Apakah Perkawinan Harus Seiman?

1980
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Saya sudah berusaha mencari pacar yang Katolik, tetapi sudah beberapa kali justru merasa tidak cocok dengan kepribadian teman-teman itu. Pribadi yang saya cocok justru kebetulan bukan Katolik. Apakah orang Katolik tidak boleh menikah dengan orang bukan Katolik? Mengapa harus seiman?

Cecilia Yati Indrakusuma, Surabaya

Pertama, tidak benar bahwa orang Katolik tidak boleh menikah dengan orang non Katolik. Tetapi memang benar bahwa Gereja sangat mengharapkan bahwa anak-anaknya memilih pasangan yang seiman, karena iman mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kesatuan lahir batin suami-istri, kesatuan keluarga, pendidikan anak, dan kesejahteraan keluarga. Perbedaan agama seringkali membawa perbedaan konsep tentang perkawinan, tentang peran timbal balik antara suami dan istri, dan juga tentang peran orangtua terhadap anak.

Dalam perkawinan, persekutuan hidup dan cinta kasih perlu diwujudkan, bukan hanya secara fisik lahiriah, melainkan juga meliputi aspek kejiwaan dan rohani. Pada dasarnya persekutuan suami istri terjadi jika masing-masing memberikan diri secara menyeluruh tanpa ada hambatan, baik dari aspek yang lahiriah, batiniah, maupun rohani. Kesatuan hati yang total itu akan dipermudah jika ada kesamaan pengertian rohani dari apa yang diimani. Di samping itu, perlu diingat ada norma moral dasar bahwa setiap orang dilarang melakukan sesuatu yang bisa membahayakan imannya. Iman adalah harta yang sangat bernilai, yang harus dilindungi dengan kesungguhan hati dan usaha yang serius.

Kedua, mengingat peran penting dan nilai luhur dari iman ini dalam persekutuan suami istri, Gereja menghendaki agar anak-anaknya tidak melakukan perkawinan campur, yaitu menikah dengan orang non-Katolik, baik yang dibaptis Kristen tetapi non- Katolik (disebut beda Gereja, Lat. mixta religio), maupun dengan orang yang tidak dibaptis (disebut beda agama, Lat. disparitas cultus). Kitab Hukum Gereja menyatakan, “Perkawinan antara dua orang, yang di antaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah.” (KHK Kan 1086, # 1).

Namun demikian, pernikahan antara orang Katolik dan orang yang dibaptis Kristen non-Katolik (mixta religio) dapat disahkan jika mendapat ijin dari Uskup (KHK Kan 1124). Ijin adalah persetujuan Uskup agar seseorang dapat berbuat secara halal sesuai dengan hukum. Gereja Kristen yang dimaksud di sini ialah Gereja-Gereja yang berada di bawah Persekutuan Gereja-gereja di Indonedia (PGI). Gereja-gereja Pentekosta, Adven, Bethel, dan denominasi lain yang tidak termasuk dalam PGI dianggap sebagai beda agama.

Pernikahan antara orang Katolik dan orang yang tidak dibaptis (disparitas cultus) dapat disahkan bila mendapatkan dispensasi dari Uskup, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal serta memenuhi syarat-syarat seperti yang diatur dalam KHK Kan 1125 dan 1126 (bdk. KHK Kan 1086 #2). Pernikahan orang Katolik dengan calon Katolik (katekumen) atau simpatisan dianggap sebagai pernikahan beda agama.

Dispensasi ialah kelonggaran yang diberikan Uskup demi kesejahteraan rohani umat dalam suatu kasus hukum. Dispensasi perkawinan campur beda agama diberikan kalau pihak Katolik mau menghayati imannya dengan baik dan mau membaptiskan serta mendidik anak-anaknya secara Katolik. Sesudah mendapatkan dispensasi, perkawinan menjadi sah, namun perkawinan itu bukan perkawinan sakramental, karena pasangannya tidak dibaptis dan karena itu perkawinan mereka belumlah sakramen.

Petrus Maria Handoko CM

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here