Perantau Jawa Katolik di Pematangsiantar

2066
Anggota Pasjakat usai Pesta 50 Tahun Pasjakat.
[NN/Dok.Pasjakat]
3.3/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Komunitas orang Jawa Katolik ini dikumpulkan oleh para Imam Karmelit dari Jawa Timur. Sudah ada sejak 50 tahun lalu.

Ada hal yang tak biasa terjadi di Seminari Tinggi St Petrus Pematangsiantar, Sumatera Utara awal Mei 2017. Di sana berkumpul beberapa umat memakai pakaian tradisional Jawa, pemandangan tidak biasa di daerah dengan budaya Batak yang sangat kental. Ketika itu, berlangsung perayaan Ekaristi inkulturasi Jawa yang juga menampilkan tarian Jawa dan lagu-lagu keroncong yang dimainkan para frater asal Keuskupan Agung Palembang dan Keuskupan Tanjungkarang yang berlatar suku Jawa.

Misa ini adalah Perayaan 50 tahun berdirinya Paguyuban Sederek Jawi Katolik (Pasjakat). Pendamping Pasjakat Romo St. Toto Pujiwahyulistanto memimpin Misa didampingi Romo Yusuf Warsito Adi, Romo Antonius Suhendri, dan Romo F.X. Hardiono.

Pasjakat menjadi wadah bertemunya umat Katolik yang berasal dari Pulau Jawa yang tinggal di sekitar Pematangsiantar. Di dalam komunitas ini, umat Katolik Jawa saling menguatkan dan semakin berkembang dalam imam. Ketua Pasjakat Ignatius Joko Pitoyo mengajak anggota komunitas untuk tekun bekerjasama dalam memajukan dan mengembangkan persaudaraan.

Berkat Karmelit
Pada 1967, di sekitar Pematangsiantar sudah banyak terdapat umat Katolik yang berlatar belakang suku Jawa. Mereka umumnya adalah pekerja di perkebunan karet dan kelapa sawit, yang sejak masa pendudukan Belanda sudah mulai dibuka di banyak tempat di Sumatera. Tempat tinggal yang saling terpisah jauh, menjadi halangan bagi umat Katolik Jawa ini untuk rutin bertemu. Beruntung, memasuki 1964, Ordo Karmelit Indonesia (Ordo Fratrum Beatissimae Virginis Mariae de Monte Carmelo) mendirikan Seminari Agung di Pematangsiantar. Seminari itu hijrah dari Malang ke Pematangsiantar karena situasinya terganggu dengan tekanan orang-orang Partai Komunis Indonesia yang kala itu berjaya.

Romo Fransiskus Xaverius Hadisumarta OCarm yang ketika itu menjadi formator seminari, melihat keberadaan umat Katolik dari Jawa yang hidup di daerah terpencil. Ia berharap umat yang terpencil itu bisa sering bertemu untuk saling membantu dan meneguhkan satu sama lain.

Pada Desember 1966, para imam Karmelit mengundang orang-orang Jawa di Pematangsiantar untuk merayakan Natal di Biara Seminari. Melihat kehadiran umat Jawa Katolik dalam perayaan itu, Romo Hadisumarta mengusulkan untuk membentuk wadah perkumpulan umat Jawa Katolik.

Inilah awal berdirinya Pasjakat, yang bersifat merasul dan membina iman kekatolikan. Selain Romo Hadisumarta yang kemudian menjadi Uskup Malang dan lalu Uskup Manokwari-Sorong, masih ada Romo Molling OCarm, dan Romo Konning OCarm yang antusias membina iman umat Katolik dari Jawa ketika itu.

Setelah perjumpaan pada Misa Natal 1966 itu, umat meminta Romo Hadisumarta untuk membuat pertemuan kembali yang terlaksana pada 7 Januari 1967. Saat itu, ada sepuluh awam, Romo Hadisumarta, dan Romo Molling, serta beberapa frater. Dalam pertemuan ini, nama Paguyuban Sederek Jawi Katolik dipilih sekaligus membentuk pengurus awal komunitas ini. Romo Hadisumarta terpilih sebagai pelindung dan penasihat rohani. Sementara itu J. Ponijo terpilih sebagai ketua, Yoseph Sembah sebagai wakil ketua, V. Slamet sebagai Sekretaris I, dan A. Tulus sebagai Sekretaris II.

Jatuh Bangun
Yoseph mengkisahkan, sejak 8 Januari 1967, pengurus berkeinginan dan berusaha memajukan komunitas ini. Usaha itu tak selalu berjalan mulus, banyak tantangan dari dalam maupun luar Pasjakat. Masalah dari dalam, misalnya anggota yang kurang kompak. Selain itu, kurangnya pengalaman dalam pendidikan juga menjadi tantangan. “Yang paling membahayakan kesatuan adalah adanya anggota yang suka menyalahkan anggota lain yang menyebabkan kerenggangan,” ujar Yoseph.

Sedangkan tantangan dari luar, berkaitan dengan pengaruh lingkungan yang terpencil satu dengan yang lain. Kesulitan ini menyebabkan banyak anggota yang pindah kota karena penghidupan yang belum layak kala itu.

Walaupun tantangan muncul silih berganti, namun kegiatan Pasjakat tetap berlangsung. Markus Sumarjanto menuturkan, anggota Pasjakat rutin mengadakan kegiatan doa bergilir setiap dua minggu. Kegiatan ini dilakukan bergantian di rumah-rumah anggota, termasuk rumah yang jauh dari Pematangsiantar. “Dulu ada 20 kepala keluarga dan semuanya bersemangat dalam berdoa. Itulah yang saya rasa dapat memperkuat kesatuan,” kenang pria kelahiran Yogyakarta, 29 Agustus 1936 ini.

Seiring berjalan waktu, anggota Pasjakat tidak lagi seluruhnya berlatar Suku Jawa. Beberapa anggota yang bergabung memiliki istri atau suami berlatar Suku Batak atau bahkan suku lain. Kesediaan menerima anggaran dasar komunitas menjadi satu-satunya syarat yang dituntut. Kehadiran beberapa anggota dari suku di luar Jawa semakin memberi warna pada komunitas ini. Kehadiran mereka dikarenakan perkawinan baik Jawa dengan Batak Toba atau Simalungun atau juga Jawa dengan Nias.

Selain bergerak di bidang pengembangan rohani, Pasjakat juga mengembangkan musik gamelan. Mereka berlatih dan mengasah seni untuk menjaga silaturahmi dan kesatuan. Mereka berlatih pada Jumat sore dan biasa ditonton para tetangga Muslim.

Ungkapan Syukur
Kini Markus bersyukur, sebab frater-frater diosesan yang menempuh studi di Seminari Tinggi Pematangsiantar turut andil dalam Pasjakat. Jatuh bangun yang dialami para perintis dan sesepuh Pasjakat kini dapat dinikmati generasi muda Pasjakat. Pada usia 50 tahun, kini terdapat 50 kepala keluarga yang setia berkumpul dan berdoa bersama menjaga kesatuan dan keutuhan Pasjakat.

Dengan anggota yang kini beragam dari pelbagai suku, Markus melihat ini adalah wajah Gereja Katolik. Pada usia 50 tahun ini, Markus berharap, Pasjakat semakin dewasa, matang, guyub, dan rukun dalam membina iman dalam doa dan kesatuan.

Saat Misa perayaan 50 tahun komunitas ini, Romo Toto mengajak anggota Pasjakat untuk menjaga kesatuan dalam beragam cara. Keterlibatan satu sama lain dan kehadiran dalam kegiatan rutin dapat menjadi kunci untuk mempererat persaudaraan. Tanpa kesadaran bahwa anggota yang lain punya makna dan arti serta peran masing-masing untuk perkembangan Pasjakat, mustahil kesatuan komunitas dapat terwujud. “Semoga dari kesatuan ini juga tumbuh benih panggilan menjadi imam, suster atau bruder.”

Fr Nicolaus Heru Andrianto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here