Sukacita Imamat dalam Keheningan Rawaseneng

1166
Tahbisan OCSO: Mgr Pujasumarta, Romo Abas Gonzaga, serta para imam mendoakan dua tertahbis.
[HIDUP/Y. Prayogo]
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Dua rahib Trappist menerima Sakramen Imamat. Sebuah peristiwa yang jarang terjadi. Bagi Ordo Cisterciensis Strictioris Obsevantiae (OCSO), panggilan imamat merupakan pelayanan khusus.

Mata A.R. Supardi berkaca-kaca. Sekali-sekali, ia harus melepaskan kacamata, lalu menyeka air yang menggenang di pelupuk matanya. Ia pun berkata terbata-bata. Supardi tak kuasa membendung rasa yang menumpuk dalam hati. “Saya sangat bersukacita hari ini!” ucapnya. Hari itu, Supardi seperti telah membayar tuntas janjinya bersama sang istri yang telah dipanggil Bapa ke surga.

Setelah memiliki dua anak perempuan, Supardi dan istrinya merencanakan anak ketiga. Mereka berharap anak ketiganya laki-laki. Namun, rencana itu tak kunjung terwujud. Sampai kemudian, mereka memutuskan bertekun dalam doa dan bermatiraga demi mendapat anak laki-laki. Meski doa didaraskan dan matiraga dijalankan, rencana tak serta-merta datang. Mereka hampir putus asa. Hingga suatu hari, Supardi dan sang istri mengucap janji. “Jika kami punya anak laki-laki, akan kami persembahkan kepada Tuhan.”

Doa mereka terjawab. Pada 21 November 1983, mereka dikarunia buah hati berjenis kelamin laki-laki. Bayi laki-laki itu diberi nama Antonius Anjar Daniadi. Seiring waktu, janji Supardi dan istri mewujud. Benih panggilan tumbuh subur dalam benak sang putra. Tapi, sang ibu kadang risau dengan panggilan yang dipilih Anton. Apalagi kemudian Anton memilih menjadi rahib Ordo Cisterciensis Strictioris Obsevantiae (OCSO) atau Trappist di Pertapaan St Maria Rawaseneng, Temanggung, Jawa Tengah. Namun Supardi terus menguatkan serta mengingatkan sang istri akan janji mereka sebelum Anton lahir. “Sepertinya Anton memang sudah dipanggil Allah sebelum ia dilahirkan,” ujar Supardi penuh sukacita.

Doa keluarga
Cahaya sukacita juga terpancar dari wajah tiga saudara kandung Romo Maximilianus Slamet Widodo OCSO. Kakak tertua Romo Maxi, Adji Widhiarso, mengatakan, “Saya sangat-sangat bahagia hari ini!”

Adji sebenarnya tak pernah mengira, adiknya dipanggil menjadi seorang imam, apalagi menjadi imam OCSO. Tapi ingatannya lalu melayang ke masa lampau. Suatu hari, ketika Maxi sedang menempuh belajar di Seminari Menengah St Petrus Canisius Mertoyudan, Adji pernah menyeletuk, “Besok kamu masuk Rawa seneng saja!” Ucapan itu terlontar spontan, lantaran Adji baru saja membaca buku tentang biara kontemplatif. Ternyata, ucapan spontan itu bagaikan doa bagi sang adik. “Saya sama sekali tidak mengira, kalau dia kemudian terpanggil masuk ke biara Rawaseneng ini,” ucap Adji.

Romo Maxi anak ketiga dari empat bersaudara, buah cinta pasangan Agnes Musrifah dan Albertus Sudaryanto. Sang bunda telah tiada sembilan tahun silam dan sang ayah meninggal dua tahun lalu.

Sebelum dibaptis, keluarga Romo Maxi penganut Islam. Romo Maxi di baptis ketika berusia 14 tahun. “Saya berterima kasih dan bersyukur, karena perjuangan dan jerih lelah orangtua, saya diperkenalkan dengan iman kristiani, yang secara tidak langsung, juga memperkenalkan saya dengan hidup panggilan,” tutur Romo Maxi.

Romo Maxi juga mengudar pernak-pernik kisah yang mengiringi panggilannya sebagai imam OCSO. Kala di Seminari Mertoyudan, ia pernah diolok-olok seorang romo pamong, lantaran suaranya selalu sumbang. “Saya menyanyi prefasi sebanyak tujuh kali dan tidak bisa-bisa,” kisahnya. Lalu, sang romo pamong mengoloknya, “Katanya kamu mau masuk Rawaseneng, tapi kok tidak bisa menyanyi.” “Saya ingin berdoa, Romo, bukan jadi penyanyi!” ucap Romo Maxi.

Saat kuliah teologi di Fakultas Teologi Wedhabakti Yogyakarta, Romo Maxi dan Romo Anton juga kerap diolok-olok para pengajarnya. “Sudah meres susu belum?” Demikian para pengajar kerap mengolok mereka berdua. Olok-olok itu disampaikan dengan nada bercanda penuh persaudaraan. Memerah susu sapi merupakan salah satu kerja tangan para kerahib OCSO di Pertapaan Rawaseneng. Pertapaan ini memiliki sekitar 120 ekor sapi.

Sukacita imamat
Sukacita, doa, rasa syukur, dan persaudaraan itu melebur dan menyatu dalam perayaan Ekaristi tahbisan imamat yang digelar di Kapel Pertapaan Trappist St Maria Rawaseneng, Minggu, 25/1. Pagi itu, mentari bersinar amat cerah, secerah wajah para rahib yang menyambut umat di muka kapel. Mengenakan jubah yang khas, mereka menyambut tetamu dibantu beberapa umat yang tinggal di sekitar pertapaan, yang sebagian besar adalah karyawan pertapaan.

Umat terus mengalir, memenuhi kapel yang baru selesai direnovasi dua tahun lalu. Umat datang dari berbagai tempat; Temanggung, Yogyakarta, Salatiga, Semarang, bahkan dari Jakarta. Para imam, biarawan dan biarawati juga turut memenuhi kapel. Sekitar 700 umat menghadiri perayaan penuh syukur ini. Di antara mereka, tampak Uskup Agung Emeritus Jakarta Kardinal Julius Darmaatmadja SJ dan Abdis Pertapaan Trappist Gedono Ibu Martha E. Driscoll OCSO.

Tepat pukul 10.00 WIB, lonceng berdentang keras. Keheningan menyelimut, mengiringi angin pegunungan yang tersapu sepoi-sepoi. Putra altar, para imam, dua tertahbis, Pemimpin Pertapaan Rawaseneng Romo Abas Gonzaga Rudiyat OCSO, serta Uskup Agung Semarang Mgr Johannes Pujasumarta, berarak menuju altar. Perayaan Ekaristi berlangsung khidmat.

Ritual tahbisan imam seperti pada umumnya upacara penerimaan Sakramen Imamat. Yang berbeda hanya dalam rumusan janji imamat. Rumusan itu berbunyi, “Berjanjikah Saudara untuk hormat dan taat kepada Romo Abas, pemimpin Anda, dan para penggantinya?” Kedua calon imam pun menjawab, “Kami berjanji!”

Tugas perutusan imam OCSO ditentukan oleh Romo Abas. Semua rahib dalam komunitas Trappist taat kepada Romo Abas. Seorang Abas harus imam. Ia dipilih dalam Kapitel Conventual yang diikuti seluruh anggota pertapaan yang telah mengucap kaul kekal atau kaul agung. Romo Abas yang terpilih dalam kapitel diberkati oleh seorang uskup. Seperti uskup, Romo Abas juga memiliki cincin keabasan, mitra, serta tongkat gembala.

Tahbisan imamat bagi rahib Trappist merupakan panggilan pelayanan khusus, terutama pelayanan sakramen dalam komunitas pertapaan. Tahbisan imamat sangat jarang terjadi di biara Trappist. Tahbisan terakhir di Pertapaan Rawaseneng berlangsung sekitar lima tahun silam. Para rahib yang biasa disapa frater ini memang dipanggil melayani Gereja dalam kehidupan doa.

Dengan tahbisan dua imam baru ini, komunitas Pertapaan Rawaseneng memiliki enam imam, termasuk Romo Abas Gonzaga. Namun yang melayani di Pertapaan Rawaseneng hanya empat imam, karena satu imam berkarya di Pertapaan Trappist Lamanabi, Keuskupan Larantuka, Nusa Tenggara Timur, dan satu imam sedang menjalani tugas perutusan belajar di Irlandia.

Kedua tertahbis memilih motto tahbisan “Love never gives us” yang dikutip dari 1Kor 13:8. “Tahbisan suci ini bisa terlaksana berkat cinta dan kasih Allah. Allah tak pernah lelah dan menyerah mencintai kami, dan terus memanggil kami. Kasih Nya pantang menyerah.

Kasih-Nya tak pernah lelah mendampingi dan membimbing dalam rentang hidup kami dan selanjutnya nanti,” tutur Romo Maxi usai upacara tahbisan.

Romo Maxi dan Romo Anton juga berharap, agar umat berdoa bagi panggilan mereka. “Kami mohon doa umat, agar kami bisa selalu mengucap, ‘Ya, terjadilah kepadaku menurut perkataan-Mu! Nggih, sumonggo Gusti!’”

Misa perdana
Keesokan pagi, Senin, 26/1, kedua imam baru menggelar perayaan Ekaristi perdana di Kapel Pertapaan Rawaseneng. Kali ini suasana amat berbeda. Umat yang mengikuti perayaan Ekaristi hanya 24 orang ditambah sekitar 20 rahib. Romo Abas Gonzaga mendampingi dua imam baru ini.

Meski hanya dihadiri segelintir umat, hari itu merupakan hari yang istimewa bagi panggilan hidup kerahiban. Pada hari itu, Gereja merayakan pesta nama St Robertus, St Alberikus, dan St Stefanus Harding. Ketiga orang kudus ini adalah para tokoh pembaru hidup kerahiban yang berasal dari Biara Molesme, Perancis.

Menatap keutamaan tiga orang kudus ini, Romo Maxi mengajak para rahib serta umat, agar selalu berserah dan bersandar kepada Allah. “Ketiga orang kudus ini memberikan keutamaan hidup yang setia berserah kepada kehendak Allah,” katanya.

Usai perayaan Ekaristi perdana, kedua imam baru bersama para rahib yang lain kembali bertekun dalam rutinitas harian. Mereka kembali bekerja tangan dan hidup dalam keheningan doa, menyerahkan karya dan doa kedalam tangan Allah dengan penuh sukacita.

Maximilianus Slamet Widodo OCSO
TTL : Semarang, 14 Agustus 1978
Asal Paroki : Paroki St Paulus Sedangguwo, Semarang, Jawa Tengah
Masuk biara : 17 Oktober 2001
Novis pertama : 13 November 2002
Kaul pertama : 13 November 2004
Kaul agung : 11 November 2007
Studi Teologi : 2009-2013
Lektor dan Akolit : 10 Agustus 2014
Tahbisan Diakon : 26 November 2014

Antonius Anjar Daniadi OCSO
TTL : Semarang, 21 November 1983
Asal Paroki : Paroki St Paulus Sedangguwo, Semarang, Jawa Tengah
Masuk biara : 1 Januari 2004
Novis pertama : 8 Desember 2004
Kaul pertama : 8 Desember 2006
Kaul agung : 8 Desember 2009
Studi Teologi : 2009-2013
Lektor dan Akolit : 10 Agustus 2014
Tahbisan Diakon : 26 November 2014

Y. Prayogo

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here