Pahlawan Gereja Madagaskar

739
Beberapa umat berdoa di depan patung Beata Victoire Rasoamanarivo di Katedral Madagaskar.
[rasoamanarivo.com]
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – “Bila Anda membunuh saya, seluruh dunia termasuk alam semesta akan menguburkan saya dengan sukacita,” pesan Beata Victoire kepada keluarganya suatu hari.

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Victoire Rasoamanarivo. Seperti malam sebelumnya, Victoire mendapat tamparan dari Ratsimatahodriaka, sang suami. Ratsimatahodriaka adalah sepupu dari pamannya yang dipaksa menikah dengan Victoire. Tamparan itu selalu menjadi ritual bagi sang suami ketika mabuk. Ratsimatahodriaka seorang suami yang tidak bertanggung jawab. Ia dikenal pemabuk dan suka menganggu gadis-gadis muda. Beberapa kali, Victoire harus mengelus dada mendapati sang suami bersama perempuan lain di kamar tidur mereka.

Situasi ini membuat banyak temannya mendesak agar Victoire secepat mungkin menceraikan suaminya. Tetapi Victoire tidak mengubris permintaan teman-temannya. Baginya, pernikahan Katolik adalah satu untuk selamanya. Masing-masing harus menerima dalam untung dan malang, dalam suka maupun duka. Pernikahan dalam Gereja Katolik itu sakral dan tak bisa diceraikan. “Tak ada perceraian yang tidak bisa disatukan. Setiap pasangan harus saling menerima dengan ikhlas,” ungkap perempuan kelahiran Antananarivo, Madagaskar, 1848 ini.

Demi menyelamatkan mahligai perkawinan, Victoire terus berdoa. Meski pernikahan ini bukan atas keinginannya, tapi dalam setiap doa, ia menyelipkan satu intensi agar sang suami bertobat. Segala luka yang mendera karena ulah Ratsimatahodriaka disatukan dalam penderitaan Kristus di kayu salib. Selama delapan tahun, Victoire mendoakan sang suami hingga bertobat. Pada 14 Maret 1888, sebelum meninggal, Ratsimatahodriaka meminta maaf dan ingin dibaptis. Victoire melepaskan sang suami dengan ikhlas. Ia bahagia karena suaminya meninggal setelah mengalami pertobatan.

Misionaris Awam
Kepergian sang suami seperti angin segar bagi Victoire. Setidaknya, ia bisa bebas mengekspresikan iman dengan melayani orang lain. Pribadinya yang saleh membuat ia ingin menyelamatkan kehidupan banyak orang. Tapi kala itu, Republik Madagaskar masih berjuang dari reruntuhan Perang Perancis-Hova (Franco-Malagasi). Intervensi militer Perancis di Madagaskar yang berusaha menggulingkan monarki kekuasaan di Kerajaan Merina mengakibatkan Madagaskar menjadi koloni Perancis. Perang yang berujung dengan berdirinya Protektorat Malagasi membawa perubahan dalam setiap tatanan kehidupan masyarakat.

Situasi ini melahirkan sistem pemerintahan baru di bawah komando Ratu Ranavalova I (Ranavalo-Manjaka I).

Ranavalova menerapkan kebijakan isolasionisme dan mengurangi hubungan ekonomi serta politik dengan Eropa. Ia juga mengambil langkah memberantas gerakan Kristen yang diakui oleh Raja Radama I, suami Ratu Ranavalova. Kematian Radama pada 1828 mengakibatkan ratu dengan bebas memperluas kerajaan dengan praktik tradisional fanompoana, kerja paksa sebagai pembayaran pajak. Banyak orang Kristen ditangkap dan dipaksa menyelesaikan proyek kematian ini.

Victoire menyaksikan begitu banyak orang Kristen yang hidup dalam ketakutan. Ketaatan buta kepada ratu membuat banyak orang terpaksa menyangkal imannya. Banyak institusi Katolik, biara, gereja, dan sekolah dipaksa tutup. Semua misionaris asing diusir. Gereja Katolik Madagaskar tidak memiliki pemimpin atau gembala yang bisa didengarkan.

Victoire merasa situasi ini segera dihentikan. Dengan Rosario di tangan, ia mengunjungi setiap desa dan membuka paksa pintu-pintu gereja yang tersegel. Ia juga mencari dan menemukan orang-orang Katolik “bawah tanah” untuk berdoa bersama. Meski tentara Malagasi kadang memukuli dan menempelkan pedang di leher, tetapi nyalinya tak ciut. “Bila Anda memilih darah, mulailah membunuhku. Tetapi ketakutan kami tak akan membuat kami pasrah,” tegas.

Victoire tak cuma mengunjungi orang-orang Katolik. Ia menggantikan peran imam dengan memimpin mereka berdoa dan bernyanyi. Anak-anak diberi pelajaran katekese dan mengajak mereka untuk mencintai Bunda Maria. Ia tak takut meski saat itu, Protestantisme baru saja diakui sebagai agama resmi di Madagaskar. Bahkan, agama Protestan mendapat dukungan dari perdana menteri dan beberapa pembisik Ratu.

Suster “Pengkhianat”
Corak pastoral yang ditekankan janda ini membuat beberapa orang mulai membidik dirinya. Di kalangan kerajaan, Victoire dianggap sebagai pengkhianat terhadap ras Merina dan Betsileo, dua ras yang dianggap keturunan Victoire. Konon, Merina dan Betsileo adalah ras dari manusia pertama di Madagaskar yang berasal dari Kalimantan Selatan yaitu Suku Banjar.Tetapi dikalangan orang Katolik, Victoire adalah pahlawan gereja.

Para “penjilat” kerajaan khususnya kaum Protestantisme mulai mencari cara untuk mencegal karya Victoire. Setiap kali ada perayaan atau pertemuan selalu diakhiri dengan pertikaian dengan gerakan anti Katolik. Berbagai cara dibuat untuk bisa menghentikan pastoral bergerilya yang ditampakkan oleh Victoire. Mereka juga berusaha mengambil hati ratu agar bisa mengeluarkan surat penangkapan terhadap Victoire. Lagi-lagi ratu tidak punya cukup bukti untuk menangkapnya. Apalagi saat itu, Ranavalova I kesehatannya menurun dan Radama I siap menggantikannya.

Jalan buntu pengkhianatan ini berakhir setelah mengetahui asal-usul Victoire. Mereka mengancam keluarganya dengan isu ketidaktaatan kepada ras Merina atas perbuatan yang dilakukan Victoire. Puteri pasangan Rainiandriantsilavo dan Rambahinoro memang lahir dari keluarga pagan. Orang tuanya masih mengakui kepercayaan kepada animisme. Mereka masih memuja para leluhur di hutan, pohon besar, dan mempraktikkan dukun dan sihir.

Jalan masuk melalui keluarga dianggap tepat karena keluarganya adalah keturunan perwira tinggi yang setia kepada ratu. Bila tidak mengikuti keinginan ratu maka keluarga ini dengan sendirinya memutuskan ikatan kerja dengan pihak kerajaan. Konsekuensinya keluarga harus mengikuti keinginan ratu. Mulailah timbul kebencian ditanamkan dalam diri keluarganya. Mereka menolak dan menyangkalnya sebagai anak. Bila bertemu di jalanan, keluarga tak segan-segan melemparinya dengan batu. Menurut keluarga tidak ada pengkhinatan terhadap ras. Boleh berkhianat terhadap negara tetapi ras harus tetap Merina. “Bila anda membunuh saya, seluruh dunia termasuk alam semesta akan menguburkan saya,” pesan alumni sekolah St Joseph dari Cluny, Madagaskar ini.

Martir Malagasi
Desakan dari keluarga tak membuat nyalinya ciut. Ia terus berkeliling ke seluruh pulai dan mendorong komunitas-komunitas Katolik untuk setia pada imannya. Bila ada yang mengganggu kegiatan keagamaan, Victoire orang pertama yang siap digantung. Ia terus menjadi perpanjangan tangan Paus untuk umat di Madagaskar. Situasi ini bertahan hingga tahun 1885 saat penandatanganan pakta perdamaian antara Perancis dan Madagaskar. Pada 7 Maret 1886, para misionaris asing diizinkan kembali berkarya di negara kepulauan ini.

Selama sepuluh tahun, misionaris lokal ini telah membaptis sedikitnya 21 ribu jiwa di seantero Madagaskar. Pada 1888 saat suaminya sakit, Takhta Suci menggelari pasangan suami isteri ini Mahkota Kepausan karena perjuangan membela iman Katolik. Victoire tak pernah melepaskan tanggung jawab sebagai martir lokal Malagasi hingga tutup usia pada 21 Agustus 1894 saat berusia 46 tahun di Antananarivo.

Proses beatifikasinya dibuka sejak 19 Februari 1956. Pada Mei 1983, Paus Yohanes Paulus II menyetujui kebijakan heroik Victoire dan menggelarinya Hamba Allah. Proses venerabilis diakhiri dengan persetujuan Paus yang sama pada 9 Mei 1989. Ia dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II di Lapangan St Petrus Vatikan pada 30 April 1989. Atas jasanya, Beata Victoire diangkat sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah Madagaskar.

Yusti H. Wuarmanuk

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here