Savic Ali: Merajut Kebhinnekaan Lewat Online

1229
Savic Ali.
[HIDUP/Antonius E. Sugiyanto]
3.3/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Pilihannya untuk studi di STF Driyarkara membuat sang ibu kaget.

Jalan-jalan di Tayu, Jawa Tengah belum tersentuh aspal. Aliran listrik juga belum menjangkau hingga ke wilayah itu. Tayu nyaris tak mendapat kelezatan “kue” pembangunan. Kondisi itu membuat batin Savic Ali bergolak. Ia berusaha untuk mencari tahu akar penyebab daerahnya nyaris tak tersentuh kemajuan.

Savic, demikian sapaannya, menyelam dalam samudera informasi. Ia melahap berbagai koran, majalah, dan buku. Jawaban persoalan itu baru ia dapat ketika hijrah ke Yogyakarta. “Melalui Majalah Prisma, saya mulai paham, bahwa pemerintah telah menyebabkan daerah saya miskin dan tertinggal secara struktural,” beber Savic.

Meninggalkan Kuliah
Savic merupakan sulung dari lima bersaudara. Ayahnya, Ali Hamdan, adalah guru Madrasah. Sedangkan sang ibu, Karsi, merupakan guru Sekolah Dasar. Dengan latar belakang seperti itu, rasanya tak heran jika Ali-Karsi mendaftarkan putra mereka ke Madrasah. Savic masuk Madrasah Mathali’ul Falah, Kajen, Jawa Tengah. Madrasah itu diasuh oleh Rais Aam Nahdlatul Ulama, K.H. Sahal Mahfudz.

Pada 1993, Savic kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Dia mengambil Jurusan Perbandingan Mazhab, Fakultas Syaria. Savic terlibat di sejumlah kegiatan kampus. Namun, kegiatan di luar jam kuliah yang paling digemarinya adalah pers mahasiswa. Dia adalah salah satu “koki” di Majalah Arena.

Selain mengisi halaman di media itu, jejak karya Savic juga bertengger di beberapa media lain, misal Bernas, Suara Karya, dan Surabaya Pos. Selain mengasah keterampilan menulis, honorarium yang dia terima digunakan untuk menyambung hidup selama di Yogyakarta.

Baru setahun di IAIN, Savic “gantung tas”. Ia ingin meringankan beban biaya keluarga. Apalagi kala itu, ayahnya meninggal. Sementara, adik-adiknya butuh uang tak sedikit untuk meneruskan studi. Savic mengalah. Dia baru kembali ke kampus tiga tahun kemudian. Orang-orang terdekatnya kaget ketika tahu Savic menjadi mahasiswa di perguran tinggi Katolik, bahkan lembaga pendidikan calon imam, yakni STF Driyarkara, Jakarta.

Karsi mengira putranya “nyebrang”. Beruntung, dia sanggup menyakinkan ibundanya. “Yang dipelajari (di STF Driyarkara) bukan teologi Katolik melainkan ilmu sosial,” ujar Savic mengenang percakapannya dengan sang ibu.

Keberadaan serta relasi dengan sivitas akademika mempengaruhi cara pandang serta Savic terhadap umat beragama lain. Dia membangun jembatan komunikasi dengan kelompok-kelompok di luar golongannya. Savic tak lama di Driyarkara. Hanya setahun dia di sana. Situasi politik 1998 membuat Savic jarang nongol di kampus.

Dia kerap turun ke jalan dan mengikuti aksi bersama rekan-rekannya di Forum Kota (Forkot) dan Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi (FAMRED). Pasca Pemilu 1999, Savic memutuskan untuk berhenti kuliah.

Figur Teladan
Kyai Sahal adalah figur pertama yang menginspirasi Savic. Sang kyai menguasai Kitab Kuning dan khazanah Islam dengan baik. Selain itu,ia juga rajin menulis. Tak pelak, Kyai Sahal banyak menelurkan karya, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Savic mengakui, dari kyainya itulah ia belajar menuangkan gagasan secara tertulis. “Beliau adalah pribadi yang luar biasa. Beliau juga menjadi role model bagi santri-santri,” puji Savic.

Sosok lain yang menginspirasi Savic adalah K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Dari Gus Dur, ia menimba banyak pelajaran, terutama mengenai konsep kebangsaan. Presiden keempat Indonesia itu, Savic menilai, tidak hanya kutu buku, tetapi juga konsisten dan sesuai antara yang dikatakan dengan yang diwujudkan dalam kehidupan setiap hari.

Gus Dur, lanjut Savic, berpihak kepada orang atau golongan lemah dan terpinggirkan. Pergaulan pria asal Jombang itu, tambahnya, melintasi batas primordialisme. Teladan baik serta keutamaan hidup Gus Dur seperti itu yang ingin diwarisi Savic dan Gusdurian kepada setiap orang. Sehingga lahir Gus Dur-Gus Dur muda di Indonesia kelak.

Gusdurian, tambah Savic, tak hanya berasal dari pemeluk Islam tapi juga dari berbagai keyakinan dan budaya. “Kami belajar banyak hal (di Gusdurian), terutama soal pluralisme,” ujarnya.

Dia mengakui saat ini banyak individu atau kelompok yang berusaha mengoyak tenun kebhinnekaan. Mereka –yang menolak pluralisme– begitu getol membangun pagar dan tembok dengan memproduksi kabar bohong, fitnah, dan ujaran kebencian terutama di dunia maya. Karena itu, Savic berjuang untuk meruntuhkan bangunan pemisah sesama anak bangsa.

Melawan Serangan
Dia menggunakan sarana serupa dengan mereka, yakni merintis dan mengelola situs NU Online, Islami.co. Meski demikian, ia berharap upaya melawan serangan oknum atau kelompok pemecah-belah bangsa tak hanya dibebankan kepada aktivis di NU Online. Dia ingin persoalan serius itu menjadi keprihatinan dan panggilan seluruh anak bangsa.

Savic menyarankan, selain merajut keberagaman melalui online, upaya offline juga tetap harus dikedepankan. Salah satunya adalah lewat perjumpaan dan dialog antarumat beragama. Langkah tersebut harus diadakan terus-menerus. Bahkan, Savic meminta agar cara itu sejak dini diajarkan kepada generasi muda yakni di sekolah-sekolah.

Savic Ali
TTL: Tayu, Jawa Tengah 1 November 1974

Pekerjaan :
• Direktur NU Online (situs resmi milik Nahdatul Ulama)
• Peneliti Departemen Komunikasi dan Informasi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Willy Matrona

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here