Menjadi Pemilih Rasional

390
5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak akan diadakan pada bulan Juni 2018. Bagi umat Katolik kesempatan ini dapat menjadi momen penting untuk semakin menunjukkan partisipasinya sebagai warga negara yang baik dengan menggunakan hak pilihnya. Namun melakukan itu dengan penuh kesadaran bukan hal mudah. Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam hati sejumlah orang Katolik muncul ragam rasa; ragu dan bimbang, mungkin juga pesimis. Keraguan dan kebimbangan serta sikap pesimis itu bisa muncul, karena dua hal ini, yakni minimnya informasi dan pengetahuan tentang rekam jejak maupun kualitas pribadi para calon, kurangnya pemahaman akan makna politik. Dua hal ini, sedikit banyak akan mempengaruhi kesadaran umat dalam menggunakan hak pilihnya.

Dalam situasi batin di atas menjadi pemilih yang rasional menjadi penting. Mengapa? Jawaban pertanyaan ini tidak salah kalau kita menelisik aspek paling hakiki manusia, yakni akal budi atau rasio. Sejak lama sudah diakui oleh Aristoteles (384 SM – 322 SM) bahwa akal budi menjadi kekhasan manusia dibandingkan dengan makhluk yang lainnya. Karena kemampuan hakiki itulah filsuf Yunani ini mendefinisikan manusia dengan rumusan “homo est animal rationale” ‘manusia adalah makhluk yang berpikir’. Dalam definisi ini Aristoteles ingin menegaskan bahwa kekhasan manusia ada dalam aktivitas berpikirnya. Sebagai kegiatan khas, apapun yang dilakukan oleh manusia berpijak pada pertimbangan akal budi.

Dengan berpikir, diharapkan dua hal ini akan tercapai. Pertama, melakukan sesuatu tidak asal-asalan, melainkan disertai dengan pertimbangan yang matang. Upaya ini akan menghasilkan tindakan yang berbobot karena merupakan hasil dari pemilah-milahan sisi positif dan sisi negatifnya dari satu hal. Dengan pemilahan itu seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang memadai tentang suatu hal yang menjadi dasar mengambil keputusan. Artinya, dengan berpikir seseorang mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk sebelum menentukan pilihan. Inilah yang disebut oleh Aristoteles dengan keutamaan rasional.

Kedua, seseorang akan berusaha untuk mencari keselarasan dalam tindakannya, yang diistilahkan oleh Aristoteles sebagai keutamaan moral. Dengan keutamaan moral, seseorang hidup dalam keharmonisan dan menghindari sikap ekstrim atau polarisasi. Artinya, orang yang menghayati keutamaan moral tidak akan berpihak pada satu kelompok secara ekstrim, lalu menyingkirkan kelompok yang lain. Ia justru mencari titik tengah (phronesis) di dalamnya. Ini berarti keutamaan moral menuntun seseorang untuk mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan mereka yang berbeda pilihan, bahkan berlawanan sekalipun dengannya. Dalam kamus orang yang berkeutamaan moral kata “kamu” dan “kami” tidak ada. Yang ada adalah “kita”. Karena orang yang menghayati keutamaan demikian sadar betul bahwa relasi yang harmonis itu memberi ketenangan bagi batinnya.

Untuk menjadi pemilih yang rasional, dua gagasan inti dari Aristoteles di atas relevan menjadi bahan pemikiran dalam menggunakan hak pilih dalam pilkada mendatang. Pesan aktualnya cukup jelas. Pertama, dalam menggunakan hak pilih kita, pertimbangan perlu dilibatkan agar tidak salah memilih. Kedua, kendati kita berbeda pilihan dengan tetangga atau orang sekitar, bahkan saudara kita sendiri, namun perbedaan itu diterima sebagai bagian dari hidup. Karena itu tidak perlu menjadi penghambat relasi, apalagi pemutus hubungan dalam hidup bersama, melainkan menjadi pendorong untuk semakin mempererat hubungan. Ini memang sulit. Namun di sinilah rasionalitas pemilih terlihat.

Kasdin Sihotang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here