Penjaga Keamanan Kota Pelajar

1688
Kombes Pol Gregorius Tommy Wibisono.
[NN/Dok.Pribadi]
3/5 - (6 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Kala remaja, Kombes Pol Tommy ingin melayani banyak orang. Kepolisian menjadi ladang bagi cita-cita mulia itu.

Pertama kali dalam sejarah, Polres Kota Yogyakarta dipimpin seorang perwira Katolik. Ia adalah Kombes Pol Gregorius Tommy Wibisono. Sejak Juni 2016, polisi yang akrab disapa Tommy ini menjabat Kapolresta Kota Yogyakarta.

Sebelumnya pada 2013-2015, Tommy menjadi Kapolres Tegal, Jawa Tengah. Sebagai pimpinan lembaga pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, seorang Kapolres harus mampu bekerja sama dan merangkul seluruh elemen masyarakat.

24 Jam
Ketika remaja, Tommy tergolong anak yang bandel. Karena itu, ia mesti merasakan berpindah-pindah sekolah. Tapi dalam batinnya terbersit suatu cita-cita; kelak ia dapat menjadi pribadi yang mampu melayani banyak orang. Beruntung, Tommy memiliki rujukan langsung. Kakak sulungnya menjadi seorang dokter, sementara kakaknya yang lain menjadi polisi. “Ada dua model profesi yang saya lihat dari kakak saya. Awalnya, saya tertarik menjadi dokter. Alasannya, supaya saya bisa melayani sesama secara langsung. Begitulah mindset saya ketika itu,” kenang anak keempat dari lima bersaudara ini.

Pada pengujung masa SMA, Tommy berubah pikiran. Ia memilih masuk Akademi Kepolisian. Ia lulus dari Akademi Kepolisian pada 1995. Dua tahun awal menjadi polisi, Tommy yang kala itu berpangkat Letnan Dua ditugaskan sebagai Kapolsek Kalasan, Sleman. Suatu ketika, sang ibu datang mengunjunginya ke kantor Polsek Sleman. Sang ibu melihat seorang polisi yang sudah tua. Sang ibu mendekati polisi tua itu dan berkata, “Pak, tolong titip anak saya ya. Nanti kalau dia bandel, tolong dinasihati.”

Tommy tahu polisi tua itu masih berpangkat kopral. Kemudian Tommy mengajak ibunya untuk masuk ke ruangannya. Ia berkata kepada sang ibu, “Mama, di kepolisian itu yang dilihat bukan umur, tetapi kepangkatan. Polisi tua itu anggota saya. Penugasannya saya yang mengatur.” Sang ibu yang tidak tahu banyak tentang dunia kepolisian menjadi kaget. “Oh, anakku ini kecil-kecil sudah menjadi pemimpin ya?” komentar sang ibu kala itu. Saat itu Tommy baru berusia 23 tahun, sementara anggotanya banyak yang berusia lebih dari 40 tahun.

Predikat sebagai polisi, tegas Tommy, melekat sepanjang 24 jam. Meskipun sedang libur dan ada di rumah, ia tidak bisa mengelak ketika tugas memanggil. Saat itu juga, ia mesti turun ke tempat kejadian perkara. “Kalau saya menjadi dokter, hari Minggu dan hari besar bisa libur. Tuhan memilihkan tugas yang sesuai dengan cita-cita saya, karena sejak awal saya ingin melayani banyak orang,” tuturnya.

Kenakalan Remaja
Sejak lama, julukan “Kota Pelajar” melekat pada Yogyakarta. Kota dengan status istimewa ini menjadi tempat bertemunya berbagai macam etnis, agama, dan budaya dari segala penjuru Indonesia. Yogyakarta juga menjadi destinasi wisata. Tentu, tidak sederhana untuk mengelola karakter masyarakat yang demikian guna menciptakan keamanan dan ketertiban. “Yogyakarta tidak sebesar Jakarta. Tetapi kompleksitas kasus, dinamika kedinasan kepolisian itu sama seperti Jakarta,” jelas Tommy.

Misal saja, beberapa waktu silam, Yogyakarta dikejutkan dengan aksi kenakalan remaja yang berujung pada kekerasan. Masyarakat Yogyakarta memiliki istilah khusus untuk jenis kejahatan ini, yaitu klithih. Ini adalah tindakan kekerasan oleh pelaku, yang biasanya anak-anak atau remaja kepada korban yang tidak dikenal. Motivasinya bukan perampokan atau perampasan, dan bukan pula dendam pribadi. Pelaku mencari korban secara acak, terutama pada malam hari atau di tempat-tempat sepi. Kenakalan ini sekadar iseng mengisi waktu senggang bersama teman-teman sekelompok. Tapi meski iseng, klithih beberapa kali menimbulkan korban jiwa.

Tommy melarang penggunaan istilah klithih. Kalau kita googling dengan kata kunci “klithih”, kata Tommy, yang keluar adalah Yogyakarta. Padahal kata “klithih” punya konotasi yang baik. Kata ini, mengacu kepada orang yang malam hari lapar, lalu ke dapur cari apa saja yang bisa di makan. “Nah, karena orang yang dilukai itu dipilih secara acak, maka diberi julukan klithih. Tetapi, istilah itu harus diubah. Kepolisian menggunakan terminologi hukum, yaitu anirat atau penganiayaan berat yang menimbulkan luka atau korban jiwa.”

Berhadapan dengan klithih, anggota Polres Kota Yogyakarta bertindak cepat. Hanya dua hari setelah kejadian, polisi menangkap para pelaku. Kenakalan ini, bagi Tommy, merupakan akibat dari bergesernya nilai-nilai luhur di kalangan generasi muda. Meski para pelaku masih anak-anak, polisi menindak secara tegas. Tommy berkisah, salah satu remaja pelaku menangis begitu tahu bahwa perbuatannya akan diproses secara hukum dan ditangani dengan serius. “Mereka beranggapan karena masih anak-anak tidak bisa dihukum. Itu salah besar. Tetap kita proses sesuai hukum yang berlaku,” tegasnya.

Untuk mengantisipasi kenakalan serupa, Tommy menggalakkan patroli dan razia pada malam hari. Dalam razia itu sering didapati remaja yang sedang berkumpul hingga dini hari dengan membawa senjata tajam. Setelah razia, keesokan harinya ia sendiri yang memberikan pengarahan dan pembinaan kepada para remaja itu. Ia juga mengundang orangtua dari anak-anak yang terjaring razia. Tommy berpesan kepada semua orangtua agar bertindak tegas kepada anaknya; misal tidak memberikan kendaraan jika belum saatnya atau tidak mengizinkan keluar malam hari. Tommy juga menempuh langkah kerjasama dengan pihak sekolah. “Semua kepala sekolah saya undang. Di situ saya tegaskan, polisi akan menindak tegas, supaya ada efek jera dan tidak dianggap sebagai pembiaran.”

Pluralisme
Yogyakarta juga dikenal sebagai kota dengan yang warga plural. Sebagai Kapolresta, Tommy juga rajin mengadakan silahturahmi dengan tokoh-tokoh agama. “Saya bersyukur, walaupun Katolik, saya diterima dengan baik di Yogyakarta dan dapat bekerja sama dengan berbagai tokoh agama,” ujar ayah satu anak ini.

Hidup dalam keanekaragaman, bukan hal asing bagi alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ini. Ayahnya seorang Muslim, sementara sang ibu beragama Katolik. Ketiga kakaknya memeluk agama Islam, sedangkan Tommy dan adiknya beragama Katolik. “Orangtua saya luar biasa. Mereka mengajari saya tentang sikap saling menghargai dan mengasihi. Mereka menekankan bahwa semua agama itu mengajarkan hal-hal yang baik.”

Tommy juga rajin menyimak khotbah dan bacaan Injil setiap Misa Minggu. Keesokan pagi, saat apel bersama anggotanya, ia mengemas pesan Injil dalam bahasa yang universal. “Intinya, kita diciptakan Tuhan untuk mengasihi dan melayani sesama,” ujar Tommy. Di lapangan Markas Polres Kota Yogyakarta, Tommy menulis di baliho besar yang berisi nasihat hidup bahagia; “Jangan mempersulit orang dan bekerjalah dengan iklas.”

Kombes Pol Gregorius Tommy Wibisono
TTL:
Bandar Lampung, Mei 1973

Pendidikan:
• Akademi Kepolisian Semarang (1992-1995)
• Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (2004)
• Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah Polri (2010)

Riwayat karya:
• Perwira Pertama di Polda DIY
• Perwira di Polda Papua
• Perwira di Polda Metro Jaya
• Perwira di Polda Sumatera Barat
• Perwira di Mabes Polri
• Koordinator Sekretaris Pribadi Pimpinan Polda Jawa Tengah
• Kasubdit Registrasi dan Identifi kasi Direktorat Lalu Lintas Polda Jawa Tengah
• Kapolres Tegal Jawa Tengah
• Kasubag Perencanaan dan Anggaran Biro Sumber Daya Manusia Mabes Polri
• Kabag Pembinaan Karier Biro Sumber Daya Manusia Polda Jawa Timur
• Kapolresta Yogyakarta (2016-sekarang)

Penghargaan
• Satya Lencana Kesetiaan 8 Tahun
• Satya Lencana Kesetiaan 16 Tahun

Fr Benediktus Yogie Wandono SCJ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here