yang dialami oleh keluarga kecil sang adik menjadi contoh konkret cinta kasih dan kesetiaan, seperti yang diajarkan dan dipraktikkan Yesus. Mereka gembira, boleh menjadi bagian dari pewartaan Injil melalui seluruh peristiwa yang dialami. Yohana mengakui, saat Fidelis ditahan, keluarga sedih, tertekan, dan amat bingung.

Dalam satu peristiwa, mereka menghadapi tiga masalah sekaligus. Pertama, mengurus Yeni yang sakit parah. Kedua, mengurus Fidelis yang ditahan dan proses hukum. Ketiga, mengurus kedua anak mereka yang masih kecil. Dari tiga persoalan, yang paling berat menurut Yohana adalah merawat Yeni. Sebab, cara penanganan dan perawatannya amat bergantung kepada suaminya.

Keluarga juga menerima banyak cemooh dan respon negatif pada awal penahanan Fidelis. Kata Yohana, hampir semua pemberitaan mula-mula tak ada yang berpihak kepada adik dan keluarganya. Ada berita yang menyiarkan, pengobatan (dengan ekstrak ganja) hanya dalih Fidelis saja.

Tak cuma itu, lanjut anak pertama dari lima bersaudara ini, ada juga yang memberitakan, Fidelis menjual ganja untuk biaya pengobatannya istrinya. Sebetulnya justru (ekstrak) ganja itulah yang digunakan adiknya untuk mengobati sang istri. “Itupun dia lakukan setelah berobat ke sana-ke mari, namun Yeni tidak kunjung sembuh,” tandasnya.

Pada akhirnya situasi yang mereka alami, kata Yohana, menjadi jalan untuk menunjukkan kebesaran kuasa Tuhan. Dia telah menggerakkan hati banyak orang untuk membantu dan mengawal kasus Fidelis hingga tuntas. Keajaiban karya Tuhan itu tampak nyata ketika Majelis Hakim menjatuhkan vonis pidana delapan bulan penjara dan denda satu milyar rupiah dengan subsider satu bulan penjara.

Keluarga memang menginginkan Fidelis bebas murni. Tapi, Majelis Hakim telah melepaskan ketakutan keluarga terhadap pidana penjara minimal lima tahun dari setiap pasal yang didakwakan kepada Fidelis. Bahkan, ada yang mengatakan, putusan Majelis Hakim adalah putusan teringan yang pernah ada untuk kasus narkotika di Indonesia.

Permintaan Terakhir
Menjelang pemakaman Yeni, dari balik jeruji besi, Fidelis mengajukan permintaan terakhir kepada keluarganya untuk sang istri. Fidelis, ujar Yohana, meminta agar keluarga berkenan menyanyikan lagu “Pelangi Sehabis Hujan” ciptaan Jonathan Prawira, pada saat Misa Requiem.

Lagu itulah yang dinyanyikan Yeni ketika sempat sembuh dari sakitnya setelah meminum ekstrak ganja yang dibuat oleh suami tercinta. Fidelis dan keluarganya percaya, Tuhan berkarya melalui peristiwa menyenangkan dan menyedihkan. Itulah sebab mereka selalu berdoa agar mengerti dan memahami rencana Tuhan atas diri mereka.

Kadang, Tuhan memberikan masalah yang begitu berat, padahal sebenarnya, Tuhan menyiapkan sesuatu yang lebih baik. Seperti pelangi nan indah, muncul di angkasa selepas awan gelap dan hujan tiba.

Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here