Paus Zaman Skisma Eulalius

453
Ornamen untuk mengenang Paus Bonifacius I.
[araldicavaticana.com]
1.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Sejak muda, ia dikenal saleh dan loyal pada Gereja. Saat menjadi Paus, ia menghadapi Antipaus Eulalius.

Klerus Roma terpecah menjadi dua faksi besar. Insiden ini terjadi ketika Paus Zosimus wafat pada 27 Desember 418. Muncul sekaligus dua Paus yang mengklaim otoritas takhta masing-masing. Dualisme kepemimpinan dalam Gereja pun tak terbendung. Skisma tak terelakkan.

Kala itu, kedamaian Bunda Gereja terusik. Pertikaian perebutan kekuasaan mengemuka. Salah satu faksi, yang mayoritas adalah diakon, menggelar pemilihan di Basilika Lateran. Mereka memilih Diakon Eulalius sebagai Paus. Saat itu, banyak imam berusaha untuk ikut dalam pemilihan tersebut, tapi diusir dengan kasar oleh kubu Diakon Eulalius.

Pada hari berikutnya, 28 Desember 418, para klerus yang diusir dari Basilika Lateran menggelar pemilihan sendiri di Gereja St Theodora. Mereka berhasil memilih Pater Bonifasius sebagai Paus. Meskipun sudah berusia lanjut dan yang bersangkutan sebenarnya tidak menginginkannya, para klerus itu tetap mendaulatnya karena kesalehan hidup, kebijaksanaan, dan pribadinya yang baik. Bonifasius adalah putra seorang imam Keuskupan Roma, Jocundus. Ia ditahbiskan imam Keuskupan Roma oleh Paus Damasus I (304-384). Sebagai imam, ia pernah menjadi utusan khusus Paus Innocentius I (†417) di Konstantinopel tahun 405.

Diakon Eulalius dan Pater Bonifasius akhirnya ditahbiskan sebagai Uskup Roma pada 29 Desember 418. Upacara tahbisan Eulalius digelar di Basilika Lateran, dihadiri oleh kebanyakan diakon, beberapa imam, dan Uskup Ostia yang menyaksikan di atas tandu karena sakit. Sementara itu, Bonifasius dikonsekrasi sebagai Uskup Roma di Basilika St Marcellus, dihadiri oleh para uskup dari sembilan provinsi dan sekitar 70-an imam. Paus Bonifasius inilah yang menjadi Paus sah.

Dualisme Kepemimpinan
Dualisme kepemimpinan Gereja Roma ini menimbulkan konflik yang terus meluas. Prefek Roma, Symmachus segera melaporkan situasi perpecahan di Kota Abadi kepada Kaisar Romawi, Honorius (384-423) yang berada di Ravenna. Prefek Symmachus adalah tokoh penting pendukung Antipaus Eulalius. Dalam laporannya kepada Kaisar Honorius, ia condong membela Antipaus Eulalius dan berusaha menjatuhkan Paus Bonifasius I. Alhasil, Paus Bonifasius I diusir dari Roma.

Para pengikut Paus Bonifasius I tetap mengusahakan untuk dapat beraudiensi dengan Kaisar Honorius. Salah satu langkah yang diambil kaisar adalah mengundang sinode bagi para Uskup Italia di Ravenna. Pada Februari-Maret 419, kaisar mempertemukan dua kubu yang bertikai dan berdialog untuk mencari solusi terbaik. Sayang, Sinode Ravenna tidak menghasilkan titik temu!

Akhirnya, diputuskan untuk menggelar sinode lagi, yang melibatkan para Uskup Italia, Gallia, dan Afrika pada Mei 419. Sembari menanti pelaksanaan sinode, kaisar memerintahkan agar Antipaus Eulalius dan Paus Bonifasius I meninggalkan Roma hingga diambil keputusan final. Jika mereka memaksakan diri kembali ke Roma, kaisar tak segan akan menjatuhkan hukuman bagi siapa pun yang melanggar.

Takhta St Petrus pun dianggap sede vacante (takhta lowong). Padahal Hari Raya Paskah sudah dekat. Meskipun takhta lowong, tetap harus dilaksanakan Misa Paskah, seperti yang biasanya dilakukan Bapa Suci. Karena kondisi belum kondusif, kaisar minta Uskup Spoleto, Mgr Achilleus untuk mempersiapkan diri memimpin Misa Paskah di Roma, 30 Maret 419. Kala itu, Paus Bonifasius I mengungsi di Katakombe St Felisitas di Via Salaria; sedangkan Antipaus Eulalius di Antium.

Kasus Paskah
Pada 18 Maret 419, Antipaus Eulalius tiba-tiba memaksakan kehendak kembali ke Roma. Ia menggalang para pengikutnya, menyebarkan hasutan dan fitnah yang menyerang kubu Paus Bonifasius I, serta mengabaikan perintah kaisar untuk meninggalkan Roma. Antipaus Eulalius justru menduduki Basilika Lateran secara paksa pada Sabtu Suci, 29 Maret 419. Ia memaksa untuk memimpin Misa Paskah sebagai Paus.

Mendengar hal itu, pasukan kaisar segera diperintahkan mengusir gerombolan Antipaus Eulalius agar Mgr Achilleus dapat menggelar Misa Paskah. Kaisar sungguh naik pitam melihat kelakukan brutal Eulalius. Ia pun menolak untuk mengakui klaim Eulalius atas Takhta St Petrus dan justru secara penuh mendukung Paus Bonifasius. Pada 3 April 419, Kaisar Honorius secara resmi mengumumkan, bahwa Bonifasius menjadi Paus yang sah atas Takhta Roma dan mempersilakannya untuk kembali ke Roma.

Baru pada 10 April 419, Paus Bonifasius I kembali ke Roma. Ia disambut meriah oleh rakyat di Kota Abadi. Konon, Antipaus Eulalius lalu menyingkir dan menduduki takhta salah satu keuskupan di daerah pantai barat Italia bagian selatan. Meski sudah disingkirkan keluar Roma, Eulalius masih terus berusaha merealisasikan syahwat kekuasaannya untuk duduk sebagai Paus.

Skisma Eulalius ini terus berlangsung. Pada awal tahun 420, Paus Bonifasius I jatuh sakit karena usia tua. Situasi ini dimanfaatkan kubu Eulalius untuk mencari celah merebut takhta. Kondisi Paus Bonifasius I akhirnya membaik. Pada 1 Juli 420, Paus Bonifasius I meminta kepada Kaisar Honorius untuk mengantisipasi munculnya skisma dengan dualisme kepemimpinan jika ia wafat. Menanggapi permintaan Paus saleh itu, kaisar menerbitkan dekrit yang mengatur pemilihan Paus. Jika ada lebih dari satu klaim takhta kepausan, semua klaim itu tak akan diakui. Kaisar berhak menggelar pemilihan ulang dan memilih Paus baru di luar para pihak yang bertikai.

Semangat Pembaruan
Masa kepausan Bonifasius I ditandai semangat pembaruan serta penegakan disiplin organisasi dan kontrol atas Gereja. Ia mengubah kebijakan pendahulunya, Paus Zosimus (†418) yang menganugerahi beberapa uskup di Gereja Barat dengan kekuasaan khusus sebagai Vikaris Uskup Roma. Pada masa Paus Bonifasius I, hak-hak istimewa Vikaris Uskup Roma itu dicabut. Ia mengembalikan hak-hak Uskup Metropolitan sebagai primus inter pares dari Uskup-uskup di satu provinsi.

Paus Bonifasius I mengalami kesulitan terkait hubungan Roma dengan para Uskup di Afrika, terutama menyangkut kasus Apiarius. Retaknya hubungan ini sudah terjadi sejak Paus Zosimus. Para uskup Afrika menggelar Sinode Kartago (419) dan mempertanyakan yurisdiksi Patriark Roma atas Gereja di Afrika. Mereka minta agar Paus tak perlu lagi mengirimkan utusan untuk menyelesaikan persoalan Gereja di Benua Hitam. Namun, Paus Bonifasius justru mengirimkan utusan. Utusan Paus ini bertugas untuk memastikan bahwa para Uskup Afrika tak terkontaminasi ajaran Pelagianisme. Alih-alih menyambut baik, mereka justru merasa jengkel karena utusan Bapa Suci dinilai bersikap sombong. Akhirnya, atas desakan dan wibawa Takhta Suci, para Uskup Afrika menyatakan ketaatan dan berjanji menjalankan disiplin gerejani sesuai petuah Patriark Roma.

Perlawanan terhadap Pelagianisme di Afrika juga dilakukan oleh Uskup Hippo, St Agustinus (354-430). Perjuangan St Agustinus ini didukung penuh oleh Paus Bonifasius I. Ajaran ini didengungkan oleh Pelagius (360-418), seorang rahib asal Inggris. Dalam sejarahnya, ajaran Pelagius ini dinilai sebagai bidaah dalam Konsili Kartago (418).

Selama bertakhta, Paus Bonifasius I memperbarui legislasi yang telah ditetapkan oleh Paus Soter (†174). Ia melarang kaum Hawa menyentuh kain yang telah disucikan dan membantu membakar dupa dalam Liturgi. Ia juga menerapkan aturan yang melarang budak untuk menjadi klerus.

Paus berdarah Roma ini wafat di Kota Abadi, 4 September 422. Jenazahnya dimakamkan di Katakombe Maximus, dekat makam St Felicitas (101-165) di Via Salaria. Konon sebelum wafat, ia memang sudah memilih makamnya. Secara pribadi, ia punya devosi khusus kepada St Felisitas karena diyakini telah menyelamatkannya dari kemelut Skisma Eulalius. Ia berhasil mendirikan sebuah oratorium sebagai penghormatan di atas makam martir perempuan dari abad kedua itu. Meski kepausannya amat singkat, ia dianggap kudus. Gereja memperingati St Bonifasius I tiap 25 Oktober.

R.B.E. Agung Nugroho

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here