Beato Pedro Asúa y Mendía: Pastor Arsitek, Martir Spanyol

253
Beato Pedro Asúa y Mendía.
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Meninggalkan karir, kemapanan, dan popularitas, ia menjadi imam. Arsitek ini mati tragis dalam kemelut perang sipil Spanyol.

Panggilan Tuhan itu misteri! Demikian adagium yang sering diungkapkan untuk menjelaskan panggilan yang sulit ditebak. Tak sedikit orang meninggalkan jabatan, kehidupan mapan, dan popularitas. Mereka justru memilih hidup sebagai imam, biarawan, atau biarawati. Pedro Asúa y Mendía, salah satunya.

Pedrito, sapaan akrabnya, hidup mapan, punya posisi penting, dan populer. Anak kelima dari enam bersaudara ini berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Isidro Luis de Asúa y San Millán berprofesi sebagai panitera di Balmaseda. Ia mengenyam pendidikan tinggi di Madrid, Spanyol.

Pedrito meniti karir sebagai arsitek. Profesi ini mengantarnya menuju kesuksesan gemilang. Tetapi, kala karirnya sedang berada di puncak, arsitek kelahiran Balmaseda, Basque, Spanyol, 30 Agustus 1890 ini justru mengubah haluan hidupnya. Ia menanggalkan semua yang telah ia raih dalam karir, lalu memutuskan menjadi imam.

Darah Seni
Selain suka menggambar, Pedrito menggandrungi musik. Wajar, mengingat orangtua dan saudara-saudarinya pun penggemar musik – terutama ibunya, Fransisca Mendia Conde. Sang ibu melatih putra-putrinya menyanyi.

Setiap berlibur ke Balmaseda, Pedrito sering terlibat dalam tugas koor di gereja. Bersama teman-temannya, ia membentuk kelompok dan menggelar pertunjukan sederhana untuk umat di parokinya. Kehadiran mereka memberi penghiburan, sukacita, dan menjadikan suasana menjadi kian semarak.

Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar, penduduk kampungnya mengenal Pedrito sebagai anak baik, saleh, pengertian, dan taat. Bocah ini rajin mengikuti perayaan Ekaristi atau ibadat, baik di kapel sekolah maupun di gereja paroki.

Pedrito juga dikenal sebagai pribadi yang ramah dan tak pandang bulu dalam berteman. Saat mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas di Orduña, Spanyol, ia disukai banyak teman. Meski demikian, ia tetap berhati-hati bergaul agar tak terjerembab dalam kenakalan remaja. Ia menuliskan dalam surat untuk seorang sahabatnya di Cuenca, Spanyol. Dalam surat itu, ia menyarankan agar sahabatnya bergaul dengan semua orang, tapi harus selalu waspada –terutama jika mengetahui ada teman yang tak bersikap jujur. Jangan menjauhinya, melainkan selalu sadar agar hubungan itu tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.

Tamat dari Orduña, Pedrito melanjutkan pendidikan di jantung kota Spanyol, Madrid. Talenta seni lukis serta minat pada disiplin eksakta mendasarinya memilih Jurusan Arsitektur. Kecintaan pada alam dan keindahan menginspirasi dirinya membuat konstruksi bernuansa naturalis. Idenya menuai apresiasi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Seni.

Pada 1915, setahun pasca menggondol gelar Sarjana Arsitektur, Pedrito didaulat memimpin pembangunan gedung teater dan opera “Coliseo Albia” di Bilbao, Spanyol. Bangunan yang didisain Rafael Fontán ini berhasil ia selesaikan dengan mulus pada 1917. Proyek perdana ini seakan membuka jalan lebar untuk menangani sejumlah proyek lain, seperti restoran Jai Alai di Madrid dan Sekolah Mendia.

Meski sibuk dengan berbagai proyek, Pedrito tetap meluangkan waktu mengikuti Misa setiap hari dan tak pernah meninggalkan devosi kepada Hati Kudus Yesus. Kecintaan pada devosi menggerakannya untuk membentuk komunitas adorasi di Balmaseda. Komunitas ini diminati banyak orang.

Pada 1920, arsitek muda yang sedang naik daun itu meninggalkan karirnya dan memutuskan untuk menggeluti panggilan religius. Pedrito masuk Seminari Tinggi Keuskupan Vitoria, Spanyol. Selama menjalani formasi, ia dikenal sebagai calon imam yang giat bekerja, tekun berdoa, dan hidup sederhana.

Gelar Monsinyur
Meski Pedrito sudah meninggalkan profesinya sebagai arsitek, Gereja masih memanfaatkan keahliannya. Pada 1924, Uskup Vitoria Mgr Zacarías Martínez y Núñez OSA (1864-1933) berniat merenovasi seminari. Eksekusi rencana ini pun lantas dipercayakan kepada Pedrito. Dengan taat, ia menerima tanggung jawab itu. Ia merancang sketsa bangunan, mengumpulkan pekerja, dan mencari donatur.

Pedrito menerima tahbisan sebagai imam pada 14 Juni 1924, di saat ia mengerjakan proyek renovasi seminari. Usai tahbisan, ia menyelesaikan rencana dengan cermat. Para pekerja memuji ketekunan, kerja keras, dan kebaikan hatinya. Pedrito sama sekali tak marah bila ada pekerja yang berbuat salah. Dengan tenang dan sabar, ia menyapa dan menasihati mereka. Ia pun memperhatikan kebutuhan ekonomi pekerja dengan memberikan upah layak dan tepat waktu.

“Sebuah lembaga kristiani yang ideal tentu mampu mengorganisir dirinya dengan baik, menyediakan pekerjaan bagi semua yang ingin bekerja, dan memberi upah yang layak untuk mereka,” pesannya.

Pada 28 September 1930, gedung baru seminari rampung. Pemberkatan gedung dihadiri Duta Besar Vatikan untuk Spanyol Kardinal Federico Tedeschini (1873-1959) dan Raja Spanyol Alfonso XIII (1886-1941). Para tamu kagum dan mengapresiasi hasil karya Pastor Pedrito. Bahkan Paus Pius XI (1922-1939) mengapresiasi talenta kearsitekannya dengan menganugerahi gelar Monsinyur. Meski demikian, gelar ini tak pernah ia pakai.

Selain membangun seminari, Pastor Pedrito juga membidani berdirinya sejumlah bangunan, antara lain sekolah di Gexto Spanyol Utara, renovasi Gereja Ratu Para Malaikat Los Angeles Amerika Serikat, ruang publik di Romo (Las Arenas), Biara Suster Karitas di Gueñes, dan Gereja St Kristoforus Vitoria. Sebagai imam, ia sering diminta mendampingi retret bagi para pelajar Katolik yang bergabung dalam Perkumpulan Aksi Katolik dan memberikan katekese di kalangan kaum muda.

Darah Martir
Naas, saat perang sipil meletus di Spanyol (18 Juli 1936 – 1 April 1939), Pastor Pedrito menjadi korban kebiadaban penguasa militer. Tanpa alasan jelas, pada 29 Agustus 1936, ia ditangkap oleh segerombolan lelaki berpakaian militer di rumah bibinya. Mereka membawanya ke Liendo, Cantabria, Spanyol. Setiba di lokasi sekitar pukul 23.00, gerombolan itu mengeksekusinya. Lima butir timah panas bersarang di tubuh, dua butir di kepala dan tiga lainnya di bahu kanannya.

Keluarga pastor arsitek ini kesulitan mencari jejak pusaranya. Selama dua tahun mereka mengumpulkan sejumlah informasi dan kesaksian, hingga pencarian membuahkan hasil. Temuan kerangka Pastor Pedrito lalu dimakamkan di tanah kelahirannya pada 31 Juli 1938. Sebagai penghormatan atas jasa membangun seminari, jenazahnya dipindahkan lagi dan disemayamkan hingga kini di Kapel Seminari Vitoria.

Pada 27 Januari 2014, Paus Fransiskus mengesahkan dekrit kemartiran Pastor Pedrito. Lalu pada 1 November 2014, Bapa Suci menggelarinya Beato. Perayaan beatifikasinya sebagai martir dihelat di Gereja Katedral St Maria Vitoria, Spanyol, dipimpin Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Amato SDB. Gereja memperingati pastor arsitek dan martir asal Spanyol ini setiap 29 Agustus.

Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here