Dekorasi Gereja Ramah Lingkungan

1776
Irene dan hasil kreasi tanaman pot. [Dok. Panitia Pelatihan Eco-Decoration]
3.5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com  Dekorasi gereja perlu memperhatikan lingkungan hidup, jangan
sampai menambah sampah

RANGKAIAN bunga hampir selalu hadir dan mewarnai altar gereja setiap pekan. Tanaman menjadi salah satu elemen penting dalam dekorasi gereja, terutama saat Ekaristi. Sebagian besar bahan yang digunakan dalam dekorasi tersebut adalah beragam bunga potong yang biasanya bertahan sekitar tiga hingga tujuh hari.

Usai Ekaristi, rangkaian bunga itu pun menjadi sampah; salah satu persoalan besar di Jakarta. Dekorasi menggunakan bunga potong setiap minggu menjadi hiasan tidak ramah lingkungan. Padahal, isu pemanasan global terus-menerus didengungkan di seluruh penjuru dunia. Semua orang diajak untuk sadar dan turut berpartisipasi dalam menanggulanginya, meski kecil dan bermula dari lingkungan terdekat.

Terkait hal itu, sejumlah paroki di Keuskupan Agung Jakarta berupaya untuk meminimalisir dan mengendalikan dampak kerusakan lingkungan lewat program Divisi Lingkungan Hidup, yang kini berada di bawah payung Seksi Keadilan dan Perdamaian.

Salah satu gerakan itu adalah eco-decor altar. Model dekorasi ini memanfaatkan bunga dan tanaman hijau dalam pot. Bunga dan tanaman itu dirangkai dan ditata di depan altar dan beberapa sisi gereja.

Meski begitu, masih ada paroki yang masih memanfaatkan bunga potong dalam jumlah tak sedikit. Hal ini tentu selain membawa pengaruh buruk terhadap lingkungan, juga merogoh dalam kocek paroki.

Florist eco green décor Paroki St Theresia Menteng Jakarta Pusat, Irene Lee, mengatakan,
dalam postmodernism eco-decoration, kebebasan berkreasi dan berinovasi mendekorasi gereja tetap dapat dilakukan. “Penting untuk menekankan prinsip-prinsip desain yang harus diterapkan sehingga hasil dekorasi tak terkesan asal taruh,” ujar Koordinator Divisi Lingkupan Hidup paroki ini.

Irene, menambahkan, eco-décor bukan melulu soal menyesuaikan tren. Penekanan pada komposisi, tata letak, warna, dan bentuk harus diperhatikan agar dekorasi lebih memiliki irama. Selain itu, hiasan di dalam gereja jangan sampai mengabaikan aturan liturgis. “Sehingga umat yang datang untuk berdoa tidak gagal fokus pada dekorasinya,” katanya saat Workshop Postmodern Eco-Decoration, di aula Paroki Menteng, Sabtu, 30/6.

Irene mengenang, saat eco-décor dimulai di gereja pada 2014, tak semua umat menerima hal itu. Namun, dia meyakini, penggunaan tanaman pot dan bahan daur ulang dalam dekorasi di gereja bisa menekan pengeluaran paroki. “Bisa 30 sampai 40 persen,” imbuhnya.

Selain Irene, hadir juga pembicara lain yakni perancang busana sekaligus penggiat lingkungan hidup, Helen Dewi Kirana. Helen membagikan pengalamannya di bidang desain ramah lingkungan kepada puluhan peserta yang berasal dari berbagai paroki di KAJ.

 

Hermina Wulohering

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here