Museum, Sebuah Ironi

282
Antonius Eddy Kristiyanto OFM
[NN/Dok.HIDUP]
2/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Arti pentingnya disadari sepenuhnya. Namun museum masih dipinggirkan. Jiwa yang menghidupkan masa depan dapat ditemukan dalam khazanah museum.

Bagi banyak orang, eksistensi museum sebagai wahana merupakan loci (resources) pengenalan akan peradaban, kebudayaan, cita-cita, bahkan ideologi. Sebab orang silih berganti, datang dan pergi, namun selalu ada yang tinggal tetap, yakni catatan dan warisan peristiwa.

Anak-anak sejak usia muda diperkenalkan pada tokoh, hasil karya, pemikiran, peristiwa. Orang-orang yang lebih senior menjelaskan, menghubungkan, mencocokkan, mengkinikan pesan dari “subjek” yang diperkenalkan itu.

Maksud pengenalan itu adalah agar anak-anak dan siapa pun yang bersikap terbuka menemukan harga dan kepercayaan diri, bahkan mengenali identitas dirinya melalui “subjek” yang dipresentasikan dan divisualisasi. Bagi manusia yang dilengkapi dengan sekian banyak indera, presentasi, dan visualisasi itu menguatkan akar kemanusiaan dan menjadi humus subur bagi proses pengasahan peradaban manusia.

Inspiratif
Di museum disimpan aneka benda. Semua benda itu disimpan karena mampu bertutur dan memiliki hikmat. Apa yang dituturkan berhubungan dengan budaya kehidupan dan peradaban. Orang yang bermaksud menimba “ilmu kehidupan” dan peradaban di suatu museum perlu dibantu, agar isi tuturan dan kandungan hikmat menjawab ikhtiarnya. Bantuan itu datang dari penutur yang memberikan keterangan.

Penimba ilmu kehidupan diajak berkelana ke masa lampau, satu-satunya yang pasti manusia miliki. Maksudnya, periode yang pernah dilewati, dialami, disentuh, dimaknai oleh generasi terdahulu. Tentu saja, museum yang baik menyimpan khazanah mendukung sepenuhnya visi primer untuk apa dan mengapa museum itu didirikan.

Sebut saja Museum Vatikan, dan Museum Teknologi di Munchen. Keduanya didirikan dengan visi dan misi yang berbeda. Oleh karena itu, khazanah di dalamnya juga berbeda. Aspek dan dimensi yang disasar oleh kedua museum itu berbeda, kendati menyasar pada manusia yang sama.

Sebelum menikmati suatu museum setiap “pengunjung” sudah tahu sedikit-banyak apa yang mau diraih dengan kunjungan itu. Tidak hanya sekadar memuaskan keingintahuan, melainkan mencari, bahkan menemukan makna untuk kehidupan. Sebab museum menjadi miniatur yang inspiratif yang bernarasi tentang identitas sekaligus historisitas yang dinamis dari suatu entitas, lembaga atau institusi.

Keberadaan museum gerejawi, terutama dalam lingkup lembaga Gereja Katolik, masih sangat minim, bahkan cenderung stagnan. Semua menyadari makna museum, tetapi siapa yang memulai? Di Jakarta ada Museum Katedral yang dirintis Romo Kurris SJ. Selama ini, museum itu kurang terawat, dan oleh karena itu sedang ditata kembali untuk dilengkapi dan diberi makna baru.

Museum Misi Muntilan sudah lebih tertata dengan mengindahkan asas kebermanfaatan bagi proses edukasi serta pendalaman iman. Dua kepentingan terpadukan, yakni museumologi dan museumografi. Di satu pihak, museum menyimpan dan melestarikan benda-benda bersejarah. Di lain pihak, benda-benda itu dijadikan sarana edukasi, terutama berkenaan dengan (pendalaman) iman.

Dengan museum, kendati koleksinya belum sepenuhnya tertata dan pepak, orang difasilitasi untuk menimba inspirasi dari masa lalu. Sesungguhnya, masa lalu tidak pernah merupakan waktu yang kosong dan homogen. Sebab, ia senantiasa mengedepankan perspektif baru bagi pribadi yang terbuka.

Kita tidak pernah menutup mata terhadap kepentingan tersembunyi dalam museum. Ini terjadi, jika ada ideologi yang hendak ditonjolkan, yang berekses pada penenggelaman perspektif lain. Misalnya, kisruh tentang Peristiwa 65 atau Mei 98. Museum tertentu menyimpan khazanah peristiwa itu untuk kepentingan menjaga dan melindungi rezim atau kelompok tertentu.

Dengan ungkapan tersebut, saya hendak menyatakan, bahwa museum terancam tidak bebas nilai dan tidak bebas kepentingan. Namun, ancaman ini dapat dinetralisasi oleh kelengkapan koleksi, penjelasan yang memadai, termasuk sisi-sisi pro dan kontra terhadap peristiwa itu. Dengan demikian, maksud pendirian museum yang multi dimensi, sekaligus sumber inspirasi, mengarah dan mendekati perealisasiannya.

Terobosan
Tidak berlebihan mengatakan, Museum Katedral Jakarta yang sudah dimulai dan tengah ditata kembali dan disempurnakan belum sebaik Museum Misi di Muntilan. Bobot kesan ini didasarkan pada kelengkapan koleksi, penjelasan, pemanfaatan, prasarana, personel, dsb. Namun, bagaimana dengan museum-museum mini gerejawi yang tersebar di seantero Indonesia?

Ada beberapa museum gerejawi yang dikelola dan diselenggarakan oleh tarekat-tarekat religius seperti OFMCap (Nias); FCh (Palembang), FSGM (Pringsewu), FMM (Bogor), SVD (Ledalero), MTB (Singkawang), CM (Surabaya), dsb. Tarekat-tarekat sudah mulai mengelola museum. Ini sesuatu yang sangat positif. Namun, lebih banyak tarekat religius yang enggan dan malu menyatakan dirinya memiliki museum.

Tak jarang terjadi, eksistensi museum itu muncul karena minat kuat orang tertentu. Kepadanya keterurusan museum bergantung. Biasanya banyak orang memuji atas prakarsa bagi pendirian suatu museum. Tetapi tidak kurang jumlah orang yang tidak mempedulikannya, bahkan tak punya minat atas museum. Inilah ironi!

Museum pada prinsipnya berkenaan langsung dengan masalah visi dan misi (filosofi tentang museum), kemanusiaan, pewarisan nilai-nilai luhur, narasi yang menjembatani masa lalu dengan masa depan. Tetapi sering kali masalah itu tak pernah terurai karena ketiadaan dua unsur ini. Pertama, personel yang mengurus. Kedua, minat dan kemampuan pengelolaan museum.

Mungkin solusi yang dapat dipikirkan sebagai terobosan adalah sentralisasi museum. Beberapa museum digabungkan dan difasilitasi, dalam kerjasama dengan regio kegerejaan. Hal-hal praktis dan teknis bisa diatur demi kebaikan bersama, sehingga kini bukan zamannya lagi berpikir tentang diri sendiri, menyelenggarakan museum sendiri secara sektarian.

Dalam era teknologi digital ini, benda-benda fisik dan materi yang bisa disentuh dan dicium, bukannya tidak penting, tetapi mungkin perlu dijajaki kemungkinan museum dalam bentuk film. Museum seperti ini selain lebih ringkas (artinya tidak makan banyak tempat), juga lebih ramah dan menyapa generasi muda sekarang dan yang akan datang. Dalam hal ini benda-benda peninggalan perlu diseleksi dengan ketat, sebelum disimpan di museum.

Terbujur persoalan utama eksistensi museum di sini dan sekarang ini sesungguhnya bukan pada kaidah, asas filosofis atau prinsip dasariah tentang perlu-tidaknya museum, melainkan menyangkut praksis. Persis disinilah, di bidang praksis inilah kita kedodoran! Dan hal yang paling elementer adalah soal minat. Pokok ini mempersubur amnesia kita sebagai warga Gereja dan bangsa. Sebab kesadaran kita lama-kelamaan menipis dan mengering, lantaran tidak berbagi tempat pada para pendahulu yang berjasa sehingga kita semua dapat ikut serta menikmati perjalanan bersama.

Akhirnya, setiap museum mengabadikan bukan hanya khazanah hasil cipta, karsa, dan karya manusia yang beradab, yang dapat dipandang sebagai suatu bentuk partisipasi dalam proses kreatif Sang Pencipta, tetapi juga (dan terutama) melestarikan konsientisasi kita sebagai warga bangsa. Proses ini tidak sekali jadi, tetapi berkesinambungan. Sejarah peradaban manusia, dipanggil menjadi keutuhan holistik tidak berakhir dengan berlalunya masa sekarang ini.

Antonius Eddy Kristiyanto OFM,
Guru Besar Sejarah Gereja STF Driyarkara Jakarta

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here