Pertenunan Santa Maria Boro: Pertenunan di Lereng Menoreh

2353
Br Petrus Sutimin FIC bersama seorang pekerja.
[HIDUP/H.Bambang S.]
3.7/5 - (8 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Bersaing dengan banyak raksasa tekstil, Pertemuan Santa Maria Boro tetap bertahan. Jangan meragukan kualitas kain produksi mereka, semua produk dijamin tahan lama.

Benang katun berwarna putih menjuntai di sela tiang-tiang kayu yang berdiri setinggi sekitar dua meter. Di salah satu sisi, seorang pekerja menjalankan sebuah mesin tenun di hadapannya dengan teliti. Di ruangan itu, benang yang masih kental beraroma kapas dirangkai satu persatu, membentuk lembaran kain. Beberapa saat berlalu, benang-benang
yang menjuntai pun telah berubah rupa menjadi selembar selimut katun.

Di tempat ini, lembar demi lembar kain dirangkai menggunakan mesin tenun tradisional. Mesin-mesin tenun di ruangan itu bahkan lebih tua dari usia Indonesia. Didatangkan dari Belanda, mesin tenun itu setia menjadi sumber penghasilan di Pertenunan Santa Maria Boro.

Di tengah menghadapi persaingan industri tenun pabrikan, pertenunan di lereng Bukit Menoreh ini masih bertahan. Mereka tak mau kalah dengan industri-industri raksasa. Meski kecil dari sisi kuantitas, kualitas produk mereka bisa diadu.

Zaman Belanda
Berdirinya Pertenunan Santa Maria tak lepas dari prakarsa Romo J.B. Prenthaler SJ. Saat bertugas di wilayah Kalibawang, Kulon Progo, DI Yogyakarta misionaris asal Austria ini berpikir untuk membantu kondisi sosial dan ekonomi penduduk sekitar. Beberapa karya pun dirintis Romo Prenthaler, ia mendirikan sekolah, panti asuhan, rumah sakit, selain mendirikan juga Gereja Santa Theresia Lisieux.

Pada tahun 1927, Romo Prenthaler juga mendirikan Pertenunan Santa Maria. Saat itu, Romo Prenthaler mendatangkan alat tenun dari Belanda. Romo Prenthaler membuat tempat pertenunan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Dengan pertenunan ini, masyarakat sekitar mendapatkan lapangan kerja, sekaligus menumbuhkan perekononian di dusun pelosok itu.

Sampai pada tahun 1950, Kongregasi Bruder St Perawan Maria Yang Dikandung Nirmala dari Maastricht (FIC) mulai mengelola kerajinan pertenunan di Boro ini. Br Petrus Sutimin FIC menjelaskan, pada 6 Januari 1950 dalam sebuah musyawarah, tarekatnya memutuskan mengucurkan modal untuk menghidupkan industri tenun tradisional di Boro ini. “Dengan industri ini, harapannya masyarakat dapat terbantu dari segi ekonomi.”

Br Petrus menjelaskan, waktu itu, selain ada pertenunan, di tempat itu juga didirikan Sekolah Teknik Tenun Boro. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan wilayah itu sebagai pusat pertenunan. Masyarakat tidak hanya bekerja di industri tenun, namun ada satu lembaga lain sebagai pusat belajar tentang pertenunan.

Pada masa-masa ini, keinginan untuk memajukan perekonomian masyarakat nampak berjalan dengan baik. Selain pertenunan, di tempat ini juga ada pabrik sabun dan juga topi. Br Petrus menjelaskan, karena persaingan dengan industri besar, kini hanya pertenunan yang mampu bertahan. “Kami tetap berusaha bertahan untuk membantu perekonomian para pekerja,” tutur Pimpinan Pertenunan Santa Maria ini

Menjaga Mutu
Kebanyakan pekerja pertenunan ini adalah umat Paroki St Theresia Lisieux Boro. Lokasi pertenunan tradisional ini masih satu kompleks dengan Panti Asuhan Putra Sancta Maria, dan Sekolah Pangudi Luhur yang dikelola Bruder-bruder FIC. Pertenunan Santa Maria menghasilkan aneka produk seperti kain pel, selimut, serbet, sarung, handuk, sprei, sarung bantal, lap tangan, lap piring, dan lainnya. Belakangan, pertenunan ini memproduksi juga baju dan juga jubah imam. Semuanya dibuat dari bahan katun.

Br Petrus menyebutkan, saat mengenakan pakaian dengan bahan katun, meski cuaca terik akan terasa sejuk. Sebaliknya, saat musim dingin bisa menghangatkan. Ia melanjutkan, hasil atau produk pertenunan ini dulunya banyak dimanfaatkan untuk sarana di rumah-rumah sakit Kristiani, sekolah Katolik, komunitas-komunitas biara, dan keperluan perhotelan. “Kini, beberapa rumah sakit tidak lagi menggunakan keseluruhan produk kami. Mereka telah beralih mengambil produk pabrikan yang bisa dipesan cepat dengan harga jauh lebih murah,” ucapnya prihatin.

Kualitas kain produksi Pertenunan Santa Maria terbukti jauh lebih baik dibanding produk sejenis di pasaran. Setiap helai kain produksi tempat ini dijamin tahan lama. Staf Tata Usaha Pertenunan Santa Maria, Antok Rudiyanto mencontohkan, kain serbet hasil produksi Pertenunan Santa Maria sangat tebal karena ingin tetap menjaga mutu. Produk ini lebih tahan lama. Bandingkan dengan serbet yang dijual di pasaran, akan terlihat transparan karena tipis. “Kami tetap menjaga mutu, kalau hasilnya jelek akan dikomplain konsumen,” terangnya.

Rumah sakit yang masih menggunakan sebagian produk Pertenunan Boro, seperti jenis selimut adalah RS Bethesda dan RS Panti Rapih Yogyakarta, RS Elisabeth Semarang, dan RS Carolus Jakarta. Sedangkan RS Charitas Palembang, terkadang masih menggunakan produk kain handuk dan pengelap wajah. Br Petrus mengakui sulitnya menawarkan produk Pertenunan Boro di pasaran. Beberapa sekolah Katolik yang awalnya memesan produk darinya, kini sudah menghentikan pesanan. “Hal ini karena harga yang ditawarkan cukup mahal dibanding produk pabrik. Selain itu, kami juga tak mampu melayani orderan dalam jumlah banyak sekaligus. Sehingga mereka mengambil dari pabrik yang bisa menyediakan pesanan dengan cepat.”

Kepala personalia pertenunan setempat, Sudaryanto pun merasakan orderan produk Boro mulai menurun beberapa tahun terakhir. Pesanan dari rumah sakit merosot karena beralih mengambil produk pabrikan yang harganya jauh lebih murah.

Tetap Bertahan
Di tengah tantangan-tantangan itu, Pertenunan Santa Maria bertekat untuk tetap bertahan. Br Petrus mengakui, Pertenunan Santa Maria masih menguntungkan dari segi ekonomi, meski minim. Untuk itu, sempat muncul wacana bakal ditutupnya Pertenunan Santa Maria ini, namun para karyawan keberatan.

Br Petrus kini dipercaya menjalankan Pertenunan Santa Maria. Sedapat mungkin ia berusaha menyemangati para pekerjanya. Ia juga mencoba mencari terobosan untuk melebarkan segmen usaha, sehingga lembaga ini tak hanya mengandalkan pemasukan dari hasil produksi tenun. Salah satu contoh, ia mulai merintis usaha berdagang buah pisang hasil produksi warga dan juga berjualan hasil olahan ketela. Br Petrus memasarkan, dua produk ini ke Yogyakarta. “Usaha tambahan ini dilakukan untuk menambah pemasukan bagi karyawan.”

H. Bambang S.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here