Sastra Menihilkan Sekat

281
Ch. Dwi Yuli Nugrahani.
[NN/Dok.Pribadi]
3.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Meski sibuk bekerja sebagai staf Keuskupan Tanjungkarang dan dosen, Yuli tetap menekuni dunia sastra. Karyanya yang bertema sosial berseliweran di banyak media.

Malam semakin larut. Seisi rumah sudah dibuai oleh dewa tidur. Namun, Dwi Yuli Nugrahani bergeming. Jemari tangannya terus saja menari di atas keyboard komputer. Yuli, cerpenis dan penulis buku menuangkan ide sebelum kantuk menyeretnya ke atas dipan, di mana anak-anak dan suaminya telah terlelap. “Saya menulis saat malam atau hari libur, karena selain bekerja, yang utama saya tetaplah istri dan ibu,” cerita ibu dua anak ini, pekan lalu.

Sehari-hari, Yuli sibuk bekerja sebagai sekretaris atau pelaksana harian Komisi Keadilan Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau (KKPPMP) Keuskupan Tanjung karang. Pekerjaan di bidang sosial ini, jelas Yuli, sama sekali tak menjauhkan ia dari hobi menulis. Dunia kerja ini, justru menjadi sumber inspirasi bagi tulisannya. Selain cerpen, ia juga menulis esai bertema gender.

Tulisan karya Yuli berseliewaran di pelbagai media seperti Fajar Sumatera, Femina, hingga ACPP Hongkong. Ia juga memiliki buku kumpulan cerpen, puisi, buku profil dan cerita rakyat. Beberapa puisi berbahasa Inggris-nya juga pernah diterbitkan di situs firebirdpoetry.com. “Saya punya beberapa manuskrip novel, namun ada yang agak sensitif, sehingga saya harus mengeditnya berkali kali.”

Sejak Kecil
Gemar membaca, kata Yuli, adalah hal ihwal seorang penulis. Mantan dosen Bahasa Indonesia dan Character Building STIE Gentiaras Bandar Lampung ini, bahkan sebelum duduk di bangku SD sudah melahap pelbagai buku cerita. Ibunya yang bekerja sebagai pustakawati sebuah sekolah dasar, selalu pulang ke rumah dengan buku sebagai oleh-oleh. Yuli kecil tertarik membaca komik, cerpen, dan karya fiksi lainnya. Kala itu, Yuli sudah akrab dengan kisah Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Selain itu kisah Siti Nurbaya, Layar Terkembang, Perawan di Sarang Penyamun, juga buku-buku terjemahan Tini Tono, Lima Sekawan. “Buku-buku fiksi kala itu tak pernah lepas dari tangan saya untuk saya baca,” kenang Yuli.

Selain buku-buku dari ibundanya itu, Yuli senantiasa menyisihkan uang jajannya untuk langganan majalah Bobo. “Karena biasanya kurang, maka bapak dan ibu akan menambahi uang saya untuk langganan majalah tersebut.”

Saat duduk di bangku SMP, Yuli mulai belajar merajut aksara menjadi tulisan-tulisan. Ia mengirimkan puisi berbahasa Jawa ke redaksi Panjebar Semangat dan Joyoboyo. “Itu menjadi tangga pertama saya mulai menulis puisi Jawa,” imbuhnya seraya tersenyum.

Pun demikian ketika duduk di bangku SMA. Lulus SMA, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Sekilas, Yuli salah memilih jurusan. Namun, pada masa ini, Yuli semakin menekuni minat menulisnya dan belajar jurnalistik.

Yuli mengawali dunia Jurnalistik dengan bekerja untuk Vincentian Center Indonesia (VCI) di Malang, 1998 silam. Yuli bertugas membuat buletin untuk VCI yang berjudul “Terlibat”. Buletin tersebut berisi berita atau opini serta refleksi keterlibatan penulis dengan orang-orang miskin perkotaan. Sebagian tulisannya itu akhirnya pernah dibukukan dengan judul Mengais Makna di Tepi Kehidupan (2005).

Dari buletin VCI, Yuli akhirnya serius menggeluti profesi sebagai kuli tinta. Ia menjadi wartawan di Malang Post dalam rentang dua tahun. Pada 2000, ia pindah ke Lampung. Di Lampung, Yuli terlibat di Komsos Keuskupan Tanjung Karang. Yuli lantas didapuk sebagai pimpinan redaksi majalah Nuntius asuhan komsos. Aktivitas seputar jurnalistik tak membuat Yuli puas. “Saya kembali lagi ke sastra dengan mengirim tulisan ke Femina. Cerpen saya yang dimuat berjudul ‘Kuyup’,” ungkapnya.

Statusnya sebagai pekerja di KKPPMP Keuskupan Tanjung Karang menuntun Yuli untuk menggarap tema-tema sosial sebagai tema cerpen. “Bagi saya semuanya itu menjadi sebuah harmoni. Ini adalah jalan yang bisa saya tapaki untuk menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan, hidup, kepedulian, cinta kasih, dan keadilan.”

Nilai sosial dalam cerpennya juga dipentaskan di atas panggung. Bertepatan dengan hari Kartini, April 2017, Sun Love Community menampilkan salah satu cerpen Yuli tentang perempuan dan ke-Indonesiaan. “Cerpen ini menjadi luar biasa saya maknai ketika ditampilkan oleh mereka di Kafe Dawiels saat hari Kartini.”

Pendamping Komunitas
Yuli enggan disebut sastrawan. Ia menyebut dirinya penggiat sastra lewat tulisan, pengajaran, dan pendampingan komunitas sastra. Yuli mendampingi Komunitas Kampoeng Jerami (KKJ) di Sumenep Madura. Sudah hampir empat tahun, Yuli menjadi penyunting beberapa tulisan KKJ yang akan diterbitkan. “Komunitas ini banyak kegiatan seperti taman bacaan, penulisan, penerbitan, latihan teater dan nulis, dan sebagainya,” jelas Yuli.

Meski terpisah jarak, Yuli dan awak KKJ menjaga komunikasi lewat lini grup Facebook. Melalui itu, ia berdiskusi dan menjadi teman ngobrol tentang sastra dan budaya kapanpun dibutuhkan. Ia sesekali juga datang ke Sumenep untuk diskusi buku dan juga pelatihan penulisan. “Mungkin berlebihan jika menyebut diri sebagai pendamping mereka, tapi saya sahabat mereka.”

Di Lampung, Yuli memberikan pelatihan menulis untuk komunitas sastra lain. Saat ini, ia sedang menemani mahasiswa-mahasiswa katolik dalam UKM Katolik Universitas Lampung. Secara berkala, Yuli memberi pelatihan jurnalistik kepada mereka. Selain itu, Yuli bersama kreatif Komunitas Berkat Yakin (Kober) membuat kelas menulis kreatif untuk kelompok pelajar, mahasiswa dan umum.

Beberapa sekolah menengah atas juga beberapa kali meminta Yuli memberikan pelatihan menulis. Kadang, ia diminta menjadi juri lomba penulisan hingga pelatihan menulis di pelbagai instansi dan komunitas lainnya. Pada Juli 2017 silam misalnya, Yuli menjadi juri untuk lomba menulis cerpen yang diselenggarakan Polda Lampung dalam rangkaian HUT
Bhayangkara. Sebelum itu, ia juga menjadi juri dalam lomba menulis cerpen Pekan Seni Mahasiswa Provinsi Lampung dan kompetisi lainnya. “Saat ini sedang diskusi mendalam dengan para penulis muda Lampung Selatan untuk sebuah workshop menulis dan pembuatan buku bersama perpustakaan daerah setempat.”

Dewan Kesenian Lampung (DKL) sering melibatkan Yuli dalam menerbitkan beberapa buku antologi puisi. Melalui DKL juga, Yuli menulis buku cerita rakyat Lampung Sultan Domas Pemimpin yang Sakti dan Baik Hati. Buku ini adalah cerita rakyat asal Lampung yang ditulis untuk anak-anak dan remaja, juga disertai ilustrasi gambar oleh seniman Lampung, Budi Sadmiko. “Buku ini juara tiga sayembara penulisan cerita rakyat yang diadakan Kantor Bahasa Propinsi Lampung 2016. Bersama beberapa cerita rakyat dari penulis lain, buku ini sudah disebarkan ke sekolah-sekolah.”

Pada April 2017, Yuli mengikuti perayaan 50 tahun Populorum Progressio di Vatikan. Ia sempat bertemu dengan Antonius Agus Sriyono, Duta Besar Indonesia untuk Vatikan. Yuli, satu-satunya wakil Indonesia berdis kusi seputar budaya Indonesia. Yuli memberikan beberapa karyanya kepada Sriyono. Yuli berpendapat, seni dan budaya menjadi kekuatan yang menenun kemajemukan di Indonesia.

Melalui sastra, Yuli bisa datang dan diterima oleh komunitas-komunitas dari berbagai golongan di berbagai Kota di Indonesia. “Sastra menihilkan sekat yang bersumber pada perbedaan agama atau golongan,” pungkasnya.

Ch. Dwi Yuli Nugrahani
TTL : Kediri, Jawa Timur, 9 Juli 1974
Suami : Petrus Hendro Wartoyo
Anak : Albert Ardyatma dan Bernard Sandyatma

Pendidikan:
• SMAK St Augustinus Kediri, Jawa Timur
• Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur

Pekerjaan:
• LSM Vincentian Center Indonesia (VCI) Malang
• Wartawan Harian Malang Post
• Penulis puisi, cerpen buku-buku profi l, antologi puisi dan cerita rakyat
• Pemred Majalah Bulanan Nuntius
• Dosen STIE Gentiaras Bandarlampung
• Pelaksana Harian KKPPMP Keuskupan Tanjungkarang

Fr Nicolaus Heru Andrianto/Edward Wirawan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here