RP Gabriel Aloysius Bong Nyangun MSF: Setia Menapaki Jalan Tuhan

884
Kesetiaan: Pastor Bong di tengah umat yang ia layani.
[NN/Dok. Paroki Temindung]
3/5 - (5 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Perjumpaannya dengan para seminaris dari Banjarmasin menumbuhkan benih-benih panggilan di ladang hatinya. Ia terus menghayati panggilannya. Meski kondisi fisiknya kurang sehat, ia memberanikan diri.

Imamat adalah anugerah Allah yang membutuhkan keputusan tegas dari pihak manusia: setia mengikuti jalan panggilan Allah menjadi seorang imam atau tidak. Demikian diungkapkan RP Gabriel Aloysius Bong Nyangun MSF kala mengenang awal panggilannya.

Tahun 1951, Bong bertemu para seminaris dari Keuskupan Banjarmasin. Salah satunya adalah Fr Yulius Aloysius Husin MSF, yang kemudian menjadi Uskup Palangkaraya (1993-1994). “Fr Husin yang datang ke tempat saya di Long Apari, Kutai Barat dengan memakai baju putih menjadi daya tarik awal bagi saya untuk menjadi imam,” ungkap Pastor Bong. Ia menyampaikan ketertarikannya itu kepada Pastor Arts MSF, Kepala Paroki Tering, Kutai Barat, Kalimantan Timur saat itu. Sang pastor mendukung. Waktu itu, Paroki Tering masuk dalam yurisdiksi Vikariat Apostolik Samarinda.

Lulus Sekolah Rakyat (SR) Tering tahun 1955, Bong dan beberapa temannya melanjutkan pendidikan SMP dan SMA di Seminari St Yosef Sanga-Sanga, Kutai Kertanegara. Berbekal dukungan dari orangtuanya, ia masuk seminari pada 1956.

“Baru satu tahun menjalani kelas persiapan di Seminari Sanga-Sanga, kami terpaksa dipindahkan ke Nyarumkop, Kalimantan Barat. Alasannya, Seminari Sanga- Sanga tidak diakui. Artinya, tidak resmi sebagai seminari karena kekurangan tenaga pengajar,” kenang sulung dari empat bersaudara ini. Namun, hal itu tak mematahkan mimpinya menjadi seorang imam. Selama enam tahun (1957-1963), Bong dan dua temannya menghabiskan masa pendidikan SMP dan SMA di Seminari Nyarumkop.

Bong terus memupuk benih panggilan yang mulai tumbuh dan bersemi di ladang hatinya. Menjadi misionaris di Bumi Borneo, mempersembahkan diri untuk melayani umat hingga hembusan napas terakhir menjadi tekadnya.

Melabuhkan Hati
Dari Seminari Nyarumkop, Bong melanjutkan formasi novisiat di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah selama satu tahun. Ia memilih Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus atau Congregatio Missionariorum a Sacra Familia (MSF) sebagai tempat mengolah dan menghidupi panggilan Allah. Perjumpaan dengan para misionaris MSF Belanda yang berkarya di wilayah Mahakam Hulu: Laham, Tering, dan Long Pahangai membuat Bong melabuhkan hatinya ke pangkuan MSF.

“Semangat misioner dan kekeluargaan para misionaris MSF menjadi daya tarik tersendiri bagi saya. Semangat itu terungkap lewat kehadiran dan kunjungan bagi keluarga-keluarga di Mahakam Hulu, meski harus melewati riamriam,” kisah imam kelahiran 19 Desember 1938 ini.

Pada 8 September 1964, Bong mengikrarkan kaul pertamanya. Ia kemudian melanjutkan pendidikan di Fakultas Teologi Yogyakarta (1964-1970) dan menerima tahbisan imam pada 24 Januari 1971 dari Mgr Jacobus Romeijn MSF, Uskup Samarinda kala itu. “Bagi semua orang, aku telah menjadi segala-galanya” (1Kor 9:22) menjadi moto tahbisan imamatnya.

Usai tahbisan, imam muda ini diutus menjadi guru Agama Katolik bagi siswa-siswi SPK RSU Samarinda sembari merangkap sebagai Pastor Rekan Paroki St Maria Pembantu Senantiasa Katedral dan Paroki St Yoseph Long Pahangai, Kutai Barat. Kemudian ia berkarya di Paroki Keluarga Suci Tering, Mahakam Hulu. Pada 1976-1978, pastor yang mahir memainkan piano ini diutus untuk mengikuti kursus Pastoral Sosiologi non graduate programme di Asian Social Institute (ASI) Manila, Filipina.

Sepulang dari Manila, Pastor Bong melayani umat di wilayah Apau Kayan, perbatasan Indonesia-Malaysia dan umat di wilayah Kutai Timur, khususnya di Muara Wahau dan Long Bentuk, daerah Modang (1978-1980). Ia harus berjalan kaki selama beberapa hari untuk melayani umat. Pengalaman itu meninggalkan kesan tersendiri di hatinya. “Pada 25 Desember 1970, umat menggotong saya menuju kampung mereka untuk merayakan Natal. Umat merasa kasihan kepada saya karena selama beberapa hari berjalan kaki keluar-masuk hutan melayani umat di stasi lain. Umat takut saya kecapekan dan tidak bisa melayani umat di perbatasan,” kisahnya.

Penuh Sukacita
Dalam melaksanakan tugas dan pelayanan sebagai gembala umat, pastor yang dikenal disiplin dalam kerja dan humoris dalam pergaulan ini memiliki kepedulian terhadap pendidikan, khususnya bagi putra-putri Dayak. Pastor Bong mencarikan dan menggalang beasiswa untuk membantu studi mereka. Hingga saat ini, ia menyumbangkan pemikiran dan tenaganya untuk perkembangan pendidikan di Keuskupan Agung Samarinda. Ia ambil bagian dalam pelayanan di Yayasan Pendidikan Pengajaran Pembangunan Rakyat (YP3R) dan Karya Kesehatan Dirgahayu Samarinda.

Pada 1980-1992, Pastor Bong diminta melayani sebagai Ekonom Keuskupan Samarinda. Ia pun dikenal tegas dan teliti dalam menghitung dan membuat laporan keuangan secara transparan. “Pastor Bong tidak sembarangan memberi uang,” ujar Agus Koten, salah seorang umat yang pernah bekerjasama di lingkungan Komisi Keuskupan. Meskipun dikenal suka humor, lanjut Agus Koten, Pastor Bong tegas dalam hal-hal prinsip. “Bagi Pastor Bong, konflik tidak masalah. Yang penting adalah bagaimana menyelesaikan konflik tersebut. Konflik menjadi masalah kalau kita tidak bisa mengatasinya,” beber Agus Koten.

Tahun 1992-1993, Dewan Consultores Keuskupan Samarinda menunjuknya menjadi Administrator Diosesan Samarinda karena Mgr Michael Cornelis C. Coomans MSF wafat pada 6 Mei 1992. Pada 6 November 1993, Mgr Florentinus Sului Hajang Hau MSF diangkat Takhta Suci menjadi Uskup Samarinda. Dalam penggembalaan Mgr Sului, status Keuskupan Samarinda dinaikkan menjadi Keuskupan Agung Samarinda pada 29 Januari 2003.

Setelah menyelesaikan perutusan sebagai Administrator Diosesan, Pastor Bong melayani sebagai Kepala Paroki St Lukas Temindung Samarinda (1993-1995), seraya mengemban tugas sebagai Ketua Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Keuskupan Samarinda. Kedisiplinan dan kejujuran dalam bekerja menjadi nilai-nilai yang terus ia kedepankan. Ia pun terus memperhatikan dunia pendidikan di sana. Upayanya mencarikan beasiswa bagi putra- putri Dayak terus dilakukan.

Tahun 1995, Pastor Bong terkena stroke sehingga dibebastugaskan dari tugas parokial dan komisi. Meskipun kondisi fisiknya kurang sehat, ia tetap menyediakan diri untuk melayani umat yang membutuhkan pendampingan maupun yang ingin berkonsultasi kepadanya hingga sekarang.

Emas hidup membiara ia rayakan pada 8 September lalu, di Gereja Paroki St Lukas Temindung, Samarinda. Dengan duduk di kursi roda, Pastor Bong didorong oleh rekan imam lain untuk mengikuti Perarakan Misa.

Baginya, kesetiaan menjadi seorang imam MSF adalah anugerah, berkat, rahmat, dan karya Allah. Itu bisa terjadi juga karena dukungan para konfraternya dan rasa kekeluargaan yang ia rasakan dalam kongregasi, sehingga ia tetap penuh sukacita dalam melayani umat dan Gereja.Kesetiaan hingga 50 tahun hidup membiara menjadi kebahagiaan dan sukacita baginya. “Itu mendorong saya untuk terus melayani meski kondisi fisik saya sudah tidak memungkinkan. Namun, selama saya masih memiliki kesempatan melayani,” demikian Pastor Bong, “saya tetap melayani dan Allah sendiri yang menyempurnakannya.

RP Yohanes Kopong Tuan MSF
HIDUP No.40 2014, 5 Oktober 2014

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here