Pastor Paulus Nasib Suroto: Tukang Bakso Jadi Pastor Tentara

20801
Pastor Paulus Nasib Suroto.
[NN/Dok.Pribadi]
3.6/5 - (21 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Pastor Paulus membuktikan bahwa panggilan itu tidak saja melayani altar. Ia memindahkan “altar” ke dalam dunia militer.

Banyak orang angkat topi kepadanya. Pastor Paulus Nasib Suroto melangkah penuh wibawah ketika namanya dipanggil menerima penghargaan sebagai murid berprestasi di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah. Paulus, demikian rekan-rekan tentara memanggilnya, lulus sebagai siswa berprestasi. Ia menggondol juara tiga lulusan terbaik TNI Angkata Udara (AU) dari 66 perwira muda.

Setelah digembleng selama lima bulan, kini Pastor Paulus, selain sebagai seorang imam, ia juga tentara aktif berpangkat letnan dua. Ia baru saja dilantik bersama 269 perwira lulusan pendidikan pertama prajurit karier (Dikmapa PK) TNI angkatan XXV/2018. Ia dilantik oleh Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Selasa, 15/5.

“Saya harus menunjukkan yang terbaik sebab di pundak saya ada dua institusi. Sebagai pastor saya adalah Wakil Gereja Katolik dan sebagai perwira AU karena membawa nama baik institusi militer,” ujarnya saat ditemui di Dusun Tundan Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman, DI-Yogyakarta.

Perwira Bakso
Perjalanan hidup bungsu enam bersaudara anak pasangan Matius Karjiyo dan Maria Kasminah ini sebenarnya biasa-biasa saja. Dalam keluarga, Paulus tidak terlalu menonjol apalagi soal disiplin. Ia menjalani hidup layaknya anak muda. Tidak pernah terlintas di benaknya, ia akan menjadi perwira TNI AU. Keinginan menjadi imam lebih besar, dari pada
keinginannya menjadi perwira militer. Ia lebih ingin menjadi perwira Kristus yang bekerja di ladang penggembalaan Allah.

Menjalani hidup di seminari pun Paulus kerap disapa “tukang bakso” oleh para frater. Sebelum menjadi seminaris, Paulus pernah berdagang bakso di Bandar Lampung. “Sebelum masuk seminari, hampir selama 4,5 tahun saya jadi tukang bakso dan pernah jualan sembako,” ungkapnya.

Imam Diosesan Malang ini, sejak usia SMP sudah hidup terpisah dari kedua orangtuanya. Saat harus melanjutkan pendidikan menengah, Paulus masuk SMP Katolik Mgr Soegijapranata, Tanggul-Jember atas bantuan Sr Cecilia SPM. Setelahnya, ia melanjutkan pendidikan ke SMA Satya Cendika, Jember.

Kebiasaan hidup mandiri itulah yang menjadi alasan Paulus memantapkan hatinya menjadi pastor. Masa SMP dan SMA di tempat yang jauh dari orang tua dengan sendirinya menlatih Paulus menjadi pribadi yang kuat dan mandiri. “Kepada kakak saya yang menjadi biarawati, yaitu Sr Chirstina SPM (Alm), saya pernah janji kelak akan masuk seminari untuk jadi pastor,” ingatnya.

Paulus sebenarnya punya cita-cita ingin kuliah. Ia pun mendaftarkan dirinya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Namun, impian itu harus urung, ia sadar biaya kuliah mahal sehingga pasti sulit bagi orangtuanya. “Saya hanya sempat mendaftar saja, lupa jurusan apa karena kemudian saya pulang ke Lampung.”

Bakso Wonogiri
Sekembalinya ke Lampung, Paulus enggan tinggal di kampung halaman. Ia ingin kerja untuk meringankan beban orangtuanya yang hanya sebagai penjualan tape singkong. Kerja apa saja dijalani, demikian tekad Paulus.

Paulus lalu diterima bekerja di sebuah warung bakso di Bandar Lampung. Pedagang bakso asal Wonogiri, Jawa Tengah itu memperkerjakan Paulus sebagai pencuci mangkuk. Setiap pagi, ia juga bertugas membeli daging dan keperluan pembuatan bakso lain.

Saat di Bandar Lampung ini, Paulus jarang pulang ke rumah orang tuanya meski jarak antara tempat jualan bakso dengan rumah hanya sekitar 30 kilometer, atau bisa ditempuh dalam waktu setengah jam. “Anak-anak muda di kampung suka mabuk-mabukan, amburadul. Kalau saya pulang, saya khawatir hanya ‘dipajekin’ (dipalak-Red) temen untuk beli miras,” ucapnya.

Seiring waktu, Paulus pun menjadi tangan kanan majikannya. Sang bos percaya penuh kepadanya. Ia mendapat kebebasan untuk mengembangkan usaha sesuai keinginannya. Dari hasil bakso ini, ia bisa membantu meringankan beban orang tua. “Saya bangga karena bisa membantu orang tua membeli pupuk dan membayar tagihan listrik rumah.”

Bertahun-tahun menjalani profesi sebagai tukang bakso, tetapi Paulus merasa tidak puas dengan apa yang didapatkannya. Pada titik ini, Paulus merasa terusik batinnya. Ia merasa diingatkan lagi dengan janjinya kepada sang kakak. “Suster Cecil yang berkarya di Jember selalu mendoakan saya. Beliau pernah pesan, ke mana pun saya pergi, jadi apa pun, berhasil seperti apa pun, harus ingat janji dulu untuk masuk seminari.”

Selama sebulan, Paulus merenung. Ia mencoba tawar-menawar pada Yesus. “Kalau ini jalanku, ya direwangi (dibantu),” bisiknya suatu saat pada Tuhan.

Lewat usaha yang sulit, ia berhasil menghubungi Pastor Eko Aldilanto OCarm. Ia juga mengontak Pastor Fadjar Tedjo yang adalah imam Diosesan di Malang. Tanpa canggung, Paulus menceritakan keinginannya menjadi imam diosesan.

Saat itu, Paulus sudah jatuh cinta dengan Keuskupan Malang karena kultur masyarakatnya sudah dipahami. Dengan bantuan Pastor Fadjar, Paulus masuk Postulat Stella Maris Malang. Dari sini, Paulus meniti hidup sebagai calon imam. Lantas, Paulus melanjutkan tahap formatio karena mendapat panggilan “terlambat”. Dengan bimbingan Pastor Joseph Krisanto di Tahun Orientasi Rohani. Ia lalu diterima di Seminari Tinggi Interdiosesan San Giovanni, Malang. Pada 25 Agustus 2016, ia ditahbiskan menjadi imam dan langsung mendapat tugas di Paroki Maria Bunda Karmel, Probolinggo.

Baru tiga bulan menjadi imam projo, Pastor Paulus tiba-tiba membaca sebuah pengumuman dari Uskup Malang Mgr Henricus Pidyarto Gunawan OCarm. Sang uskup menawarkan, kalau-kalau ada imam yang terpanggil untuk berkarya sebagai anggota TNI. Sebulan kemudian, ia tergelitik untuk mencoba mendaftar.

Pada Februari 2017, Pastor Paulus memberanikan diri menghadap Mgr Pidyarto. Ia mengutarakan, kalau sekiranya diizinkan, ia akan mendaftar menjadi imam sekaligus berkarya sebagai perwira TNI. Mendengar langsung niat ini, Mgr Pidyarto menanggapi serius. “Saya senang kalau romo mau dan sanggup menekuni. Romo saya persembahkan untuk negara,” kata Pastor Paulus menirukan pesan sang uskup.

Dari situ, pastor hitam manis ini lantas mendaftar di Lanud Abdul Rachman Saleh Malang. Awalnya ia pesimis karena tinggi badannya kurang. Saat diukur di tempat pendaftaran ternyata tingginya hanya 160 cm, diukur lagi naik jadi 161 cm, dan diukur ketiga kali cuma 162 cm. “Padahal kalau diukur di luar tempat tes, tinggi badan saya pas memenuhi syarat minimal yang ditentukan, 163 cm,” terang pastor yang hobi pelihara burung itu.

Pastor Paulus, saat ini sebagai perwira rohani Katolik dan Pastor Militer organik kedua di Indonesia, setelah Pastor Letkol (Sus) Yos Bintoro. Ia akan menjalani tugas untuk mengikuti kursus intensif Bahasa Inggris di AAU, mulai 22 Mei 2018. Selanjutnya menyiapkan kursus kecabangan administrasi dan dinas khusus di Skadron Pendidikan 504 Halim Perdanakusuma, mulai Agustus nanti. Baru kemudian akan ditempatkan sebagai Kepala Urusan Rohani Katolik, sekaligus merintis sebagai dosen AAU mulai Februari 2019.

Letda Paulus Nasib Suroto
Nama : Paulus Nasib Suroto
TTL : Margalestari, 15 September 1985
Alamat : Jl. Bendungan Sigura-gura Barat 2, Malang

Riwayan Pendidikan:
• 1991 – 1997 : SDN 3 Margadadi, Lampung Selatan
• 1997 – 2000 : SLTP K Soegijopranata, Tanggul – Jember
• 2000 – 2003 : SLTA Satya Cendika, Jember, Jawa Timur
• 2007 – 2008 : Pendidikan Calon Imam dan Bruder, Postulat Stella Maris, Malang
• 2008 – 2009 : Tahun Rohani (TOR), San Giovanni XXIII, Malang
• 2009 – 2013 : Sarjana Strata Satu, Jurusan Filsafat Teologi, Widya Sasana, Malang
• 2014 – 2016 : Pasca Sarjana, Jurusan Filsafat Teologi, Widya Sasana, Malang

Riwayat Pekerjaan:
• 2003 – 2006 : Pernah bekerja di Bandar Lampung
• 2016 – Sekarang : Pastor Rekan Paroki Maria Bunda Karmel Malang

H.Bambang S

3 COMMENTS

  1. Perjalanan hidup yang sangat menginsoirasi romo…semoga selalu kuat dalam panggilan..dan menjadi berkat bagi umat di manapun berada

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here