“Lampu Kuning” Toleransi di Indonesia

440
Para tokoh agama melepaskan burung merpati sebagai lambang persatuan.
[HIDUP/Marchella A. Vieba]
5/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – “Indonesia bukan negara agama tetapi negara beragama. Seringkali agama mengajarkan pesan-pesan damai dan ekstremis memutarbalikannya,” pesan Gus Dur suatu hari.

Yogyakarta, selalu dikenal sebagai “the city of tolerance”. Kota Gudeg ini menjadi jantung kebudayaan Jawa. Di dalam sistem pemerintahan pun kultur Jawa menjadi sangat kental. Kraton Yogyakarta menjadi simbol bertahannya budaya Jawa, yang tidak terkikis oleh kolonialisme. Banyak nilai kehidupan yang berkembang di sini berpijak pada kerukunan antar umat beragama. Rukun bagi masyarakat Yogyakarta berarti hidup dalam keadaan selaras, tenang, dan tentram demi keselarasan sosial.

Bila Bali dijuluki kota destinasi, Yogyakarta menjadi ikon perdamaian di mata dunia. Yogyakarta menjadi referensi perdamaian bagi kota-kota lain. Label ini tentu saja bukan semata slogan karitatif, melainkan ada upaya untuk meneguhkan trajektori Yogyakarta yang harmoni, terbuka, dan pluralis. Bukan semata karena keistimewaannya tetapi di
sini masyarakat hidup, bernapas, bergerak selaras dalam damai. Dari segi nama, Yogyakarta dari kata “ayogya” yang artinya kedamaian dan “karta” yang berarti baik.

Trademark Yogyakarta sebagai kota budaya yang setia merawat toleransi, ternyata menyimpan sejumlah kisah radikalisme dan intoleransi keagamaan. Budaya “rasamu-rasaku” dan tepo seliro (tenggang rasa) seakan memudar. Banyak kejadian yang membuktikan di kota toleransi ini, bersemi intoleransi. Semboyan “guyub rukun agawe santosa”, ‘hidup rukun berdampingan membuahkan kebaikan’ mulai terkikis.

Pada November 2017 lalu, Setara Institute merilis 10 kota rawan intoleransi. Organisasi riset dan advokasi di bidang demokrasi, kebebasan politik, dan HAM ini melakukan survei di 94 kota dalam kurun waktu November 2016-Oktober 2017. Ternyata Yogyakarta masih menduduki peringkat enam setelah Jakarta, Bogor, Cilegon, dan Depok.

Toleransi Bersyarat
Jauh sebelum “raport kuning” ini, sudah banyak kekerasan di kota toleransi ini. Data dari Wahid Institute merinci, bahwa tahun 2008 terjadi penyerangan Sanggar Candi Busana Parangkembang. Ada juga kejadian di tempat ibadah Sapta Darma di Desa Balecatur, Gamping, Sleman. Di tahun 2010, terjadi aksi pembubaran Q Film Festival. Sementara di Bantul ada aksi penghentian doa keliling tahun 2011. Pengajian Gerakan Ahmadiyah Indonesia di SMA Piri pun tak luput dari intimidasi kekerasan pada 2012.

Insiden terakhir yang menoreh rasa persatuan ini terjadi pada 28 Januari 2018, yaitu pembubaran secara paksa acara bakti sosial yang digelar Gereja St Paulus Pringgolayan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Ormas Front Jihad Islam, Forum Umat Islam, dan Majelis Mujahidin Indonesia disebut membubarkan aksi sosial tersebut. Mereka menuding acara bakti sosial tersebut sarat agenda kristenisasi. Sejatinya acara tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara dalam rangka memperingati catur windu Paroki St Paulus.

Bak api dalam sekam, pada Minggu, 11 Februari 2018, lagi-lagi luka mendalam intoleransi ini mengangah lebar dengan insiden penyerangan terhadap Romo Karl Edmund Prier SJ saat memimpin Misa di Gereja St Lidwina Bedog, desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Sleman, Yoyakarta. Seorang anarkis berhasil melukai Romo Prier SJ dan tiga umat lainnya. “Sangat menyesalkan. Ini sangat melukai Indonesia. Saya minta Polisi untuk mengusut tuntas aksi penyerangan ini. Ini biadab,” tegas mantan Ketua PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif yang juga hadir selepas kejadian itu.

Sementara itu, Alissa Qutrunnada Munawaroh Wahid mengakui, bahwa beberapa aksi intoleransi yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia kebanyakan dilakukan oleh ormas yang mengatasnamakan agama. “Organisasi viligian ini cukup berkiprah di Indonesia dan beberapa kota tampak cukup vulnerabel terhadap ekspresi kelompok-kelompok militian intoleran ini,” pungkas Ketua Gusdurian ini.

Putri sulung mantan Presiden RI ke-4, (alm) KH Abdurrahman Wahid ini menambahkan keberhasilan ekspansi kelompok militan di Indonesia dalam beberapa tahun ini meningkat. Kelompok ini telah melahirkan sikap toleran bersyarat yang masih menjadikan agama sebagai pemarka identitas. “Dalam hal ini perlu equality before the law. Dan sebagai kunci toleransi di Indonesia civil society harus mengambil peran menjaga NKRI.”

Pernyataan ini tentu berdasarkan data dari Wahid Institute soal gelombang pemaksaan dan aksi intoleransi di Indonesia. Wahid Institute dalam hasil penelitian mengatakan, ada beberapa aksi yang terjadi tahun 2018 di Indonesia. Misal, tanggal 28 Januari, kekerasan dialami pimpinan Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH. Umar Basri. Ia menjadi korban penganiayaan usai Shalat Subuh di masjid. Belum lama berselang, Komando Brigade Persatuan Islam (Persis), Ustaz Prawoto meninggal dunia karena dianiaya seorang pria pada 1 Februari 2018 lalu.

Pada Awal Februari 2018, sebuah video yang menjadi viral di media sosial karena seorang biksu dan umatnya dilarang beribadah di Desa Babat, Kecamatan Legok, Tangerang. Ormas setempat menolak kehadiran biksu yang bernama lengkap Mulyanto Nurhalim ini. Parahnya, pengusiran ini dilakukan seminggu menjelang Hari Raya Imlek. Mereka meminta paksa Mulyanto untuk menandatangani kesepakatan meninggalkan desa tersebut. “Inilah pengingkaran identitas keberagaman yang terjadi di Indonesia.”

Konflik Sektarian
Menyikapi berbagai aksi intoleransi di Indonesia, Sekretaris Jenderal Indonesian Confrence on Religiond and Peace (ICRP), Romo Johanes Haryanto SJ mengungkapkan keprihatinannya terhadap hal ini. Ia mengatakan, isu kekerasan di Indonesia mengungkapkan bahwa intoleransi dimanfaatkan untuk kepentingan politik. “Di tahun politik ini isu intoleransi bakal dipakai sebagai kendaraan politik identitas,” jelasnya.

Baginya, intoleransi di Indonesia bukan melulu soal agama melainkan karena perubahan sosial yang cepat sekali. Perubahan ini menyebabkan akses warga dengan latarbelakang yang beragam terutama ke wilayah industri. Keragaman inilah kemudian menjadi jalan masuk terjadinya konflik. “Karena itu, kehadiran ICRP mengajak berbagai komunitas untuk bersinergi mengawal persatuan bangsa. ICRP memiliki program yang mendorong semua anak bangsa lintas iman, non sektarian membangun dialog antar peradaban yang terbuka dan toleran.”

Dialog antar peradaban ini tentu mengesampingkan ekslusivisme agama. Agama jangan sampai menjadi gaya hidup dan payung teduh bagi kaum ekstremis. Ada seloroh dalam masyarakat sosialis, saat ini kita memasuki zaman dimana banyak orang ingin menaiki gaya hidup dengan cara menurunkan harga diri.

Kata-kata ini ternyata sejalan dengan pemikiran peneliti Setara Institute, Halili. Menurutnya, tahun 2018-2019 menjadi tahun politik praktis bagi Indonesia. Kursi-kursi adikara diperebutkan dengan berbagai cara. Tendensi Pemilu dan kecenderungan populisme ini kerapkali menggunakan isu identitas, mobilisasi massa untuk menjatuhkan lawan politik. “Ketika gerakan politik etis tidak mendapatkan aktualisasi nyata maka ketegasan penegak hukum menjadi kunci menghentikan eskalasi kekerasan,” ujarnya.

Revolusi Mental
Halili menyebutkan, pada tahun 2017, ada penurunan angka pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) bila dibandingkan tahun 2016. Pada tahun 2017, ada 151 peristiwa dengan 201 tindakan KBB. Dibandingkan tahun 2016 sekitar 208 peristiwa dengan 270 tindakan. Meski ada penurunan sekitar 53 peristiwa dan 69 tindakan tetapi angka ini masih di atas angka 100. Secara umum angka KBB ini masih tinggi karena ideologi ekstrimis dan destruksi nilai-nilai hidup masih sangat kuat.

Soal intoleransi dalam data, Setara Institute merilis tahun 2016 sebanyak 123 tindakan pelanggaran dilakukan oleh aktor negara dalam bentuk aktif seperti pernyataan yang provokatif dan 17 diantaranya menjadi peristiwa pembiaran. Sedangkan tahun 2017, ada sebanyak 75 tindakan pelanggaran melibatkan aktor negara yaitu 71 berbentuk tindakan aktif, tiga tindakan by rule, sementara satu tindakan pembiaran. Dalam analisis data meski tahun 2017 angka intoleransi menurun tetapi itu oleh aktor non pemerintah. Justru angka naik oleh aktor-aktor negara, seperti pejabat legislatif. Lagi-lagi, isu agama masih disandingkan dengan negara dalam kanca politik.

Karena itu, Halili berharap, agar pemerintah sebagai political will yang dalam promosi toleransi perlu mengeluarkan Perda Diskriminatif. Perlu ada drafting UU perlindungan umat beragama, pemenuhan hak atas pengajaran agama di institusi-institusi berbendera agama, tidak ada nawacita perbedaan pemerintah sekarang dan sebelumnya. “Butuh revolusi mental yang harus didasarkan pada perlakuan yang adil terhadap sesama.”

Pemerintah perlu memberikan jaminan keamanan kepada seluruh masyarakat dan jangan sampai menjadi the egoistic man yang menyembunyikan realitas penindasan dan hanya mengejar kepentingan diri. Sikap pemerintah seperti ini hanya menceraiberaikan masyarakat tanpa legalitas dan proteksi rasa aman. Agar masyarakat terhindar dari riuk-riuk intoleransi, perlu dialog damai antar pemeluk agama. Dialog damai menjadi pintu terakhir penerimaan bagi “efek rumah kaca” intoleransi.

Yusti Wuarmanuk
Laporan : Willy Matrona

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here