Suami Menganggur Keluarga Jadi Sasaran

760
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Pengasuh yang terkasih, saya menikah enam tahun lalu dan sudah dikarunia dua putra. Dua anak kami masih balita. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya bekerja dari pukul 06.00 hingga 21.00, di dua tempat. Semua ini saya lakukan karena suami saya tidak bekerja.

Suami saya aktif mengikuti misa dan berdoa setiap hari. Sayangnya, ia menyebut saya bodoh karena hanya sibuk bekerja dan memikirkan uang. Ia juga sering marah dan memukul anak-anak. Dengan penuh kesabaran, saya beberapa kali mengajaknya untuk ikut konseling keluarga, namun ia tak mau.

Kepada kenalan dan teman-temannya, ia mengaku bekerja membanting tulang untuk biaya sekolah anak-anak. Padahal, ia menjual perhiasan. Bahkan uang tabungan anak-anak pun digunakannya. Ketika saya tanya, ia menjawab bahwa uang itu dipakai untuk kebutuhan keluarga.

Saya sudah berusaha memperbaiki kondisi ini dan berulangkali berkomunikasi dengannya. Namun, hasilnya nihil. Ia selalu marah tanpa alasan jelas. Setiap pagi saya berangkat kerja dengan perasaan khawatir meninggalkan anak-anak bersamanya. Sekarang saya menghadapi situasi dilematik untuk mempertahankan pernikahan kami.

Setiap hari saya berdoa Rosario mendoakan suami, namun keadaan kami tak kunjung membaik. Melihat kondisi ini, keluarga besar pun tak mau bertindak menghadapi ulahnya.

Saya benar-benar putus asa. Mohon saran dan masukan. Terima kasih.

Rosa, Jakarta

Berkah Dalem Ibu Rosa! Membaca dan memahami permasalahan yang Ibu kemukakan, tampaknya kondisi keharmonisan keluarga Ibu sangat mengkhawatirkan. Kami sendiri ikut merasa cemas dan prihatin atas kondisi itu. Perlakuan kasar suami terhadap anak-anak tentu sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mereka jika tidak segera diatasi.

Di sisi lain, kami salut terhadap Ibu, karena tidak mengenal putus asa untuk menyadarkan suami, baik dengan cara mengajaknya untuk ikut konseling keluarga, berkomunikasi secara baik-baik, dan berdoa Rosario, serta kemungkinan usaha lain yang tak disebutkan dalam rubrik keluarga ini. Ibu mengaku bahwa usaha tersebut rasanya sia-sia dan tidak memberikan harapan sama sekali. Akan tetapi, kami yakin bahwa tidak ada usaha yang sia-sia. Segala usaha ada hasil dan nantinya pasti indah pada waktunya.

Setelah kami cermati kisah yang ibu sampaikan, tampaknya suami Ibu merasa diri yang paling benar, kurang bisa merasakan perasaan orang lain (empati), terutama terhadap Ibu dan anak-anak. Ia juga selalu mencari perhatian orang lain untuk mendapat dukungan, agar orang lain tahu bahwa ia sebagai suami/bapak yang baik bagi istri dan anak-anaknya.

Sebaliknya, Ibu sendiri takut untuk bersikap tegas, lebih suka mengalah daripada ribut, serta mengkhawatirkan anak-anak. Dengan kelemahan-kelemahan yang ada pada Ibu, suami menjadi lebih berani meskipun salah. Namun apapun permasalahannya, kelihatannya suami Ibu sudah tidak dapat berpikir “sehat” dan sudah mengganggu keharmonisan rumah tangga.

Satu hal yang belum kami ketahui, apakah Ibu pernah mengkomunikasikan permasalahan tersebut kepada Pastor Paroki atau Tim Pendamping Perkawinan untuk konseling. Kalau belum, kami sarankan Ibu segera datang ke Romo atau Tim Pendamping Perkawinan untuk mencari penyelesaian, atau minta pendampingan berkaitan dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Tentunya, tidak usah bersama/menunggu suami. Karena, kami yakin suami tidak akan bersedia, karena ia merasa tidak punya masalah. Ibu datang sendiri dan utarakan permasalahan keluarga Ibu.

Kami menyarankan hal ini karena melihat suami Ibu masih menghargai keberadaan Gereja daripada pihak lain (psikolog, konselor perkawinan). Hal itu terlihat dari aktivitasnya, yakni mengikuti misa dan berdoa setiap hari. Dan, tentunya kalau dipanggil pihak Gereja (Romo atau Tim Pendamping Perkawinan) harapannya, ia punya perhatian atau kesediaan untuk datang. Atau sebaliknya, jika pihak Gereja mendatangi rumah untuk bertemu, suami tidak akan bisa menghindar.

Haryo Goeritno

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here