Melanjutkan Hidup, Berkalung Harapan

797
Dukungan Keluarga: Bu Yati bersama dengan suami dan dua putri mereka.
[HIDUP/Fr Yohanes Mega Hendarto SJ]
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Tubuh yang rapuh tak menghalanginya untuk bekerja demi keluarga. Kesembuhan ia nanti, tetapi kunjung datang. Dukungan dan kasih dari orang-orang sekitar membuatnya tak patah arang.

Deretan rumah kecil di tepi jalan menuju Gereja Paroki Hati Kudus, Kramat, Jakarta Pusat, sering luput dari perhatian mereka yang bergegas ke gereja. Di sanalah tinggal sepasang suami istri dengan kedua anak perempuannya.

Bangunan rumahnya tidak besar. Ketika hujan deras, lantai rumahnya basah oleh tetesan air dari langit- langit rumah. Bahkan, cipratan air masuk ke rumah tatkala mobil melintas menerjang genangan air di jalan berlubang depan rumahnya.

Di rumah itulah keluarga Rosalia Mariati tinggal, sejak 18 Maret 2013. Sebelumnya, mereka tinggal di Tangerang. Mereka pindah setelah mendapat bantuan rumah dari Romo Y.D. Dedi Kurniadi OFM, yang kala itu menjadi Pimpinan Yayasan Panti Asuhan St Vincentius Putra Jakarta. Karena faktor kesehatan Bu Yati, Romo Dedi tergerak memberikan rumah yang dekat dengan tempatnya. Bu Yati bekerja di Panti Asuhan Vincentius Putra Kramat.

Walaupun sakit mendera tubuhnya, Bu Yati tetap berusaha untuk terus bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga dan membiayai sekolah dua putrinya. Sementara keinginan untuk sembuh tetap hidup di hatinya.

Sakit “Anggur”
Pada 1990, perempuan kelahiran 18 September 1962 ini bekerja sebagai pengajar di SMP Kasih Bunda Matraman, Jakarta Timur. Pada waktu yang bersamaan, ia juga menjadi pengasuh anak-anak di Panti Asuhan Vincentius Putra Kramat. Waktu itu, selain untuk membiayai hidup diri sendiri, ia juga membiayai empat adiknya yang tinggal di Sleman, DI Yogyakarta. Karena tidak ingin menghamba kepada dua tuan, akhirnya Bu Yati memilih hanya menjadi pengasuh dan tinggal di asrama panti.

Saat itu, perempuan yang pernah mengenyam pendidikan Sekolah Pendidikan Guru di SPKI Matraman ini masih lajang. Sehari-hari ia menjadi pengasuh yang mendampingi anak-anak usia SMP. Di masa inilah ia menerima Sakramen Baptis, karena kedekatannya dengan saudara yang Katolik. Sebelumnya ia sudah terlibat dalam kegiatan kaum muda.

Suatu hari, Bu Yati merasakan nyeri. Sebenarnya, ia pernah merasakan rasa nyeri itu sejak duduk di bangku sekolah dasar. Namun, ia menganggapnya sakit biasa, dan akan sembuh dengan sendirinya. Di Jakarta, rasa nyeri itu kian menjadi. Bahkan, darah keluar ketika ia buang air kecil.

Bu Yati bergegas ke Rumah Sakit Sint Carolus Jakarta. Dari hasil USG, dokter mengatakan bahwa ada kista yang berbentuk seperti buah anggur di kedua ginjalnya. Ia pun harus mengkonsumsi obat-obatan untuk meredakan rasa sakit yang menderanya.

Kondisi paling parah ia rasakan pada 1998, hingga ia harus beristirahat satu bulan. Ia menjalani perawatan di rumah sakit selama dua minggu.

Pada 1999, Bu Yati menikah dengan Sukahati, asal Nias, Sumatra Utara. Mereka dianugerahi dua anak: Maria Aprilia yang lahir pada 2002 dan Katarina Melinda Citra yang lahir empat tahun kemudian. Bu Yati menjalani hari demi hari bersama keluarga di rumah mereka di Tangerang, Banten.

Pada Januari 2013, kondisi kesehatan Bu Yati kembali drop. Kakinya kerap membengkak, dan perutnya membesar seperti sedang hamil. Bu Yati merasa tersiksa. Hingga Februari, ia masih bisa menahan rasa sakit itu. Sebulan berselang, ia merasakan sakit yang begitu hebat. Selama beberapa hari ia tidak bekerja. Pimpinan Yayasan Panti Asuhan Vincentius Putra Romo Dedi menjenguknya. Kemudian Bu Yati dihantar ke Rumah Sakit Sint Carolus dan mendapat perawatan selama seminggu.

Cuci darah adalah satu-satunya cara agar Bu Yati dapat bertahan hidup. Ia bingung dan resah. Biaya cuci darah terbilang mahal. Di sisi lain, Bu Yati harus memikirkan biaya hidup dan sekolah kedua anaknya. Sementara sang suami tidak punya penghasilan tetap.

Di tengah kebimbangan yang menyelimuti, lembaga tempat ia bekerja menawarkan bantuan untuk biaya cuci darah. Bu Yati harus menjalani cuci darah dua kali dalam seminggu. Ia juga mendapat bantuan tempat tinggal di sebelah Panti Asuhan Vincentius.

“Saat itu air mata saya terurai berkat kebaikan Tuhan yang saya rasakan dari mereka yang bersedia membantu,” kenangnya.

Terus Berharap
Bu Yati mengungkapkan, ia bersyukur atas kebaikan Tuhan melalui orang-orang sekitar. Ia juga bersyukur atas anugerah dua buah hatinya. “Saya tahu bahwa seorang penderita kista seringkali sulit mendapatkan keturunan. Lahirnya kedua putri ini menyadarkan saya akan anugerah terindah dari Tuhan,” kata perempuan yang pernah mengalami keguguran ketika mengandung anaknya yang pertama.

Sakit masih mendera, Bu Yati tetap menjaga semangatnya untuk bekerja sebagai pengasuh anak-anak panti asuhan. Ia menjalani rutinitas hidup: bangun pagi, berdoa bersama anak-anak panti, membersihkan lingkungan, memberi perhatian kepada setiap anak, dan pulang sore hari.

Di sela-sela rutinitas itu, setiap Rabu dan Sabtu, ia menjalani cuci darah. Tak jarang ia jatuh pingsan. “Tubuh saya sering merasa dingin dan ringan hingga tak sadarkan diri,” ungkap Bu Yati sambil menunjukkan bekas tusukan-tusukan jarum di kedua lengannya.

Bu Yati ingin terus bekerja demi keluarganya. Ia juga ingin memberikan diri dalam pekerjaannya dengan mendampingi anak-anak di panti asuhan. Ia panjatkan doa dan harapan kepada Tuhan.

Bu Yati memasrahkan diri kepada kehendak dan belas kasih Tuhan. Ia mengungkapkan, “Mungkin, belum waktunya Tuhan memberikan mukjizat kesembuhan kepada saya, tetapi saya tidak lelah untuk terus berharap dan berdoa.”

Fr Yohanes Mega Hendarto SJ

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here