Ibu Sahabat Difabel

242
Novi bersama dua penyandang difabel dalam pentas drama inklusi.
[NN/Dok. Pribadi]
3.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Minimnya kepedulian dan aksesibilitas bagi anak-anak berkebutuhan khusus mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Meski serba terbatas, ia berusaha menghalau keterbatasan.

Bersama rekan-rekannya, para orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, Noviana Dibyantari merintis karya untuk kaum disabilitas. Aksi itu muncul lantaran ingin memperjuangkan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas, baik di bidang pendidikan, pekerjaan, perlindungan hukum, dan kesehatan.

Dalam pelaksanaannya, ibu dengan anak penyandang tuna grahita itu tak hanya menggandeng para kolega yang mengalami hal hampir serupa dengannya, ia juga mengajak sejumlah umat menjadi relawan di Komunitas Sahabat Difabel (KSD). Mereka memiliki latar belakang pekerjaan dan keterampilan berbeda.

Novi berharap, dengan kehadiran dan keterampilan yang dimiliki rekan-rekannya bisa membantu masyarakat berkebutuhan khusus untuk menemukan minat dan talenta, serta mendongkrak finansial mereka. “Semoga mereka menjadi pribadi yang semakin mandiri kelak,” ungkap perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 53 tahun silam.

Melawan Fitnah
Ada sekitar 40 warga kebutuhan khusus yang dilayani oleh komunitas yang berdiri sejak tiga tahun lalu di Semarang. Usia mereka mulai dari 13 hingga 50 tahun. Mayoritas mereka beragama Islam. Kata Novi, hingga saat ini tak ada seorang pun yang beragama Katolik yang dilayani oleh komunitasnya.

Karena itu, selama bulan Ramadhan atau hari raya lain, lanjut Novi, KSD menggelar buka puasa bersama dan tausyiah untuk memupuk dan membina kerohanian mereka. Pada kesempatan itu mereka selalu mengundang kiai atau ustaz. Meski begitu, karya Novi bersama rekan-rekannya tak imun dari fitnah. Karya mereka sempat dicap sebagai upaya kristenisasi.

Novi tak gentar menerima serangan itu. Prinsip hidupnya jelas, sahabat difable adalah pribadi-pribadi yang butuh dilayani dan diberdayakan agar hidup mereka semakin mandiri. “Ketika saya ditolak, saya semakin semangat dan terus berjuang. Kami tetap melayani di mana saja”, tegasnya.

Novi mengajarkan “anak didik”-nya menjahit, membuat hiasan, seni berbicara, komputer, jurnalistik, memasak, menari, menyanyi, dan berwirausaha. Bagi Novi, sahabat difable harus diberikan kesempatan di banyak bidang. Tantangan pasti selalu ada sebelum merengkuh tujuan. Saat mendapatkan tantangan itulah proses edukasi terus berlanjut. Mereka harus bertanya atau berani meminta bantuan kepada orang lain atau lembaga tertentu. “Itu menjadi cara agar mereka berani membangun relasi dan jejaring dengan orang lain,” katanya.

Mandiri secara finansial merupakan fokus pelayanan Novi untuk para difable. Karena itu, sejak dini mereka dilatih untuk swadaya selama mengikuti berbagai pelatihan. Satu-satunya kucuran dana untuk mereka berasal dari keluarga masing-masing. Sementara KSD, terang Novi, hanya menyediakan pinjaman usaha tanpa bunga, seandainya mereka membutuhkan.

Setiap Minggu berbagai sahabat difable dari berbagai pelosok Semarang, Solo, dan Boyolali datang ke roemah difable di kota Semarang. Mereka bertemu dan mengikuti beraneka pelatihan di tempat itu. Pemerintah Kota Semarang melirik karya yang dibuat oleh Novi bersama rekan-rekannya di KSD.

Tak pelak, pada periode 2016-2017, pemerintah setempat menggandeng KSD untuk terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah untuk tingkat kota dan provinsi. Novi tak ingin menjadi jumawa. Ia mengakui, semua itu berkat pertolongan Tuhan. Karena-Nya, KSD bisa memberikan saran kepada pemerintah untuk memberikan perhatian besar kepada para difable.

Mereka juga menginisiasi berbagai terobosan untuk kegiatan kaum difable antara lain konser inklusi, difabel got talent, drama inklusi, saung happy difabel, dan gelar karya 1000 disabilitas membatik semarang. Kegiatan mereka terakhir itu mendapat pengakuan dari Museum Rekor Indonesia.

Totalitas Karya
Dalam pelayanan sosialnya itu, Novi selalu mendapat kekuatan baru. Sebagai pelayan sahabat difabel yang nyaris bertemu mereka saban hari, Novi tidak pernah merasa jenuh. Rekan-rekannya di KSD takjub dengan semangat dan totalitasnya di karya tersebut. Padahal, Novi memiliki enam anak di rumah.

Ia bukan orang berada. Perhatian dan semangat pelayanannya kepada orangorang yang kerap dipandang sebelah mata itu berasal dari teladan orangtuanya, R. Y. Soegihartono dan Aloysia Tri Ratmini. “Ayah rela memberikan sebagian rumah sebagai tempat tinggal dua keluarga miskin. Mereka tak pernah memandang perbedaan ras, agama, atau golongan dalam melayani,” tuturnya.

Ketika anak-anaknya beranjak dewasa, Novi semakin getol terjun di karya karitatif seperti itu. Ia gigih mencari dan mengumpulkan sahabat difabel di ber bagai daerah di Semarang. Ada pengalaman menarik ketika mendapat informasi dari seorang imam bahwa ada satu keluarga malang. Sang istri dirundung gering kanker stadium tiga, sementara suaminya terserang TBC kronis. Pasangan itu memiliki anak difable dan tinggal di tempat tidak layak huni.

Novi lantas menyambangi kediaman keluarga tersebut. Ia terenyuh begitu pertama kali menjejakkan kaki di sana. Rupa rumah pasangan itu tak sehat. Ironisnya, tempat tinggal mereka satu-satunya itu pun terancam kena gusur. Novi bersyukur, usahanya mencari bantuan tempat tinggal untuk keluarga itu terwujud.

Tuhan menjamah doanya. Ada satu keluarga beragama Islam mengikhlaskan rumahnya untuk ditinggali keluarga tersebut. Ternyata, akunya, Tuhan menjadikan peristiwa itu menjadi salah satu fragmen karyanya di tengah kaum difable. Sejak kejadian itu, ia berjumpa dengan banyak penyandang disabilitas yang berbeda keyakinan dengannya.

Bagi Novi, demi karya kemanusiaan jangan pernah memandang perbedaan, satu diantaranya agama. Sebab, lanjutnya, Tuhan juga tak pernah membeda-bedakan cinta-Nya kepada setiap orang. Dia seperti matahari yang senantiasa memancarkan sinarnya kepada semua manusia.

Berlari, Bercerita
Dalam pelayanannya itu, Novi mengakui, dirinya terinspirasi oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada umat di Kolese. Paulus mengatakan, “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya” (Kol 3:23-24).

Kata-kata Paulus seakan memantik api pelayanan dalam diri Novi. Bila dirundung persoalan, ia hanya akan berlari dan bercerita kepada Tuhan. “Kalau sudah begitu, biasanya saya punya kekuatan dan semangat baru. Sehingga sampai hampir memasuki tahun keempat KSD ini, saya belum menyerah. Dan semoga takkan menyerah,” pungkasnya.

Fr Nicolaus Heru Andrianto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here