Boyman, Pater Rasta

714
Pastor Risco bersama umat.
[NN/Dok.Pribadi]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Ia sempat ditolak dan dicemooh saat pertama kali datang di tanah misi. Keberaniannya untuk bergaul dan berbaur dengan masyarakat mengubah segalanya.

Ada kepercayaan di tengah masyarakat Papua New Guinea (PNG), ketika seseorang menjelajahi Hutan Hitam (Black Forest) yang membentang luas di negeri itu, ia harus lebih dulu berdamai dengan diri sendiri dan orang lain. Bila hal itu tak diindahkan, kematian akan menghampirinya. Boleh percaya atau tidak, masyarakat di sana menyakini, banyak nyawa terenggut di hutan itu.

Hutan itu menjadi suaka sejumlah hewan mematikan. Ada beberapa jenis burung, misal pitohui, yang bisa mengeluarkan racun dari sayapnya. Ada juga blacksnake atau ular hitam yang merupakan spesies asli PNG, atau venemous taipen snake yang sekali pagut bisa melumpuhkan lawan, bahkan menyebabkan kematian.

PNG juga memiliki binatang endemik lain yakni kasuari. Orang harus waspada bila berhadapan atau berada di dekat burung itu karena terkenal agresif dan galak. Pastor Christianus Risco Batbual SVD mengaku pernah bertemu kawanan kasuari saat turne. “Jangan tertipu dengan penampilan burung itu. Kasuari bisa membunuh manusia dengan tendangannya. Panjang kuku (burung itu) mencapai lima inci (12,7 sentimeter) mampu menembus kulit manusia. Banyak kematian disinyalir karena burung ini,” bebernya.

Dicemooh, Difitnah
Hutan Hitam merupakan bagian dari medan pastoral Pastor Risco, sapaannya. Misionaris Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini /SVD) ini mendapat perutusan ke PNG sejak 2011. Imam yang kini menjadi Kepala Paroki Roh Kudus Alexishafen, Keuskupan Agung Madang ini mengakui, tantangan pastoral di sana adalah kondisi alam dan penerimaan
masyarakat lokal terhadap orang asing, termasuk dirinya.

Imam yang ditahbiskan pada 2008 itu mengenang, ada beberapa kejadian misionaris dari luar PNG ditolak di sana. Bahkan, kepala paroki sebelum dirinya, sempat diusir dan dipukuli umat. Mereka mengancam keuskupan agar tidak mengirim imam dari luar PNG ke sana. Umat menginginkan putra asli sana untuk melayani mereka.

Begitu ultimatum keluar, banyak pastor takut dan enggan bertugas di paroki itu, termasuk Pastor Risco. Namun, karena kaul ketaatan kepada pemimpin tarekat, ia bersedia menjalankan perutusan itu. Kekhawatiran Pastor Risco nyatanya terbukti. Baru pertama kali menginjakkan kaki di paroki, umat banyak mencemoohnya. Bahkan ada juga yang ingin mencelakakan dirinya.

Gereja sepi ketika ia merayakan Misa perdana di sana. Umat memilih berada di kebun atau menghabiskan waktu bersama keluarganya di rumah. Mereka juga menuduh imam kelahiran Saumlaki, Maluku Tenggara Barat, 2 November 1979 sebagai penjajah. “Untuk apa terima komuni dari imam luar yang datang menghabiskan tanah kita,” ujar Pastor Risco, mengutip tuduhan umat kepadanya.

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat St Paulus Ledalero, Flores, Nusa Tenggar Timur itu kecewa. Jika bukan karena kaul ketaatan yang telah diikrarkan, rasanya ia ingin segera meninggalkan tanah itu. Dengan asa yang kian menipis, ia mencoba untuk bertahan. Pada akhirnya ia sadar, memaafkan adalah jalan terbaik untuk membebaskan belenggu negatif batinya.

Ia juga memberanikan diri untuk lebih dalam bergaul dan berbaur dengan umat setempat. Ia sungguh-sungguh berusaha untuk itu. Jika kejadian buruk menimpanya kelak, paling tidak ia telah berusaha dan selanjutnya biar Tuhan yang berkarya. Pastor Risco mengawali pendekatan ke umat dengan cara sederhana, misal duduk dan makan sirih pinang, ikut mencangkul kebun dan mencari ikan, minum sopi (minumam berakohol), dan berbagi rokok dengan mereka.

Pastor Risco juga kerap mengajak anak-anak tinggal bersama di pastoran. Dengan begitu, banyak orangtua yang tidak keberatan, bila suatu saat ia bertandang ke rumah mereka. Kunjungan keluarga ternyata menyelamatkan sejumlah keluarga Katolik dari perceraian. Masyarakat di sana, terang Pastor Risco, masih marak berpoligami.

Seiring waktu, umat mulai bersimpatik dengan kehadiran dan keterlibatan Pastor Risco. Bahkan, mereka memanggilnya Pater Boyman, yang berarti anak laki-laki dewasa yang suka bergaul. Selain itu, lantaran rambutnya yang bergaya dreadlock (gimbal) umat juga menyebutnya Pater Rasta. Padahal rasta itu adalah singkatan dari Rastafari yakni
kepercayaan sebagian orang Jamaika.

Dua Golongan
Ada dua golongan besar di Paroki Alexishafen, terang Pastor Risco, yakni orang gunung dan orang pantai. Dua kelompok itu memiliki sikap yang amat bertolakbelakang. Orang pantai, bebernya, kurang terlalu ramah dengan kehadiran orang asing. Mereka jarang tersenyum ketika berpapasan, dan lamban menerima ide baru. Mereka juga tak cepat percaya dengan orang lain. Sementara orang gunung agak ramah, aktif, supel, dan terbuka pada hal-hal baru.

Berpastoral di tengah masyarakat pantai cukup sulit. Selain sikap seperti itu, mereka juga masih menggunakan bahasa asli. Paling kurang ada sekitar 500 bahasa lokal yang mereka pakai. Adat-istiadat masih kental dipegang oleh dua golongan tersebut. Tak pelak, karena ada yang begitu kuat mengikat, aturan gereja kerap dianaktirikan.

Di sana juga sering terjadi perang antar marga karena berebut tanah ulayat. Menurut Pastor Risco, jika mereka sudah berperang, imam sekali pun takkan berhasil melerai. “Mungkin saja bisa kecuali banyak orang yang mengenal imam itu,” terangnya.

Umat Paroki Alexishafen juga tinggal berjauhan. Banyak wilayah juga sukar dijangkau oleh moda transportasi. Jika ingin mengunjungi umat, Pastor Risco harus berjalan kaki empat hingga lima jam. Sering pula harus melintasi sungai penuh buaya dan hewan liar lain. Maka, misionaris yang berkarya di sana harus punya nyali besar.

Setia, Cinta
Meski medan pastoral yang dihadapinya amat menantang, adat-istiadat yang masih kuat dipegang, serta mayoritas umat memiliki watak keras, Pastor Risco tetap setia menjalankan misinya di sana hingga kini. Ia juga mengaku sudah jatuh cinta dengan umatnya, apa pun kondisi mereka.

Cinta yang ia taburkan ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Umat juga mencintai dirinya. Terbukti, sampai sekarang ia masih menetap dan berkarya di Paroki Alexishafen. Wakil Dewan Paroki di sana, Joseph Denam, memuji kepala parokinya itu. Dalam surat elektroniknya, Sabtu, 20/1, ia menulis, Pastor Risco gemar berbaur dengan umat. Ia juga supel dan menyapa setiap keluarga. Pastor Risco juga begitu antusias mendukung kegiatan anak muda di sana. “Dia tidak banyak bicara, namun kehadirannya menambah iman umat,” pungkas Denam.

Yusti H. Wuarmanuk

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here