Menengok Umat, Memetik Buah Iman

222
Penyambutan: RD Paulus Tongli dan rombongan disambut tari-tarian di Stasi Kabiarat, Paroki Lorulun.
[HIDUP/A. Nendro Saputro]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Peserta Munas mendapat kesempatan menjumpai umat di Keuskupan Amboina dengan acara live in. Umat sangat antusias menyambut kunjungan para imam dan uskup.

Sore itu, Jumat, 3/10, rombongan peserta Munas XI terdiri dari 42 imam dan Mgr John Philip Saklil yang live in di Maluku Tengara Barat (MTB) disambut meriah oleh Wakil Bupati beserta jajarannya, Wakil Uskup, dan perwakilan paroki-stasi setelah mendarat di Bandara Matilda Batlayery, Lorulun di Yamdena, pulau terbesar di Tanimbar. Setelah dibagi ke paroki dan stasi rombongan kemudian diarak menuju tempat live in.

Saya bersama dengan RD Paulus Tongli mendapat tempat di Stasi Kabiarat, Paroki Lorulun. Stasi ini berada di desa pinggiran pantai, seluas tujuh kilometer persegi, memiliki 130 kepala keluarga, dengan 600 jiwa yang 100% beragama Katolik. Di area pintu gerbang desa, kami disambut dengan upacara adat, kemudian diarak dengan tari-tarian diiringi lagu-lagu rohani berbahasa daerah.

Sesampai di tengah desa, tampak rumah-rumah dihiasi dengan bendera merah putih dan kuning putih. Di beberapa rumah yang terbuka tampak rosario, gambar Yesus dan Maria berukuran besar menghiasi ruang tamu mereka. Malam itu acara ditutup dengan Misa Jumat Pertama di Kapel milik Stasi.

Pagi harinya, Sabtu 4/10, terdengar pengumuman acara hari itu yang dikumandangkan oleh ketua Stasi lewat loudspeaker yang terpasang di gereja. Setelah itu diputar lagu-lagu rohani. Suasananya mirip pengumuman dari masjid-masjid di Jawa.

Acara inti hari itu adalah bincang-bincang sambil menikmati masakan “Bakar Batu” khas Tanimbar yang diadakan di kebun milik warga setempat. Sambil menunggu proses memasak, kami berkeliling ke tempat pembaptisan pertama di Tanimbar, tempat Penghormatan Kristus Raja. Pulangnya, kami melintas di kota Saumlaki. Kembali ke kebun, kami santap siang dengan masakan “Bakar Batu”.

Minggu pagi, 5/10, acara di stasi dimulai dengan Misa pagi. Siangnya kami diantar menuju Kompleks Unio Saumlaki untuk mengadakan Perayaan Ekaristi Inkulturasi Akbar. Kurang lebih 3.000 umat turut hadir. Misa diawali dengan perarakan masuk patung Kristus Raja dari Gereja Olilit Barat. Mgr John Philip Saklil dalam khotbahnya memuji tanah Tanimbar yang jumlah umatnya banyak dan subur panggilan pastor, suster, dan bruder. Seusai Ekaristi, dilanjutkan dengan acara penghormatan Kristus Raja dengan tari-tarian. Sekitar pukul 10 malam acara penghormatan ditutup dengan perarakan patung Kristus Raja untuk dikembalikan ke Gereja Olilit Barat.

Senin pagi, 6/10, rombongan mengadakan pertemuan dengan Pemda MTB. Mgr John Philip Saklil memuji pembangunan yang telah dibuat Pemerintah dan bantuan Pemerintah kepada Gereja Katolik. Selain pembangunan fisik, Mgr Saklil juga menekankan agar sumber daya manusia di Kabupaten ini ditingkatkan agar siap menghadapi kemajuan zaman dan pendatang. Seusai pertemuan, peserta diarak menuju Bandara diiringi pawai umat. Tampak beberapa pastor yang meski kelelahan karena bega dang, masih kuat ikut menari bersama umat di sekitar Bandara.

Makam Pastor Simon Vaz
Di tempat lain RD Guido Suprapto bersama Mgr Agustinus Agus dan empat pastor lainnya mengikuti live in di Tobelo, Maluku Utara. Romo Prapto sengaja memilih tempat ini karena ingin berkunjung kemakan RD Simon Vaz yang telah membaptis orang Indonesia pertama kali 480 tahun lalu.

Perjalanan Romo Prapto ke Tobelo diawali dengan perjalanan udara dari Ambon selama satu seperempat jam menuju Ternate. Sampai Ternate, mereka bertemu dengan Wakil Uskup dan tokoh umat. Lalu mereka meneruskan perjalanan kembali dengan speed boat selama satu jam. Selesai naik speed boat, perjalanan dilanjutkan dengan travel selama empat jam. Sesampai di Tobelo rombongan disambut antusias oleh umat dan pastor Paroki Tobelo. Setelah mendapat penjelasan berkaitan dengan suasana paroki dan pelayanannya, mereka dibagi tinggal di rukun-rukun atau lingkungan.

Hari Sabtu, 4/10, rombongan diantar ke Mamuya untuk melihat makam RD Simon Vaz. Kurang lebih satu jam perjalanan, rombongan sampai di desa Mamuya. Kemudian singgah di Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH), diterima pendeta jemaat di situ dan kepala desa Mamuya yang beragama Kristen. Di tempat itu, rombongan diberi penjelasan bahwa pemilik tanah tempat makam RD Simon Vaz tidak mengijinkan rombongan melihat makam tersebut. “Padahal kurang 15 menit saja jauhnya dengan jalan kaki,” ujar Romo Prapto.

Karena tidak bisa ke makam, mereka bercakap-cakap di gereja tersebut. Jemaat di situ mengakui adanya peristiwa bersejarah babtisan pertama orang Katolik oleh Pastor Simon Vaz. Namun, mereka menyayangkan karena sampai saat ini tidak ada umat Katolik yang tinggal di daerah tersebut. Mereka juga diajak mengunjungi sebuah gereja dengan monumen lonceng yang runtuh, makam korban kerusuhan, dan replika kapal Cahaya Bahari yang hilang mengangkut sekitar ratusan pengungsi.

Dalam beberapa perjumpaan dengan umat di Tobelo, Romo Prapto melihat bahwa masyarakat ingin menghilangkan peristiwa masa lalu dan tidak ingin kerusuhan terulang kembali.

Pengalaman di Kei
Lain lagi dengan Ketua Unio Baru periode 2014-2017 RD Sipri Hormat. Ia bersama Mgr Blasius Pujaraharja dan 40 pastor lain live in di Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara. Rabu siang, 3/10, mereka berangkat dengan pesawat udara.

Sepanjang penerbangan, mereka dapat menikmati panorama laut membiru serta deretan pulau-pulau kecil terbentang dari Ambon sampai Kei. Rombongan akhirnya mendarat di pulau Kei setelah menempuh penerbangan hampir dua jam. Di Bandara Karel Sadsuitubun mereka dijemput Bupati Langgur dan jajarannya, serta wakil umat. Mereka diarak menuju pastoran Unio Langgur dengan acara protokoler meriah dan disambut Wakil Uskup Amboina untuk pulau Kei RD Jack Renjaan.

Selama live in di pulau Kei ini, Romo Sipri melihat bahwa imam sebagai orang tertahbis sungguh dihargai umat. Karena itu, umat sangat merindukan kunjungan pastor ke rumah mereka. Dan pastor akan diperlakukan secara istimewa jika bertamu ke rumah atau ke lingkungan mereka. Mereka memiliki kesadaran tinggi untuk mengembangkan stasi dan paroki sehingga program pastoral keuskupan di setiap paroki relatif lebih mudah dijalankan.

Jika melihat tema “Dialog dan Perdamaian” yang menjadi fokus sharing dan diskusi selama Munas di Ambon, Romo Sipri memandang tema itu sudah menjadi kenyataan hidup harian masyarakat di pulau Kei. Di tempat ini adat, agama dan pemerintah menjadi tiga pilar yang berperan dalam menciptakan dialog hidup dan perdamaian. Kerusuhan yang menimpa kota Ambon pada tahun 1999 sempat merambat ke daerah ini. Dalam hitungan minggu, kerusuhan bisa diatasi karena ketiga pilar tersebut bekerja keras menyadarkan dan meyakinkan masyarakat agar tidak termakan oleh provokasi.

A. Nendro Saputro

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here