Pengalaman Pastoral dari Perbatasan

403
Pintu Perbatasan: Pelabuhan Tonon Taka, Nunukan, Kalimantan Utara menjadi pintu keluar masuk TKI ke Malaysia.
[HIDUP/Steve P. elu]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Mgr Yustinus Harjosusanto MSF membawa pengalaman memimpin Keuskupan Tanjung Selor untuk menggembalakan umat di Keuskupan Agung Samarinda.

Ketika mengawali pelayanan di Keuskupan Tanjung Selor, Mgr Harjosusanto pernah menerapkan strategi “federasi” untuk mengembangkan reksa pastoral di wilayah yang luas dengan jumlah imam yang terbatas. Strategi “federasi” ini tidak lazim dipakai di lingkungan Gereja, namun banyak digunakan dalam dunia non-gerejawi.

Menurut, Mgr Harjo, kata federasi memang tidak lazim dipakai begitu saja untuk menggambarkan sebuah sistem dalam reksa pastoral. “Federasi” ini dipakai untuk menggambarkan bahwa pusat kegiatan umat Keuskupan Tanjung Selor bukan di pusat paroki, seperti lazimnya, melainkan di stasi-stasi. Kenapa? Jarak stasi dengan pusat paroki cukup jauh, demikian pula jarak antarstasi. Di paroki, menurutnya, ada banyak simpul kegiatan. Begitu pula di stasi dibuat seperti itu. Sebuah paroki disebut hidup apabila banyak kegiatan di tingkat stasi.

Hubungan pusat paroki dengan stasi diusahakan tetap terjaga lewat kunjungan pastor paroki dan unsur dewan pastoral paroki. Tentu ada risiko dan sisi negatifnya. Stasi-stasi bisa menganggap diri sebagai unit-unit kecil yang berdiri sendiri, tanpa kaitan dengan parokinya. Apalagi kebetulan umat di sejumlah stasi berlatar belakang paham yang mereka anut ketika mereka masih beragama Kristen Protestan. Untuk mengatasi kendala ini, selain ada sosialisasi tentang paroki dan kesatuan mereka dengan Gereja Katolik, diadakan kegiatan di tingkat paroki secara berkala, entah pada hari ulang tahun paroki atau pada hari raya seperti Natal dan Paskah. ”Karena itu, selama perayaan, selain kegiatan liturgis, diadakan pula kegiatan non-liturgis seperti lomba koor, cerdas cermat Kitab Suci dan kegiatan umum, misalnya olah raga dan lomba tarian tradisional,” kata Mgr Harjo.

Selain itu, menurut uskup yang ditahbiskan sebagai imam 6 Januari 1982 ini, berkat perkembangan infrastruktur, khususnya jalan yang menghubungkan antar stasi dan stasi dengan paroki, frekuensi kegiatan umat meningkat. Sistem “federasi” di sejumlah stasi dan paroki itu masih berlaku dan sesuai. Namun di paroki-paroki lain yang sudah berubah, sistem itu mulai ditinggalkan. Di beberapa paroki yang berada di pusat pemerintahan lokal, jumlah umatnya meningkat. Semula pusat paroki yang berfungsi sebagai tempat tinggal pastor paroki dan satu dua keluarga, telah berubah menjadi pusat kegiatan seperti stasi. ”Hal itu tampak juga dalam pola kunjungan saya ke paroki. Semula ketika berkunjung, saya mendatangi setiap stasi. Akhir-akhir ini saya mengunjungi tempat-tempat yang merupakan gabungan dari sejumlah stasi yang berdekatan,” kata Mgr Harjo dalam wawancara dengan HIDUP lewat surat elektronik, Senin, 16/3.

Berikut petikan wawancara selengkapnya:

Untuk pelayanan pastoral di Keuskupan Tanjung Selor yang wilayahnya cukup luas dengan tenaga imam yang sedikit, strategi apa yang dilakukan Bapak Uskup?

Penambahan tenaga pastoral, selain dengan meminta dari tarekat klerikal untuk menambah tenaga imamnya, kami juga menjalin kerjasama dengan beberapa keuskupan agar mereka “mengutus” imam diosesan mereka untuk berkarya di Keuskupan Tanjung Selor lewat sistem kontrak. Cara ini masih berlaku hingga sekarang dan masih perlu dilanjutkan, karena Keuskupan Tanjung Selor masih memerlukan tambahan tenaga imam. Selain itu, kami juga meningkatkan minat panggilan umat untuk menjadi imam diosesan. Bagi pihak imam yang diutus, ada kesempatan untuk memperluas wawasan pastoral dan mengembangkan sikap misioner. Terdengar informasi bahwa ada keuskupan yang mulai mempertimbangkan perlunya mengutus imam diosesan mereka untuk berkarya di keuskupan lain sebagai misionaris.

Usaha lain dalam jangka menengah dan panjang adalah mendirikan seminari menengah. Setelah lima tahun berdiri, sebagian besar siswa yang berhasil menyelesaikan pendidikan di seminari itu meneruskan panggilan sebagai calon imam diosesan. Kami juga mengundang tarekat-tarekat laikal, suster dan frater sebagai salah satu usaha untuk menambah tenaga pastoral. Dengan semakin banyaknya jumlah tarekat, diharapkan minat umat dalam menjawab panggilan hidup bakti juga akan tumbuh.

Salah satu cara yang lain adalah menambah tenaga pastoral awam. Kami memberi kesempatan kepada mereka yang lulus sekolah menengah tingkat atas untuk mengikuti program pendidikan guru agama di Sekolah Tinggi Pastoral Keuskupan Tanjung Selor, filial STP IPI Malang. Program ini telah menghasilkan cukup banyak katekis untuk mengajar agama di sekolah sekolah negeri maupun di paroki. Mengingat jumlah guru agama sudah memadai, dan kebetulan peminat masuk STP itu rendah, maka untuk sementara program itu dinon-aktifkan.

Strategi lain untuk menambah jumlah awam yang bisa terlibat untuk mengajar agama, adalah membekali guru-guru Katolik yang bekerja di sekolah negeri. Harus diakui bahwa tidak semua guru itu bersedia mengajar agama di sekolah tempat mereka mengajar. Setidaknya, usaha itu diharapkan dapat menjadi dorongan mereka untuk lebih aktif di stasi.

Di awal berdirinya, di wilayah Keuskupan Tanjung Selor marak terjadi eksploitasi hutan berupa penebangan hutan, kebun kelapa sawit dan pertambangan. Bagaimana langkah pastoral Keuskupan Tanjung Selor?

Pada masa awal berdirinya Keuskupan Tanjung Selor, kegiatan tambang dan pembukaan perkebunan sawit bisa dikatakan masih awal sekali. Dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup belum terasa. Tahun-tahun terakhir ini, kegiatan itu meningkat secara signifikan. Lahan perkebunan semakin luas, jumlah perusahaan tambang, khususnya batubara semakin banyak.

Situasi ekonomi umat, khususnya di pedalaman, mereka terbiasa menerima uang fee dari perusahaan ketika mereka menebang pohon di hutan adat mereka. Kini sulit sekali menyadarkan umat dan masyarakat untuk tidak melepaskan lahan mereka kepada perusahaan perkebunan atau pertambangan. Sebagian besar warga masyarakat pedalaman justru senang ketika perusahaan masuk. Mereka berharap bisa menerima uang banyak dari penjualan lahan mereka. Dan mereka hanya berharap bisa ikut bekerja di perusahaan itu. Inilah salah satu tantangan berat yang sampai sekarang belum bisa ditemukan jalan keluarnya.

Penyadaran dengan bermacam refleksi dan animasi telah dilakukan, tetapi kurang berhasil, karena ada perbedaan pandangan Gereja, khususnya mengenai pemberdayaan ekonomi melalui pengolahan lahan berbasis lingkungan, dengan pola pikir sebagian umat dan masyarakat yang sekadar praktis dan pragmatis karena mereka sudah merasakan “nikmat”-nya uang di tangan.

Fokus perhatian akhir-akhir ini bukan lagi menolak perluasan lahan perkebunan dan pertambangan, tetapi perlunya menegakkan keadilan, khususnya dalam penglepasan lahan dan sistem penggajian serta jaminan sosial. Pemilik lahan harus memastikan adanya dokumen tertulis dalam sewa-menyewa lahan dan harga yang memadai jika menjual. Sedangkan pekerja didorong untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka, sehingga selain memenuhi kewajiban seturut tuntutan perusahaan, mereka mendapatkan hak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kelompok-kelompok pekerja juga didorong untuk mendirikan serikat pekerja yang bisa menyuarakan aspirasi mereka.

Untuk menginspirasi masyarakat agar tak tergantung pada perusahaan, ada usaha penanaman kebun dengan tanaman produktif dan ramah lingkungan, seperti karet, buah-buahan dan tanaman keras untuk bahan bangunan. Usaha itu dimaksudkan agar mereka dapat berusaha mempertahankan lahan garapan dan mempersiapkan diri untuk masa depan melalui penanaman jenis pohon produktif, selain sawit, kayu kertas, atau sejenisnya.

Sebagai keuskupan yang wilayahnya berbatasan dengan Malaysia, Keuskupan Tanjung Selor menghadapi persoalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Usaha apa yang telah dilakukan Gereja dalam melayani para TKI yang beragama Katolik?

Sampai sekitar tahun 2003, yaitu masa awal Keuskupan Tanjung Selor, wilayah perbatasan, khususnya Nunukan, menjadi tempat transit TKI yang masuk atau keluar Sabah (Malaysia), karena belum banyak perkebunan berlahan luas yang membutuhkan tenaga kerja di Indonesia. Peran wilayah ini adalah menampung TKI yang akan masuk, dan keluar karena alasan-alasan tertentu atau tidak mau kembali ke daerah asal, karena masih tetap ingin masuk kembali dan bekerja di sana.

Ketika terjadi deportasi massal pada paruh kedua tahun 2002, begitu banyak deportant yang bertahan di Nunukan dan sempat menjadi berita hangat, bahkan menjadi berita dunia. Tahun-tahun selanjutnya tidak pernah terjadi lagi peristiwa seperti itu, meskipun mobilitas tenaga kerja yang keluar-masuk tetap tinggi. Untuk melayani TKI yang berada di daerah Sabah, dalam kerja sama dengan keuskupan tetangga, yaitu Keningau dan Kota Kinabalu (dan Sandakan yang didirikan tahun 2010), secara berkala ada imam Keuskupan Tanjung Selor yang melayani umat di sana. Sebagai salah satu cara membantu pasangan yang diberkati di daerah itu karena mengalami kesulitan mendapatkan surat nikah yang diakui Pemerintah Indonesia, pada 2004 didirikan paroki administratif di Nunukan. Paroki kategorial ini secara khusus mengurusi administrasi berkaitan dengan dokumen itu. Karena dirasa membantu banyak pekerja migran Katolik di daerah Sabah, kerjasama itu ditingkatkan dengan pertemuan bilateral tahunan.

Beberapa tahun terakhir ini, dengan peningkatan jumlah perusahaan dan lahan, perkebunan kelapa sawit dan kayu kertas, wilayah Keuskupan Tanjung Selor bukan lagi menjadi tempat transit, tetapi menjadi daerah tujuan pekerja migran. Sedemikian banyak pekerja migran itu, sehingga menimbulkan tantangan baru sekaligus lahan pastoral baru.

Pada bulan Oktober 2013 pernah diadakan pertemuan antara keuskupan asal tenaga kerja Katolik dengan keuskupan-keuskupan tujuan, bersama Keuskupan Tanjungselor yang waktu itu dianggap sebagai keuskupan transit. Pertemuan pertama itu dimaksudkan untuk berbagi gambaran di masing masing keuskupan, entah sebagai keuskupan asal atau tujuan. Lewat pertemuan itu, diharapkan kedua belah pihak saling mengerti situasi, bukan dari cerita, melainkan dari sumber terpercaya yaitu keuskupan-keuskupan dengan harapan kerjasama itu akan semakin tertata dan berkembang.

Sebagai daerah tujuan baru, semakin banyak pekerja migran masuk ke wilayah Keuskupan Tanjungselor. Sebagian dari mereka beragama Katolik. Kedatangan mereka menambah jumlah umat Keuskupan Tanjung Selor. Selain pelayanan sakramen, disampaikan juga penyadaran tentang hak-hak mereka sebagai pekerja dan perlunya integrasi dengan masyarakat setempat. Hasilnya tak sama. Integrasi dengan umat setempat terjadi di beberapa paroki, sedang di banyak tempat masih berproses. Selain sebagian besar tempat tinggal mereka jauh dari perkampungan setempat, yaitu di kamp-kamp, masih ada sebagian kelompok yang merasa aman hanya saat bersama dengan kelompok serupa, entah seprofesi, atau sedaerah asal. Sikap seperti itu juga berlaku bagi sebagian masyarakat.

Dari berbagai strategi penggembalaan di Keuskupan Tanjug Selor, buah karya apa yang dapat dipraktikkan di Keuskupan Agung Samarinda?

Banyak kesamaan antara situasi dan lahan pastoral Keuskupan Tanjung Selor dan Keuskupan Agung Samarinda, meskipun tetap ada perbedaan. Selain terdiri dari banyak suku setempat, banyak pula pendatang termasuk pekerja migran. Secara geografis, banyak keserupaan pula, a.l. luas daerahnya dan kontur secara geografis. Terbatasnya tenaga pastoral juga dialami Keuskupan Samarinda.

Yang berbeda adalah letak Keuskupan Agung Samarinda yang tidak berbatasan dengan negara lain. Karena itu, sambil mengenal keuskupan ini, pengalaman penggembalaan di Keuskupan Tanjung Selor merupakan bekal untuk melayani umat Keuskupan Agung Samarinda. Yang juga membedakan adalah bagaimana mengelola reksa pastoral dengan tenaga pastoral, baik tertahbis maupun tidak tertahbis di lahan yang luas dengan jumlah umat Katolik dua kali lipat dibanding KTS. Hal-hal serupa yang sudah berjalan dengan baik, kiranya tinggal melanjutkan.

A. Nendro Saputro

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here