Gugatan dalam Keluarga

117
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Apa perasaan kita saat membaca berita seorang nenek berusia 90 tahun di Tangerang digugat perdata oleh anak dan menantu menyangkut lahan milik keluarga? Sementara di Jawa Tengah, pasangan suami istri yang telah renta terancam terusir dari rumah jika kalah dalam peradilan perdata melawan anak dan menantu sendiri?

Trenyuh. Hampir pasti, itu perasaan kita mengetahui berita sejenis. Kecenderungan saling gugat antar keluarga intim atau batih, relatif sudah lama dan sering terjadi dalam komunitas Tionghoa. Dewasa ini, kecenderungan serupa disusul oleh komunitas lain, terutama yang tinggal di daerah perkotaan.

Hukum pada dasarnya mekanisme ultimum remedium atau upaya akhir dan puncak. Hukum diharapkan hanya bekerja jika seluruh mekanisme penyelesai masalah yang lebih ringan atau nonformal tidak lagi berjalan. Mengapa demikian? Mengingat hukum memiliki kelebihan, tetapi juga kekuatan.

Kelebihan hukum bersifat memaksa, putusannya mengikat warga negara. Jika musyawarah gagal dilakukan, hukum adalah pamungkas. Tetapi, kekurangan hukum adalah bersifat membelah, mengingat yang dicari adalah siapa benar dan salah. Masalahnya, kondisi 100 persen salah dan 100 persen benar hampir tak pernah terjadi dalam kehidupan nyata. Lebih parah, yang salah secara hukum kemudian dihukum. Benarkah ada yang berubah dalam keluarga Indonesia?

Para ahli psikologi keluarga menyoroti faktor menantu. Mereka orang baru dalam keluarga, yang kemungkinan tidak memiliki intimitas yang sama dengan keluarga batih, walau telah menikah dengan anak dalam keluarga sejak lama. Maka, pertimbangan yang rasional dan dingin bisa lebih mungkin muncul dari para menantu, kemudian ditularkan kepada pasangan, dan terjadilah fenomena aneh berupa, antara lain gugatan kepada orangtua sendiri. Tetapi bukan tidak mungkin anak sendiri yang bermasalah. Dalam masyarakat dari kalangan bawah, beberapa kali kita mendengar anak melakukan kekerasan kepada orangtua sendiri. Bukan tidak mungkin, kekerasan dalam bentuk yang lebih subtil  terjadi dan dilakukan anak dari keluarga menengah atas.

Singkatnya, terdapat indikasi bahwa keluarga Indonesia, kini sedang berubah. Kohesi dalam keluarga merenggang, kehangatan berkurang, apalagi saling ketergantungan. Sehingga, setiap kali ada masalah, anggota keluarga relatif mudah mengambil pola pikir saat berhadapan dengan orang lain. Itu yang disebut pola pikir untung-rugi dan menangkalah. Orangtua atau sesama saudara kemudian dilihat sebagai musuh yang harus dikalahkan.

Di pihak lain, dunia hukum Indonesia memang aktif membenahi diri sehingga lebih mudah diakses publik di mana saja, lebih transparan proses dan putusannya. Ada kemungkinan, hal itu mendorong banyak pihak untuk lebih berani membawa suatu masalah ke depan hukum. Di pihak lain, praktisi hukum tidak bisa menolak jika ada pihak yang lebih mempercayakan hukum sebagai penyelesai masalah, walaupun hakim pada umumnya akan mengajak semua pihak untuk terlebih dahulu menyelesaikan sengeketa secara kekeluargaan.

Ironinya, cara kekeluargaan, bagi beberapa orang, kini mulai ditinggalkan. Anak muda berpendidikan tinggi dan berpenghasilan besar kemungkinan menganggap dialog dalam keluarga sebagai dialog bohongan, karena pasti pendapat orangtua yang harus didengar dan dijalankan. Sebaliknya, orangtua menganggap anak tidak bisa berkomunikasi dengan gelombang yang sama. Akibatnya, dead-lock terjadi.

Jika dicari penyebab, kita biasa menuding televisi, gadget, tekanan pekerjaan, kemacetan lalu lintas, dan orientasi materi yang tinggi. Seolah-olah manusia demikian dungu saat berhadapan dengan hal tersebut, sehingga tidak mampu menghindar dan pasti terjebak. Semoga, fenomena di atas tidak terjadi dalam keluarga-keluarga Katolik yang tentu selalu menghadirkan kehangatan dan kasih di antara anggota keluarga.

Adrianus Meliala

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here